Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.
Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?"Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan dengan tatapan tajam dilayangkan pada Aqlan.Namun, lagi-lagi sikap Tanisha itu justru terlihat menggemaskan di mata Aqlan."Emang nggak boleh? Bukannya bilang makasih. Masak segini, tuh, capek tau," sahutnya seraya mengusap keringat di pelipisnya.Aqlan berdiri di depan Tanisha. Ia menyunggingkan senyumnya seraya melingkarkan lengannya di pinggang sang istri."Itu kamu tau. Abang nggak mau kamu kecapekan. Lagian kita, 'kan, cuma tinggal berdua. Masa kamu masak sebanyak ini? Nanti malah mubazir jadinya," ujarnya. Tangannya mengambil sapu tangan dari dalam saku lalu ia gunakan untuk mengelap keringat istrinya.Mata Tanisha terkunci ke wajah Aqlan. Kali ini ia tak marah. Rasa bersalahnya masih melekat di hati. Ingin mengucap kata "maaf", tapi ia terlalu takut atau mungkin ... malu.Satu tangan Tanisha menghentikan pergerakan tangan Aqlan yang tengah mengelap keringat di wajahnya. Perempuan itu menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah suaminya itu. Ia terdiam sekian lama hingga membuat Aqlan bingung."Maaf," lirih Tanisha kemudian. Lagi-lagi setetes air matanya turun.Dahi Aqlan mengernyit. Diangkatnya dagu sang istri agar menatapnya. Namun, tangannya langsung disingkirkan dari dagunya."Maaf buat apa, hm? Emang kamu bikin salah apa?" tanya Aqlan lembut. Ia tahu, menghadapi perempuan seperti Tanisha haruslah dengan lemah lembut.Tanisha mendongak. Ia menatap Aqlan tak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu bertanya seperti itu padahal sudah jelas-jelas ia menyakitinya semalam."Kamu kenapa nanya gitu?"Dahi Aqlan kembali mengernyit. Sapu tangannya ia letakkan di atas meja lalu menyangga tubuhnya dengan berpegangan ke meja."Kenapa? Ya karena Abang nggak tau kamu salah apa. Lagian kamu kenapa tiba-tiba minta maaf kayak gini, hm?"Tanisha kembali menunduk menyembunyikan air matanya dari Aqlan. Masih berputar dalam ingatannya saat ia memarahi suaminya sendiri semalam. Tak terlintas sedikit pun di benaknya, bagaimana jika Allah marah dan tak meridainya karena ia tak bersikap takzim pada Aqlan, suaminya."M-maafin a-aku ... Aku sa-salah, Bang ...." Kini Tanisha menangis terisak. Hal itu tentu saja membuat Aqlan panik dan cemas.Laki-laki berkoko cokelat itu menarik Tanisha ke dalam pelukannya. Ia usap dengan lembut punggung istrinya itu. Sementara itu, tangis Tanisha semakin pecah."Hei, jangan nangis, Sayang. Kamu nggak salah apa-apa, kok. Kamu, 'kan, istri yang baik, hm? Udah, 'ya?"Tanisha mengangkat kepalanya menatap wajah teduh Aqlan. Dapat laki-laki itu lihat air mata dan wajah memerah istrinya. Aqlan begitu prihatin melihatnya."Baik kamu bilang? Semalem aku marahin kamu, terus larang kamu buat tidur sama aku ...." Tanisha kembali menunduk, "Aku takut, Bang Aqlan."Aqlan terdiam sejenak. Memang tadi malam ia sempat kesal pada Tanisha. Namun, itu tidak berlangsung lama. Sebelum tidur Aqlan menyempatkan diri untuk membaca zikir agar hatinya kembali tenang.Laki-laki itu kembali mengangkat wajah istrinya. Jari jempolnya ia gunakan untuk menghapus jejak-jejak air di pipi perempuan yang sangat ia cintai. Melihat Tanisha menangis membuat Aqlan merasa sudah gagal menjadi seorang suami."Abang," panggil Tanisha pelan."Hm?""Aku kesel sama