Share

PART 05

Pagi hari, mungkin bagi pasangan lain yang baru menikah adalah momen terbaik untuk saling menyapa mesra. Sang istri menyiapkan sarapan untuk sang suami, dan sang suami menunggu sambil minum teh hangat di teras rumah.

Atau bisa juga jalan-jalan kecil berdua di sekitar komplek. Lalu dilanjut dengan senam ringan di taman komplek. Setelahnya, sarapan di sebuah kedai kecil sambil berbincang kecil disertai kekehan tawa sesekali.

Atau yang paling sederhananya, sekadar berbagi kehangatan di balik selimut tebal. Entah itu sambil mendengarkan musik, menonton televisi, atau bercerita ringan mengenai acara semalam.

Sayang sekali, itu hanya menjadi ekspektasi belaka bagi Aqlan yang kini justru tidak dipedulikan oleh Tanisha. Selesai salat Subuh tadi istrinya itu langsung bekerja alias mulai mengetik cerita di laptopnya. Padahal, Aqlan ingin sekali menikmati waktu berdua bersama istrinya.

Ya, seharusnya ia sadar, dirinya hanya suami dalam perjanjian yang artinya Tanisha tak pernah serius menganggapnya suami.

"Sayang, kamu dari tadi sibuk sama laptop mulu, sih? Mending kita sarapan bareng, yuk?"

Tarian jari Tanisha di atas keyboard terhenti. Ia kemudian mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang tengah sibuk mengenakan baju koko.

"Sarapan aja sendiri. Aku lagi banyak deadline. Tau nggak? Gara-gara acara kemarin, aku jadi nggak bisa SKS karena terlalu capek," ucap perempuan itu dengan nada ketus.

Aqlan menatap lamat-lamat istrinya. Ada rasa kesal di hatinya. Juga cemburu.

Bagaimana ia tidak cemburu? Bahkan waktunya bersama Tanisha saja banyak dicuri oleh benda berbentuk segi empat dan tombol-tombol kecil dan banyak itu.

Nasib ... nasib .... Orang ketiga dalam rumah tangganya justru hanya sebuah benda mati canggih. Namun, sangat pintar membuat jarak antara dirinya dan Tanisha.

"Aqlan! Acha! Ayo, sarapan dulu!"

Suara panggilan Sa'diyah membuat Tanisha mendengus kesal. Dengan malas ia mematikan laptopnya lalu turun dari atas kasur.

"Bareng," celetuk Aqlan sambil memeluk Tanisha dari samping.

Perempuan itu berdecak kesal. Tatapan mata yang ia layangkan pada Aqlan memberikan isyarat pada laki-laki itu agar melepaskan lengannya dari pinggangnya.

"Biar keliatan mesra, Cha. 'Kan, 3 bulan doang," ujar laki - laki itu diakhiri kekehan ringan.

***

Seisi kamar Tanisha tinggal setengah. Hanya tersisa kasur, lemari, meja kerja, serta barang-barang kecil yang tak terlalu diperlukan. Hampir semua barang-barang perempuan itu sudah dimasukkan ke dalam koper.

Tangan Tanisha sibuk mengotak - atik isi laci meja untuk mencari sesuatu yang kemungkinan sangat ia butuhkan saat sudah berada di rumah Aqlan. Di dasar laci, tangannya berhenti bergerak saat merasakan sebuah benda yang ia rasa tak asing.

Ingatannya pada kejadian beberapa tahun lalu kembali teringat saat menatap benda itu. Dengan terbur-buru, Tanisha langsung menimbun benda itu dengan benda yang lain agar tak terlihat lagi.

"Kenapa, Acha?"

Kedua bahu Tanisha bergerak pertanda terkejut. Ia kemudian membalikkan badannya menghadap Aqlan.

"Eee, nggak papa, kok. Tadi kaget aja liat kecoa, hehe," ucapnya bohong. Sungguh, dalam hati Tanisha berharap tak melihat benda itu lagi.

