Share

PART 07

Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.

Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.

Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.

Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.

Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya.

"Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?"

Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan dengan tatapan tajam dilayangkan pada Aqlan.

Namun, lagi-lagi sikap Tanisha itu justru terlihat menggemaskan di mata Aqlan.

"Emang nggak boleh? Bukannya bilang makasih. Masak segini, tuh, capek tau," sahutnya seraya mengusap keringat di pelipisnya.

Aqlan berdiri di depan Tanisha. Ia menyunggingkan senyumnya seraya melingkarkan lengannya di pinggang sang istri.

"Itu kamu tau. Abang nggak mau kamu kecapekan. Lagian kita, 'kan, cuma tinggal berdua. Masa kamu masak sebanyak ini? Nanti malah mubazir jadinya," ujarnya. Tangannya mengambil sapu tangan dari dalam saku lalu ia gunakan untuk mengelap keringat istrinya.

Mata Tanisha terkunci ke wajah Aqlan. Kali ini ia tak marah. Rasa bersalahnya masih melekat di hati. Ingin mengucap kata "maaf", tapi ia terlalu takut atau mungkin ... malu.

Satu tangan Tanisha menghentikan pergerakan tangan Aqlan yang tengah mengelap keringat di wajahnya. Perempuan itu menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah suaminya itu. Ia terdiam sekian lama hingga membuat Aqlan bingung.

"Maaf," lirih Tanisha kemudian. Lagi-lagi setetes air matanya turun.

Dahi Aqlan mengernyit. Diangkatnya dagu sang istri agar menatapnya. Namun, tangannya langsung disingkirkan dari dagunya.

"Maaf buat apa, hm? Emang kamu bikin salah apa?" tanya Aqlan lembut. Ia tahu, menghadapi perempuan seperti Tanisha haruslah dengan lemah lembut.

Tanisha mendongak. Ia menatap Aqlan tak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu bertanya seperti itu padahal sudah jelas-jelas ia menyakitinya semalam.

"Kamu kenapa nanya gitu?"

Dahi Aqlan kembali mengernyit. Sapu tangannya ia letakkan di atas meja lalu menyangga tubuhnya dengan berpegangan ke meja.

"Kenapa? Ya karena Abang nggak tau kamu salah apa. Lagian kamu kenapa tiba-tiba minta maaf kayak gini, hm?"

Tanisha kembali menunduk menyembunyikan air matanya dari Aqlan. Masih berputar dalam ingatannya saat ia memarahi suaminya sendiri semalam. Tak terlintas sedikit pun di benaknya, bagaimana jika Allah marah dan tak meridainya karena ia tak bersikap takzim pada Aqlan, suaminya.

"M-maafin a-aku ... Aku sa-salah, Bang ...." Kini Tanisha menangis terisak. Hal itu tentu saja membuat Aqlan panik dan cemas.

Laki-laki berkoko cokelat itu menarik Tanisha ke dalam pelukannya. Ia usap dengan lembut punggung istrinya itu. Sementara itu, tangis Tanisha semakin pecah.

"Hei, jangan nangis, Sayang. Kamu nggak salah apa-apa, kok. Kamu, 'kan, istri yang baik, hm? Udah, 'ya?"

Tanisha mengangkat kepalanya menatap wajah teduh Aqlan. Dapat laki-laki itu lihat air mata dan wajah memerah istrinya. Aqlan begitu prihatin melihatnya.

"Baik kamu bilang? Semalem aku marahin kamu, terus larang kamu buat tidur sama aku ...." Tanisha kembali menunduk, "Aku takut, Bang Aqlan."

Aqlan terdiam sejenak. Memang tadi malam ia sempat kesal pada Tanisha. Namun, itu tidak berlangsung lama. Sebelum tidur Aqlan menyempatkan diri untuk membaca zikir agar hatinya kembali tenang.

Laki-laki itu kembali mengangkat wajah istrinya. Jari jempolnya ia gunakan untuk menghapus jejak-jejak air di pipi perempuan yang sangat ia cintai. Melihat Tanisha menangis membuat Aqlan merasa sudah gagal menjadi seorang suami.

"Abang," panggil Tanisha pelan.

"Hm?"

"Aku kesel sama kamu, aku nggak suka sama kamu, tapi aku juga takut. Kalo Allah marah dan nggak rida sama aku gimana?"

Hati Aqlan merasa tersentuh. Ia sangat terharu dan tak menyangka. Sekalipun istrinya itu tak menyukainya, bahkan berharap rumah tangga dengannya runtuh, tetapi Tanisha tetap mengharapkan rida darinya. Perempuan itu masih menghargainya sebagai seorang suami. Walaupun terkadang Tanisha khilaf. Namun, hal itu manusiawi, bukan?

"Sayang, kamu nggak perlu takut. Insya Allah rida Abang akan selalu menyertaimu. Abang nggak setega itu. Mentang-mentang Abang ini seorang suami, Abang bakal biarin kamu kena murka Allah? Nggak mungkin. Abang juga masih banyak dosa dan kesalahan. Belaga sekali rasanya kalau Abang seperti itu."

Aqlan menuntun Tanisha untuk duduk di kursi. Ia kemudian menuangkan air ke dalam gelas lalu menyodorkannya pada Tanisha.

