Share

PART 04

"Bentar - bentar, ini maksud kamu apa? Ngapain kamu nyuruh Abang tanda tangan beginian?" tanya Aqlan. Dalam hati ia berharap Tanisha tak melakukan sesuatu yang tak ia harapkan.

"Tanda tangan aja, apa susahnya, sih? Udah, mending kamu baca semuanya, terus tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah pulpen ke atas meja dengan kasar.

Aqlan membaca isi map tersebut. Napasnya mulai memburu pertanda ia tengah menahan amarah. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri lalu melempar map itu ke atas meja.

"Kamu mau kita menikah kontrak gitu? Nggak, Sha! Abang nggak akan ngelakuin itu. Itu nggak diperbolehkan dalam agama!"

"Aku nggak bilang kalau ini, tuh, semacam menikah kontrak. Aku lebih suka menyebutnya perjanjian dalam pernikahan," ujar Tanisha diakhiri senyum miring.

Aqlan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Wajahnya ia usap dengan kasar. Kalimat istigfar berkali-kali keluar dari mulutnya.

"Abang nggak mau, Sha," ucapnya pelan.

Tanisha duduk di samping Aqlan. Raut wajahnya terlihat kesal.

"Heh, sedari awal aku udah bilang kalo aku nggak mau nikah sama kamu. Ya, ginilah akibatnya. Lagian apa susahnya, sih, tanda tangan doang?"

"Dek—"

"Tanda tangan atau aku lukain lengan aku!" Tanisha mengambil sebuah jarum dan mengarahkannya ke pergelangan tangannya. Sontak saja hal itu membuat Aqlan panik.

"Hei, jangan begitu. Oke, oke, Abang tanda tangan. Tapi simpen jarumnya, ya? Please, jangan nekat," ucap Aqlan dengan pandangan mengarah ke jarum. Waspada, takut-takut istrinya itu benar-benar nekat.

Padahal, sebenarnya dalam hati Tanisha pun ia tak berani melakukan hal segila itu. Itu hanya trik agar Aqlan mau menanda tangani berkas itu. Ya, meskipun perempuan itu tak berpikir terlebih dahulu kalau-kalau Aqlan tak mau menanda tangani berkas itu. Kalau itu benar-benar terjadi, entah apa yang akan dilakukan Tanisha selanjutnya.

Tanisha menurunkan jarum itu. Ditatapnya Aqlan yang tengah bersiap menggoreskan ujung pena ke atas kertas.

Aqlan tak bisa berbuat apa - apa. Bahkan, ia sendiri tak menyangka Tanisha bisa senekat itu. Padahal ia yakin, perempuan yang kini menjadi istrinya itu adalah muslimah yang baik yang juga pasti tahu hukum menyakiti diri sendiri adalah dosa.

"Cepetan!"

Aqlan memegang sebelah kepalanya. Satu tangannya yang lain bersiap membubuhkan tanda tangan di atas kertas itu.

Tiba-tiba, satu ide muncul di otaknya. 

Aqlan mengarahkan pandangannya ke arah Tanisha sambil tersenyum manis. Pulpennya kembali ia simpan di atas meja.

"Ada syaratnya," ucapnya kemudian.

"Apa-apaan—"

"Kalo kamu bisa ngasih syarat, kenapa Abang enggak?" potongnya sambil berjalan menghampiri istrinya lalu berdiri tepat di depan perempuan itu.

"Ck, ya udah. Apa syaratnya?" 

Laki-laki itu semakin tersenyum lebar sambil menatap wajah sang istri. Satu tangannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinga perempuan itu.

"Dalam waktu 3 bulan, jika Abang berhasil buat kamu jatuh cinta sama Abang, maka ...." Aqlan mengambil map dari atas meja. "Perjanjian ini harus dihapus dan pernikahan kita harus berlanjut selamanya."

Tanisha menatap map dan Aqlan bergantian. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Hidup selamanya? Bersama Aqlan? Ah, itu bencana bagi Tanisha.

"Terserah! Kamu nggak tau kalau aku ini bukan perempuan lemah yang dibaperin dikit bisa mengubah benci jadi cinta. Enggak!" sentak perempuan itu

Aqlan hanya menanggapinya dengan tersenyum. Ia kemudian mengambil pulpen lalu menanda tangani berkas itu walaupun ia belum membaca seluruh isinya. Kemudian, ia mengambil satu tangan Tanisha dan meletakkan map itu di atas telapak tangannya.