"Udah siap semua, 'kan? Ayo, kita jalan sekarang." Aqlan berjalan sambil mendorong koper Tanisha yang berjumlah 2. Perempuan itu mengikuti Aqlan dari belakang.

Semua orang terlihat sudah berkumpul di ruang tamu. Mereka bersiap untuk melepas kepergian putri bungsu mereka ke rumah suaminya. Air mata kesedihan terlihat di wajah-wajah mereka.

Tapi tidak dengan Tanisha. Perempuan itu justru sudah tak sabar untuk menjalankan rencananya saat sudah tinggal berdua bersama Aqlan. Toh, hanya 3 bulan?

Sa'diyah memeluk Tanisha disertai linangan air mata. Jujur, Tanisha merasa sangat tidak tega melihat sang Bunda menangis seperti itu.

Sa'diyah memberikan beberapa nasihat untuk bekal Tanisha dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Perempuan itu mengangguk-angguk paham. Namun, entah dengan hatinya. Mungkin dalam hati ia berkata tak akan memedulikan nasihat Sa'diyah.

Sssttt, jangan suuzan. Tidak baik.

Tanisha beralih pada Fian. Ia melakukan hal sama pada sang ayah dan mendapat beberapa nasihat darinya.

Kini, ia sampai pada sang kakak, Afzar. Kalimat godaanlah yang laki-laki itu berikan. Tanisha pun membalasnya dengan meledek kejombloan kakaknya.

"Aqlan sama Tanisha pergi dulu, ya. Doakan pernikahan kami selalu diberikan keberkahan dan selalu sakinah, mawaddah, wa rahmah. Doakan juga kami segera dikaruniai momongan," ucap Aqlan sambil menatap Tanisha yang berada di sampingnya. Senyum jahil ia perlihatkan pada perempuan itu.

Bisa ia lihat raut kekesalan di wajah istrinya.

"Aamiin. Insya Allah doa kami selalu menyertai kalian, ya," balas Fian.

"Inget, Cha, cepetan kasih Abang keponakan, ya?" Afzar tertawa setelah mengatakan hal itu. Lalu mendapat tatapan tajam dari sang adik.

Mereka berdua pun segera memasukkan barang-barang Tanisha lalu keduanya duduk di kursi depan. Aqlan menjalankan mobilnya setelah mengucapkan salam.

Sebelum pergi ke rumah Aqlan, mereka pergi ke pesantren Al Muhajirin terlebih dahulu. Kata Sardan, ada teman lama Aqlan yang ingin bertemu dengannya di sana.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di pesantren. Sambutan meriah terlihat dari lahan parkir hingga ke dalam pesantren. Mereka semua begitu antusias menyambut gus kesayangan mereka yang akhirnya menggandeng seorang perempuan yang kini menjadi istrinya.

Lain halnya dengan Aqlan yang terharu mendapat sambutan itu, Tanisha justru merasa risih melihatnya. Ia berkali-kali mendengus kesal saat orang-orang meneriakinya.

"Kita ke rumah Abi, ya?" ucap Aqlan sambil menggenggam tangan Tanisha.

Perempuan itu tak bisa menolak genggaman dari Aqlan. Kalau saja bukan di depan publik, Tanisha pasti sudah menghempaskan tangan Aqlan.

Sesampainya di rumah Sardan, mereka berdua kembali mendapat sambutan heboh terutama dari si kecil, Leyna.

"Kak Acha! Cieee, istrinya Bang Aqlan," ucap anak kecil itu dengan senyuman menggodanya.

Tanisha hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis. Jujur saja dalam hatinya ia tengah mengomel-omel kesal.

"Mereka di mana, Abi?" tanya Aqlan sambil mengitarkan pandangannya.

Sardan yang tengah berbincang dengan Tanisha pun beralih pada putranya. "Ada. Di belakang. Mereka udah nungguin, tuh," jawabnya seraya tersenyum ramah.

