"Bentar - bentar, ini maksud kamu apa? Ngapain kamu nyuruh Abang tanda tangan beginian?" tanya Aqlan. Dalam hati ia berharap Tanisha tak melakukan sesuatu yang tak ia harapkan.
"Tanda tangan aja, apa susahnya, sih? Udah, mending kamu baca semuanya, terus tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah pulpen ke atas meja dengan kasar.
Aqlan membaca isi map tersebut. Napasnya mulai memburu pertanda ia tengah menahan amarah. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri lalu melempar map itu ke atas meja.
"Kamu mau kita menikah kontrak gitu? Nggak, Sha! Abang nggak akan ngelakuin itu. Itu nggak diperbolehkan dalam agama!"
"Aku nggak bilang kalau ini, tuh, semacam menikah kontrak. Aku lebih suka menyebutnya perjanjian dalam pernikahan," ujar Tanisha diakhiri senyum miring.
Aqlan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Wajahnya ia usap dengan kasar. Kalimat istigfar berkali-kali keluar dari mulutnya.
"Abang nggak mau, Sha," ucapnya pelan.
Tanisha duduk di samping Aqlan. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Heh, sedari awal aku udah bilang kalo aku nggak mau nikah sama kamu. Ya, ginilah akibatnya. Lagian apa susahnya, sih, tanda tangan doang?"
"Dek—"
"Tanda tangan atau aku lukain lengan aku!" Tanisha mengambil sebuah jarum dan mengarahkannya ke pergelangan tangannya. Sontak saja hal itu membuat Aqlan panik.
"Hei, jangan begitu. Oke, oke, Abang tanda tangan. Tapi simpen jarumnya, ya? Please, jangan nekat," ucap Aqlan dengan pandangan mengarah ke jarum. Waspada, takut-takut istrinya itu benar-benar nekat.
Padahal, sebenarnya dalam hati Tanisha pun ia tak berani melakukan hal segila itu. Itu hanya trik agar Aqlan mau menanda tangani berkas itu. Ya, meskipun perempuan itu tak berpikir terlebih dahulu kalau-kalau Aqlan tak mau menanda tangani berkas itu. Kalau itu benar-benar terjadi, entah apa yang akan dilakukan Tanisha selanjutnya.
Tanisha menurunkan jarum itu. Ditatapnya Aqlan yang tengah bersiap menggoreskan ujung pena ke atas kertas.
Aqlan tak bisa berbuat apa - apa. Bahkan, ia sendiri tak menyangka Tanisha bisa senekat itu. Padahal ia yakin, perempuan yang kini menjadi istrinya itu adalah muslimah yang baik yang juga pasti tahu hukum menyakiti diri sendiri adalah dosa.
"Cepetan!"
Aqlan memegang sebelah kepalanya. Satu tangannya yang lain bersiap membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu.
Tiba-tiba, satu ide muncul di otaknya.
Aqlan mengarahkan pandangannya ke arah Tanisha sambil tersenyum manis. Pulpennya kembali ia simpan di atas meja.
"Ada syaratnya," ucapnya kemudian.
"Apa-apaan—"
"Kalo kamu bisa ngasih syarat, kenapa Abang enggak?" potongnya sambil berjalan menghampiri istrinya lalu berdiri tepat di depan perempuan itu.
"Ck, ya udah. Apa syaratnya?"
Laki-laki itu semakin tersenyum lebar sambil menatap wajah sang istri. Satu tangannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinga perempuan itu.
"Dalam waktu 3 bulan, jika Abang berhasil buat kamu jatuh cinta sama Abang, maka ...." Aqlan mengambil map dari atas meja. "Perjanjian ini harus dihapus dan pernikahan kita harus berlanjut selamanya."
Tanisha menatap map dan Aqlan bergantian. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.
Hidup selamanya? Bersama Aqlan? Ah, itu bencana bagi Tanisha.