"Abang nggak peduli, tapi ...," laki - laki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Tanisha. "Selamat terkurung di penjara cinta Abang, Sayang." Aqlan mengecup singkat pipi Tanisha lalu tersenyum.

Warna merah terlihat di kedua pipi perempuan itu pertanda menahan amarah. Bisa saja Aqlan kena tendangan kuda Tanisha jika tidak segera keluar dari kamar.

"Abang Aqlan! Awas kamu, ya!"

***

Aqlan memasuki kamar setelah sebelumya pergi ke kamar mandi. Ia mengitarkan pandangannya, tetapi tak juga menemukan keberadaan istrinya.

Ia menyusuri setiap sudut kamar. Namun, ia tak juga menemukan keberadaan orang yang dicarinya.

"Acha! Kamu di mana? Ayo tidur!"

"Apa, sih, teriak-teriak? Aku habis dari dapur tau." Suara itu muncul dari balik pintu kamar. Aqlan tersenyum senang sambil menatap sang istri yang tengah berdiri di depannya.

"Tidur, yuk?" ajak Aqlan.

Tanisha memutar bola matanya malas lalu berjalan ke arah kasur. Perempuan itu mengambil satu bantal dan mengambil selimut yang terletak di dalam lemari.

"Tidur sendiri. Aku mau tidur di bawah aja," jawabnya sambil menghamparkan sebuah kasur lipat di lantai.

Senyuman Aqlan meluntur. Ditatapnya sang istri yang sudah mulai menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. 

"Kenapa tidur sendiri-sendiri?"

"Lupa, ya, sama perjanjian yang udah ditanda tangani tadi?" Setelah mengatakan itu, Tanisha berbaring di atas kasur lipat itu. Ia sudah memedulikan lagi apapun yang akan dilakukan suaminya.

Laki-laki itu berjalan menghampiri Tanisha lalu duduk di sampingnya. Ia menjadi teringat isi perjanjian yang ia baca tadi.

Isinya ... ah, entahlah. Membacanya saja sudah membuat Aqlan merasa bukan suami Tanisha.

Di dalam perjanjian itu ditulis bahwa ia tak boleh melarang apa pun yang dilakukan Tanisha, tak boleh mengekangnya, bahkan ia tak boleh menyentuh perempuan itu sedikit pun.

Aqlan juga teringat ucapan Tanisha saat ia bertanya mengapa perempuan itu sangat tak menyukainya.

Tanisha bercerita, ia pernah mengenal seseorang yang menikah dengan seorang ustaz. Teman Tanisha itu bercerita bahwa dirinya tak bahagia menikah dengan ustaz itu.

Mengapa bisa? 

Hal itu terjadi karena sang ustaz selalu mengekangnya atas nama agama, tidak memperbolehkannya keluar sendiri mengatasnamakan agama, dilarang bergaul mengatasnamakan agama, bahkan, ustaz itu sampai melakukan poligami dengan mengatasnamakan agama yang memperbolehkan.

Sontak hal itu membuat Tanisha takut. Takut dengan seseorang yang begitu mengenal agama. Tanisha seolah fobia dengan laki-laki yang begitu paham agama.

Tanisha takut apa yang terjadi pada seseorang itu juga terjadi padanya. Namun, Tanisha melupakan satu hal. Ia lupa kalau tak semua laki-laki seperti itu. Bahkan, Aqlan sendiri sudah berjanji pada dirinya sendiri sebelum menikah, akan menjadikan Tanisha satu-satunya perempuan yang menjadi istrinya. Namun, lagi-lagi Tanisha tak memercayainya.

Tanpa sadar, setetes air mata turun mengenai baju yang dikenakan Aqlan. Ia tersadar lalu tangannya tergerak untuk mengusap kepala sang istri. Istrinya sudah terlelap, tetapi dirinya justru tak dapat memejamkan matanya.

Hidup bersama Tanisha selama 3 bulan saja? Apa itu akan benar-benar terjadi?

Aqlan menggeleng cepat. Tidak, tak akan ia biarkan rumah tangganya runtuh hanya karena secarik kertas dalam map yang sudah ia tanda tangani. Tak akan pernah.

Aqlan mengecup kening Tanisha lama. Setelah itu, ia membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu.

"Ana uhibbuki fillah, zaujati. Really."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status