Aqlan mengangguk lalu menarik lengan istrinya. Omelan dari Tanisha tak ia pedulikan dan memilih berjalan cepat ke belakang rumah.

"Nah, itu mereka!" serunya sambil menunjuk ke arah 2 laki - laki yang tengah duduk di sebuah gazebo.

Tanisha menyipitkan matanya. Ia merasa familiar dengan postur tubuh salah satu teman Aqlan itu. Ia pun berjalan beriringan dengan Aqlan menghampiri kedua laki - laki itu.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

Kedua laki - laki itu membalikkan tubuhnya setelah menjawab salam. Salah satu dari laki - laki itu nampak terkejut saat melihat Tanisha. Begitu juga dengan Tanisha. Namun, keduanya pandai menyembunyikan keterkejutan itu.

"Acha, kenalin. Ini sohib Abang selama di sini. Namanya Kalandra sama Erzan. Mereka waktu itu nggak hadir di pernikahan kita karena masih bertugas di luar kota. Oh ya, mereka ini TNI, lho."

Tanisha terlihat salah tingkah, tetapi ia tetap berusaha tersenyum dan menyapa mereka.

"Andra, Erzan, ini istri gue, Tanisha," ucap Aqlan sambil merangkul Tanisha bangga.

"H-hai, a-aku Tanisha," ucap perempuan berjilbab pink itu terbata-bata.

Kalandra menatap Tanisha dengan tatapan tak percaya. Ia bahkan sampai tak mengalihkan tatapannya dari perempuan itu untuk memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi atau salah orang.

"Ini ... istri lo, Lan?" tanya Kalandra.

Aqlan mengangguk cepat. "Iyalah. Memang siapa lagi?"

Merasa tak nyaman, Tanisha menggerakkan lengan Aqlan sebagai kode agar segera pergi dari tempat itu. Meskipun bingung, Aqlan paham dan menuruti keinginan Tanisha.

"Ya udah, gue pergi dulu, ya? Nanti kita lanjut cerita-cerita lain waktu. Senang bisa ketemu kalian lagi."

"Iya, semoga selalu sakinah mawaddah wa rahmah, ya!" ucap Erzan sambil tersenyum senang.

Tak mendapat respon dari Kalandra, Aqlan pun kembali berpamitan. Dengan gugup, Kalandra berkata, "I-iya. S-semoga langgeng, ya!"

Aqlan merasakan ada yang aneh dari sahabatnya itu. Ia juga merasakan keanehan dari istrinya saat bertemu dengan Kalandra.

Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Tanisha masih memikirkan kejadian tadi. Ia ingin bertanya pada Aqlan, tapi ia takut.

Ia tatap Aqlan yang tengah fokus mengendarai mobil. Kedua tangannya terus ia gosok-gosokkan. Ia ingin sekali mengeluarkan suara, tapi perempuan itu merasa sangat gugup.

"Bang Aqlan ...," panggilnya dengan suara pelan.

Aqlan tak kuasa menahan senyumnya. Mendengar istrinya memanggilnya seperti itu rasa-rasanya ada getaran aneh di hatinya. Apalagi ini pertama kalinya.

"Apa, Sayang?"

Tanisha memutar bola matanya malas. Ia pun berusaha fokus dengan topiknya.

"Tadi itu temen kamu, ya?"

"Iya. Kenapa?"

"Enggak papa. Emm, sejak kapan?"

Aqlan merasa aneh dengan pertanyaan Tanisha. Namun, ia berusaha tak memedulikan hal tersebut.

"Sejak lama. Dari zaman kuliah mungkin. Eh, tapi nggak tau, deh. Lupa lagi."

Tanisha mengangguk-angguk paham. Ia mengalihkan pandangannya menatap jalanan di depannya. Namun, pikirannya tengah berkelana jauh ke masa lalu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status