Share

PART 03

Tanisha menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih berhias bunga - bunga berwarna merah sudah terpasang di tubuhnya. Tak lupa jilbab senada yang juga dihiasi karangan bunga di atas kepalanya.

Namun, wajah gadis itu terlihat cemberut, tak ada gurat kebahagiaan di wajahnya yang sudah dipolesi make up. Bahkan, sedari tadi ia justru terus mengomel.

Sungguh, Tanisha tak menyangka akan sampai di hari ini. Ia pikir, ketika dirinya sudah terbangun, tanahlah yang akan ia lihat.

Tanisha memang bisa segila itu.

Sepeninggal tukang rias, gadis itu memilih untuk mengambil laptopnya dan kembali menulis cerita di sana. Harapannya semalam benar-benar terkabul untuk bisa mendapat inspirasi dari mimpinya sendiri. Daripada keburu lupa, lebih baik segera diaplikasikan ke dalam bentuk tulisan bukan?

Tanisha tersenyum-senyum saat mulai mengetikkan kata per kata di keyboard laptopnya. Ingatannya saat membayangkan mimpinya kembali terasa lucu padahal saat baru terbangun gadis itu bercucuran keringat.

Bagaimana tidak?

Ia bermimpi dikejar-kejar psikopat karena tak sengaja memergoki orang itu tengah membunuh seorang anak kecil. Alhasil Tanisha dan psikopat itu bermain kejar-kejaran di dalam hutan. Iya, latar mimpinya itu berada di hutan.

Yang paling mengerikan adalah ketika Tanisha hendak berteriak, suaranya tak muncul sama sekali seolah ada sesuatu di tenggorokannya. Di saat seperti itu, Tanisha dalam mimpi tiba-tiba menjadi berada di sebuah desa yang amat - amat kecil. Masih dengan psikopat itu.

Endingnya, Tanisha terbangun saat si psikopat hendak menangkapnya.

Iya, tahu. Mimpi Tanisha terlalu pasaran. Semua orang pasti mengalami. Akan tetapi, gadis itu tetap menuliskan mimpinya itu ke dalam cerita thriller-nya. Dengan sedikit modifikasi tentunya agar terlihat lebih keren.

Tunggu, apa ini? Bukankah seharusnya chapter ini menceritakan tentang ijab kabul? Sabar, waktu masih panjang.

"Bisa-bisanya kamu malah ngetik cerita di saat orang lain sibuk nyiapin acara ijab kabul," celetuk Afzar hingga membuat Tanisha tersadar setelah beberapa menit lalu tenggelam ke dalam ceritanya.

'Sial, padahal tadi tengah seru-serunya,' batin gadis itu.

"Lagian aku nggak nyuruh mereka sibuk, kok. Mereka aja yang mau," balasnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.

Afzar yang tengah mengenakan jas warna hitamnya hanya bisa tersenyum melihat tanggapan adiknya. Melihat itu, ia menjadi merasa adiknya itu belum cukup dewasa untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Dirinya saja sampai sekarang masih belum siap. Apalagi adiknya.

"Cha, emang kamu udah siap jadi istri dan ibu?" tanya laki - laki itu sambil menatap pantulan dirinya di cermin.

Netra Tanisha berubah lurus. Tanpa Afzar sadari, adiknya itu tersenyum miring seolah ia adalah tokoh antagonis dalam kisah ini.

"Aku nggak pernah siap dan nggak akan pernah siap. Tapi, liat apa yang bisa aku lakuin," jawab gadis itu lalu menoleh menatap Afzar.

Kening laki-laki berjanggut tipis itu mengernyit. Ia kemudian berjalan mendekati meja Tanisha. Satu tangannya ia letakkan di kursi yang diduduki gadis itu.

"Awas kalo bikin masalah pas udah nikah nanti," peringat Afzar dengan tatapan tajam ia layangkan pada adiknya itu.

Tanisha menyengir kuda. Ia tersenyum lebar untuk meyakinkan kakaknya bahwa ia tak akan membuat masalah seperti di masa lalu.

"Nggak, Bang. Bercanda. Serius amat," ujarnya tapi tidak dengan hatinya.

"Acha."

Suara Sa'diyah menyadarkan keduanya. Tanisha buru-buru mematikan lalu menutup laptopnya. 

"Keluar, yuk? Pihak mempelai pria sudah datang. Ijab kabul akan segera dimulai," ucap wanita paruh baya itu lembut. Ia pun berjalan menghampiri sang putri lalu menatap wajahnya sambil tersenyum haru.

"Nggak nyangka, ya. Anak Bunda udah mau nikah aja. Bunda terharu tau nggak?" Sa'diyah menyeka air matanya yang tak disangka akan turun.

Tanisha menatap sendu wajah keriput sang ibunda. Ia menjadi tak tega jika harus benar - benar menolak perjodohan ini. Satu tangannya tergerak untuk mengecup punggung tangan Sa'diyah.

"Bunda, jangan nangis, dong. Acha nggak suka liat Bunda nangis," pinta gadis itu dengan suara bergetar.

Sa'diyah menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum di depan putrinya. "Nggak, kok, Sayang. Bunda nggak papa. Insya Allah. Ayo, Bunda antar keluar."