"Terserah! Kamu nggak tau kalau aku ini bukan perempuan lemah yang dibaperin dikit bisa mengubah benci jadi cinta. Enggak!" sentak perempuan itu
Aqlan hanya menanggapinya dengan tersenyum. Ia kemudian mengambil pulpen lalu menanda tangani berkas itu walaupun ia belum membaca seluruh isinya. Kemudian, ia mengambil satu tangan Tanisha dan meletakkan map itu di atas telapak tangannya.
"Abang nggak peduli, tapi ...," laki - laki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Tanisha. "Selamat terkurung di penjara cinta Abang, Sayang." Aqlan mengecup singkat pipi Tanisha lalu tersenyum.
Warna merah terlihat di kedua pipi perempuan itu pertanda menahan amarah. Bisa saja Aqlan kena tendangan kuda Tanisha jika tidak segera keluar dari kamar.
"Abang Aqlan! Awas kamu, ya!"
***
Aqlan memasuki kamar setelah sebelumya pergi ke kamar mandi. Ia mengitarkan pandangannya, tetapi tak juga menemukan keberadaan istrinya.
Ia menyusuri setiap sudut kamar. Namun, ia tak juga menemukan keberadaan orang yang dicarinya.
"Acha! Kamu di mana? Ayo tidur!"
"Apa, sih, teriak-teriak? Aku habis dari dapur tau." Suara itu muncul dari balik pintu kamar. Aqlan tersenyum senang sambil menatap sang istri yang tengah berdiri di depannya.
"Tidur, yuk?" ajak Aqlan.
Tanisha memutar bola matanya malas lalu berjalan ke arah kasur. Perempuan itu mengambil satu bantal dan mengambil selimut yang terletak di dalam lemari.
"Tidur sendiri. Aku mau tidur di bawah aja," jawabnya sambil menghamparkan sebuah kasur lipat di lantai.
Senyuman Aqlan meluntur. Ditatapnya sang istri yang sudah mulai menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Kenapa tidur sendiri-sendiri?"
"Lupa, ya, sama perjanjian yang udah ditanda tangani tadi?" Setelah mengatakan itu, Tanisha berbaring di atas kasur lipat itu. Ia sudah memedulikan lagi apapun yang akan dilakukan suaminya.
Laki-laki itu berjalan menghampiri Tanisha lalu duduk di sampingnya. Ia menjadi teringat isi perjanjian yang ia baca tadi.
Isinya ... ah, entahlah. Membacanya saja sudah membuat Aqlan merasa bukan suami Tanisha.
Di dalam perjanjian itu ditulis bahwa ia tak boleh melarang apa pun yang dilakukan Tanisha, tak boleh mengekangnya, bahkan ia tak boleh menyentuh perempuan itu sedikit pun.
Aqlan juga teringat ucapan Tanisha saat ia bertanya mengapa perempuan itu sangat tak menyukainya.
Tanisha bercerita, ia pernah mengenal seseorang yang menikah dengan seorang ustaz. Teman Tanisha itu bercerita bahwa dirinya tak bahagia menikah dengan ustaz itu.
Mengapa bisa?
Hal itu terjadi karena sang ustaz selalu mengekangnya atas nama agama, tidak memperbolehkannya keluar sendiri mengatasnamakan agama, dilarang bergaul mengatasnamakan agama, bahkan, ustaz itu sampai melakukan poligami dengan mengatasnamakan agama yang memperbolehkan.
Sontak hal itu membuat Tanisha takut. Takut dengan seseorang yang begitu mengenal agama. Tanisha seolah fobia dengan laki-laki yang begitu paham agama.
Tanisha takut apa yang terjadi pada seseorang itu juga terjadi padanya. Namun, Tanisha melupakan satu hal. Ia lupa kalau tak semua laki-laki seperti itu. Bahkan, Aqlan sendiri sudah berjanji pada dirinya sendiri sebelum menikah, akan menjadikan Tanisha satu-satunya perempuan yang menjadi istrinya. Namun, lagi-lagi Tanisha tak memercayainya.