"Sekarang mending kita sarapan, yuk! Abang nggak sabar pengen nyicipin makanan kamu. Pasti enak-enak," ujar Aqlan antusias dan

tersenyum senang. Tentu saja ia lakukan itu agar istrinya tak bersedih lagi.

***

Siangnya Tanisha terlihat sedang bersiap untuk pergi. Aqlan yang baru saja pulang mengajar heran melihat penampilan Tanisha yang begitu rapi.

"Mau ke mana, Sha?" tanya laki - laki itu sambil melepas jaketnya.

"Pergi," jawab Tanisha singkat. Perempuan itu sibuk memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.

Aqlan tersenyum tipis. Baru saja tadi pagi hubungannya dengan Tanisha mulai akrab, tetapi sekarang perempuan itu kembali dingin dan cuek padanya.

"Pergi ke mana?"

Tanisha menghela napas kesal. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Aqlan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada.

"Intinya aku mau pergi. Nggak usah larang-larang. Lagian bukan mau selingkuh juga."

Aqlan kembali tersenyum. Tersenyum pasrah. Ia pun mengangguk sebagai kode bahwa ia mengizinkan istrinya untuk pergi.

"Ya udah. Tapi pulangnya Abang jemput, 'ya? Jemput di mana?"

"Jalan layang."

***

Suara gemercik air sungai terasa begitu menggelegar di telinga. Suaranya terleburkan oleh suara mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalan.

Langit kian menghitam. Namun, hal itu tak membuat keheningan di antara dua anak manusia yang berdiri di pinggir jalan dengan jarak 2 meter menghilang. Keduanya sudah saling terdiam selama hampir lima belas menit.

Keduanya terlalu gugup untuk memulai percakapan.

"Apa kabar?" tanya si laki - laki.

"Alhamdulillah, a-aku b-baik, Andra," jawab si perempuan dengan gugup.

Tanisha dan Kalandra. Merekalah 2 orang itu.

Kalndra memegang pagar jembatan kuat-kuat. Begitu juga Tanisha. Ia tak tahu harus bertanya apa lagi. Ia hanya ingin bertemu perempuan itu saja. Tak ada yang lain.

"Gue masih nggak nyangka lo nikah sama Aqlan, Cha," celetuk Kalandra dengan mata memandang ke aliran air di bawahnya.

Tanisha menatap laki-laki di sebelahnya sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke aliran sungai.

"Semua bisa saja terjadi setelah geng unfaedah kamu itu bubar."

Kalandra tertawa ringan mendengar ungkapan perempuan itu. Ia berpikir, Tanisha masih sama seperti dulu. Julid.

"Seenggaknya lo pernah jadi ibu negara di perkumpulan itu," ungkap Kalandra diakhiri kekehan ringan. Ia merasa ingin tertawa mengingat masa-masa saat sekolah dulu. Saat masih remaja. Remaja labil yang bisanya hanya membuang-buang waktu.

Namun, tidak dengan Tanisha. Perempuan itu justru tak mengeluarkan ekspresi apapun mengenai topik pembicaraan ini.

"Kamu kenapa bisa satu pondok sama Bang Aqlan?"

Pertanyaan Tanisha membuat Kalandra menghentikan tawanya. Ia pun memilih fokus dengan jawaban yang akan ia berikan pada orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu.

"Panjang ceritanya, tapi biar gue persingkat. Jadi, semenjak gue dan temen-temen seangkatan gue lulus, dan geng Garparez bubar, gue disuruh orang tua buat mondok. Awalnya gue nggak mau. Tapi, di suatu malam gue merenung. Gue ini udah banyak bikin dosa, amal baik gue masih dikit banget. Masa iya gue mau nambah-nambah dosa? Ya udah, setelah beberapa hari mikir, akhirnya gue turutin apa kata orang tua gue. Dan di Al - Muhajirin-lah gue ketemu Aqlan yang ternyata gus di pondok itu. Liat gue yang begitu berantakan, jauh banget dari agama bikin Aqlan mau tuntun gue buat kembali ke Allah. Gue sampe dijadiin murid khusus Abi-nya. Alhamdulillah, sekarang gue ngerasa lebih baik dan lebih tenang dari sebelumnya."

"Oh gitu."

Kalandra kembali tertawa mendapat respon singkat dari Tanisha. Padahal ia sudah bercerita begitu panjang. Sekali lagi, ia merasa melihat Tanisha yang sama seperti di masa lalu.

"Lo ... nggak mau nanyain dia?" tanya Kalandra hingga membuat Tanisha mendongak menatapnya.

"Dia siapa yang kamu maksud?"

"Yakin nggak inget? Masa, sih, lo lupa sama dia? Dia yang pernah jadi seseorang paling—"

"Nggak usah dilanjut. Aku trauma sama orang itu. Bahkan mengingatnya aja aku nggak mau."

"Hahaha, iya maaf. Tapi kalo lo mau nyari dia—"

"Nggak akan. Udah, 'kan? Aku mau pulang."

"Oh, ya udah. Gue anterin, 'ya?"

"Nggak usah. Bang Aqlan udah nungguin di parkiran." Tanisha mengecek ponselnya lalu berjalan cepat meninggalkan Kalandra di tempat itu.

Kalandra menatap kepergian Tanisha seraya tersenyum tipis. Ia masih tak menyangka, sesorang yang dahulu terkenal bad girl, kini justru telah hijrah dan menjadi muslimah yang baik.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status