Afzar tersenyum haru melihat interaksi antara ibu dan anak itu. Ia bisa merasakan ketidakrelaan sang Bunda melepas putri bungsunya. Bagaimana tidak? Bahkan dirinya sendiri pun tak rela melepas adik satu-satunya itu.

Afzar mengusap bahu Tanisha seolah hendak menyalurkan kekuatan. Ketiganya pun berjalan keluar menuju altar pernikahan.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Tanisha Azzahra  Khalisah binti Fiandra Abdullah dengan mas kawin emas 20 gram dan  seperangkat alat salat dibayar tunai."

"Sah?"

"SAH!"

Air mata Aqlan mendadak turun setelah mendengar kata "sah" menggema di seisi ruangan. Kedua tangannya ia angkat dan mulutnya bergerak merapalkan sebuah doa.

Aqlan tak menyangka, hari ini ia telah menghalalkan seorang perempuan yang merebut hatinya dalam waktu yang bisa dibilang singkat.

Teringat saat ia diberi waktu 3 hari oleh Tanisha untuk memutuskan. Bukan hal yang mudah. Aqlan sampai tak beranjak dari atas sajadah semalaman, hanya untuk berharap diberi jalan oleh sang Mahakuasa mengenai terima atau tidaknya perjodohan ini.

Ternyata, Allah memberikan jalan ini. Aqlan tak tahu apakah ke depannya akan tetap baik-baik saja atau tidak. Yang jelas, ia akan tetap berusaha mencintai takdir Tuhannya bagaimanapun bentuknya.

Sa'diyah mengantar Tanisha menghampiri Aqlan. Tangis haru 2 keluarga menghiasi momen bahagia ini.

Acara berlanjut ke tukar cincin. Aqlan memasangkan cincin di jari manis Tanisha dengan bergetar. Sementara perempuan itu justru ogah-ogahan memasangkan cincin di jari sang suami. Tak ada sedikit pun raut wajah gugup terlihat pada gadis itu. Tak lupa, Aqlan pun membacakan doa untuk istrinya sambil memegang ubun-ubunnya.

Setelah itu, mereka pun berjalan ke kursi pelaminan yang terletak di halaman rumah Tanisha ini.

"Alhamdulillah, kamu udah jadi istri Abang," bisik Aqlan yang langsung mendapat tatapan tajam dari Tanisha.

Kerlingan mata laki-laki itu berikan pada Tanisha. Tangannya pun tergerak untuk memeluk pinggang perempuan itu dari samping.

"Bisa diem nggak?" geram Tanisha yang tak dihiraukan Aqlan. Laki-laki itu justru semakin gencar menggoda sang istri.

'Sial, ini tempat umum. Kalau aja lagi berdua, udah aku tonjok, nih, cowok,' batin Tanisha.

Aqlan tak henti-hentinya menatap sang istri. Wajahnya yang bulat, hidungnya yang tidak mancung alias pesek, tahi lalat di sebelah mata kanannya, senyum tipisnya, cantik sekali di mata Aqlan. Sungguh, menatap kekasih yang sudah halal itu nikmat sekali rasanya.

"Mau honey moon ke mana?" bisik Aqlan, lagi. Senyum menggoda dan alis yang dinaik turunkan ia perlihatkan pada sang istri.

Kedua mata Tanisha sontak membulat. Mendengar pertanyaan seperti itu ... maksudnya dia dan Aqlan .... Ah, memikirkannya saja ia sudah mual.

Tangannya pun tergerak untuk mencubit perut laki-laki itu. Ringisan pun terdengar dari mulutnya.

Bisa-bisanya laki-laki yang baru menjadi suaminya itu bicara seperti itu.

"Awas aja tanya begituan lagi," ancam Tanisha yang sialnya tak membuat Aqlan kapok.

***

Tanisha keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Objek yang pertama ia lihat adalah Aqlan yang sedang memainkan ponselnya sambil duduk di atas sofa.

Perempuan itu duduk di depan meja rias untuk memakai skin care. Tatapannya terus tertuju pada Aqlan meski tangannya sibuk dengan botol-botol skin care di depannya.

Beberapa menit kemudian, ia berdiri lalu berjalan ke arah lemari cokelat miliknya. Ia mengeluarkan sebuah benda lalu berjalan mendekati Aqlan.

"Lagi apa, Sayang?" tanya Aqlan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

"Nih, tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah map berwarna biru tua ke atas meja, tepat di depan Aqlan.

Aqlan yang sedang fokus memainkan ponselnya pun terkejut lalu beralih menatap wajah perempuan itu. Sorot matanya menggambarkan kebingungan.

"Apa ini?"

Tanisha memutar bola matanya jengah sambil menghela napas pelan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Kedua matanya menatap tajam ke arah laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu. Aqlan hanya diam menunggu jawaban Tanisha.

"Dalam map ini, berisi perjanjian-perjanjian tertulis selama kita menikah. Dan setelah 3 bulan menikah, kita harus segera berpisah. Lebih jelasnya, lihat sendiri di sana."

Sontak kedua bola mata Aqlan membulat. Ia menatap map dan Tanisha bergantian. Ia menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya itu.

Perjanjian dalam pernikahan? Apa maksudnya? Bagaimana mungkin Tanisha nekat melakukannya?

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status