Tanpa sadar, setetes air mata turun mengenai baju yang dikenakan Aqlan. Ia tersadar lalu tangannya tergerak untuk mengusap kepala sang istri. Istrinya sudah terlelap, tetapi dirinya justru tak dapat memejamkan matanya.
Hidup bersama Tanisha selama 3 bulan saja? Apa itu akan benar-benar terjadi?
Aqlan menggeleng cepat. Tidak, tak akan ia biarkan rumah tangganya runtuh hanya karena secarik kertas dalam map yang sudah ia tanda tangani. Tak akan pernah.
Aqlan mengecup kening Tanisha lama. Setelah itu, ia membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu.
"Ana uhibbuki fillah, zaujati. Really."
***
Pagi hari, mungkin bagi pasangan lain yang baru menikah adalah momen terbaik untuk saling menyapa mesra. Sang istri menyiapkan sarapan untuk sang suami, dan sang suami menunggu sambil minum teh hangat di teras rumah.Atau bisa juga jalan-jalan kecil berdua di sekitar komplek. Lalu dilanjut dengan senam ringan di taman komplek. Setelahnya, sarapan di sebuah kedai kecil sambil berbincang kecil disertai kekehan tawa sesekali.Atau yang paling sederhananya, sekadar berbagi kehangatan di balik selimut tebal. Entah itu sambil mendengarkan musik, menonton televisi, atau bercerita ringan mengenai acara semalam.Sayang sekali, itu hanya menjadi ekspektasi belaka bagi Aqlan yang kini justru tidak dipedulikan oleh Tanisha. Selesai salat Subuh tadi istrinya itu langsung bekerja alias mulai mengetik cerita di laptopnya. Padahal, Aqlan ingin sekali menikmati waktu berdua bersama istrinya.Ya, seharusnya ia sadar, dirinya hanya suami dalam perjanjian yang artinya Tanisha tak p
Sesampainya di rumah, Aqlan dan Tanisha kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha dengan kertas beserta laptopnya, dan Aqlan dengan buku catatan serta kitab-kitabnya.1 proyek sudah selesai setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam dari semenjak bakda Isya. Kini Tanisha melanjutkan tugasnya yang lain yang mungkin kira-kira ada 2 projek lagi.Semua aktifitas Tanisha itu tak lepas dari perhatian Aqlan yang sudah sedari tadi selesai mencatat materi yang akan ia sampaikan pada para santri esok hari. Ia begitu setia menunggu sang istri menyelesaikan pekerjaannya.Aqlan sangat teringin menegur istrinya agar tak terlalu memaksakan dirinya untuk menyelesaikan semua tugasnya. Namun, bayang-bayang map perjanjian selalu membuat laki-laki itu tak berani melakukan hal itu. Padahal, seharusnya ia lebih berkuasa daripada secarik kertas yang bahkan bisa rusak hanya dengan merobeknya sedikit saja.Lagi-lagi Aqlan beristigfar karena ia merasa lemah di hadapan istrinya. Ia sadar,
Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?" Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan
Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing
Sedari tadi, Aqlan terus termenung sambil duduk bersila di teras rumah orang tuanya. Matanya menatap lurus ke depan. Walau kelihatannya seperti sedang menatap gerombolan santri yang tengah bermain-main di lapangan, sebenernya matanya itu sedang menatap kosong.Pikirannya tak henti-henti mengilas balik kejadian beberapa waktu lalu, saat ia memergoki istrinya tengah berbicara banyak dengan Kalandra. Ia sangat ingin tahu banyak apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan waktu itu."Aqlan!" panggil Kalandra tiba-tiba hingga membuat Aqlan tersentak.Perasaan laki-laki itu agak tak suka melihat kedatangan Kalandra padanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sejenak. Lalu, ia mengucap istighfar beberapa kali. Aqlan sadar, ia tidak boleh mengira yang tidak-tidak pada sahabatnya itu sebelum mengetahui yang sebenarnya."Kenapa? Kok, ngelamun aja? Lagi ada masalah, kah, sama ... istri lo?" tanya Kalandra dengan nada agak ragu di kalimat akhirnya.Aqlan berusaha menampilkan senyumnya pada Kala
"Jadi, kita udah ... pacaran?" tanya Tanisha dengan jari kelingking yang masih bertaut dengan jari kelingking Rezvan."Iya," balas laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang baru dipacarinya itu.Tanisha tersenyum simpul. Ada getaran aneh saat dekat dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu. Di saat ia baru memasuki dunia putih abu-abu, ia pun pertama kalinya mempunyai seseorang yang dipanggil "pacar".Gadis berseragam acak-acakan itu melepas tautan jarinya dengan Rezvan. Ia kemudian beralih memandang lurus ke depan dengan senyumnya yang tak luntur-luntur. Jantungnya pun sedari tadi berdetak tak karuan.Rezvan memandang sang pacar dari arah samping. Senyumnya pun tak meluntur saat menelisik ukiran indah Tuhan di wajah perempuan itu.Bukan hal yang mudah bagi Rezvan untuk mendapatkan Tanisha. Perempuan yang bisa dibilang baru mengenal yang namanya cinta itu cukup sulit untuk diluluhkan. Wajar saja, saat SMP dulu, Tanisha hanya menghabiskan waktu
Tak terasa, hubungan Rezvan dan Tanisha sudah berlangsung selama 4 bulan. Selama itu juga sifat posesif Rezvan selalu membuat gadis itu seolah tak bisa bernapas dengan bebas.Kekangan yang diberikan laki-laki itu terlalu berlebihan. Pergaulannya mulai dibatasi bahkan dengan teman-teman perempuannya. Waktu dengan keluarga pun semakin terkikis karena Tanisha harus selalu mengikuti apa yang diinginkan Rezvan.Tak jarang, Tanisha seringkali mendapat perlakuan keras dari laki-laki itu jika ia berani membantah atau menolak. Entah itu berupa fisik maupun batin. Fisiknya yang tersiksa, dan batinnya yang begitu tertekan. Sayang sekali, Tanisha tak pernah berani untuk mengadu pada siapa pun dengan alasan takut dan cinta.Apakah cinta harus sebuta ini bagi Tanisha? Mengapa cinta pertama gadis itu harus semenyakitkan ini?"Ikut gue!" Dengan paksa Rezvan menarik lengan Tanisha agar ikut dengannya. Ringisan pelan sesekali terdengar dari mulut gadis itu."Van, santai, dong! Ini sakit tau!"Tepat saa
"Ini beneran pacar gue? Cantik."Suara Rezvan yang tiba-tiba menyapa telinga Tanisha membuat gadis itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Bukannya tersipu, gadis itu justru melayangkan tatapan tak suka pada laki-laki itu.Rezvan menatap Tanisha dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda. Tak ada kesan bad girl atau tomboy. Tanisha terlihat anggun dan menawan dengan penampilan feminimnya itu."Apa lo liat-liat?!" sentak gadis itu. Rasa kesalnya masih belum juga pergi.Kalandra yang selalu berada di dekat Rezvan dapat melihat mata Tanisha yang berkaca-kaca seolah menahan tangis. Namun, ia tahu gadis itu tak akan mungkin berani menitikkan air matanya dengan alasan tak ingin dicap lemah. Padahal menangis bukan berarti seseorang itu lemah."Ayo, berangkat!" ajak Rezvan sambil memegang pergelangan tangan Tanisha.Gadis itu langsung menghempaskan tangan Rezvan. "Mau ke mana, sih? Kasih tau dulu!" pintanya dengan nada kesal.Laki-laki itu berdecak kesal. Lalu, tanpa aba-aba dan tanpa mem