kamu, aku nggak suka sama kamu, tapi aku juga takut. Kalo Allah marah dan nggak rida sama aku gimana?"Hati Aqlan merasa tersentuh. Ia sangat terharu dan tak menyangka. Sekalipun istrinya itu tak menyukainya, bahkan berharap rumah tangga dengannya runtuh, tetapi Tanisha tetap mengharapkan rida darinya. Perempuan itu masih menghargainya sebagai seorang suami. Walaupun terkadang Tanisha khilaf. Namun, hal itu manusiawi, bukan?"Sayang, kamu nggak perlu takut. Insya Allah rida Abang akan selalu menyertaimu. Abang nggak setega itu. Mentang-mentang Abang ini seorang suami, Abang bakal biarin kamu kena murka Allah? Nggak mungkin. Abang juga masih banyak dosa dan kesalahan. Belaga sekali rasanya kalau Abang seperti itu."Aqlan menuntun Tanisha untuk duduk di kursi. Ia kemudian menuangkan air ke dalam gelas lalu menyodorkannya pada Tanisha."Sekarang mending kita sarapan, yuk! Abang nggak sabar pengen nyicipin makanan kamu. Pasti enak-enak," ujar Aqlan antusias dan tersenyum senang. Tentu saja ia lakukan itu agar istrinya tak bersedih lagi.***Siangnya Tanisha terlihat sedang bersiap untuk pergi. Aqlan yang baru saja pulang mengajar heran melihat penampilan Tanisha yang begitu rapi."Mau ke mana, Sha?" tanya laki - laki itu sambil melepas jaketnya."Pergi," jawab Tanisha singkat. Perempuan itu sibuk memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.Aqlan tersenyum tipis. Baru saja tadi pagi hubungannya dengan Tanisha mulai akrab, tetapi sekarang perempuan itu kembali dingin dan cuek padanya."Pergi ke mana?"Tanisha menghela napas kesal. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Aqlan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada."Intinya aku mau pergi. Nggak usah larang-larang. Lagian bukan mau selingkuh juga."Aqlan kembali tersenyum. Tersenyum pasrah. Ia pun mengangguk sebagai kode bahwa ia mengizinkan istrinya untuk pergi."Ya udah. Tapi pulangnya Abang jemput, 'ya? Jemput di mana?""Jalan layang."***Suara gemercik air sungai terasa begitu menggelegar di telinga. Suaranya terleburkan oleh suara mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalan.Langit kian menghitam. Namun, hal itu tak membuat keheningan di antara dua anak manusia yang berdiri di pinggir jalan dengan jarak 2 meter menghilang. Keduanya sudah saling terdiam selama hampir lima belas menit.Keduanya terlalu gugup untuk memulai percakapan."Apa kabar?" tanya si laki - laki."Alhamdulillah, a-aku b-baik, Andra," jawab si perempuan dengan gugup.Tanisha dan Kalandra. Merekalah 2 orang itu.Kalndra memegang pagar jembatan kuat-kuat. Begitu juga Tanisha. Ia tak tahu harus bertanya apa lagi. Ia hanya ingin bertemu perempuan itu saja. Tak ada yang lain."Gue masih nggak nyangka lo nikah sama Aqlan, Cha," celetuk Kalandra dengan mata memandang ke aliran air di bawahnya.Tanisha menatap laki-laki di sebelahnya sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke aliran sungai."Semua bisa saja terjadi setelah geng unfaedah kamu itu bubar."Kalandra tertawa ringan mendengar ungkapan perempuan itu. Ia berpikir, Tanisha masih sama seperti dulu. Julid."Seenggaknya lo pernah jadi ibu negara di perkumpulan itu," ungkap Kalandra diakhiri kekehan ringan. Ia merasa ingin tertawa mengingat masa-masa saat sekolah dulu. Saat masih remaja. Remaja labil yang bisanya hanya membuang-buang waktu.Namun, tidak dengan Tanisha. Perempuan itu justru tak mengeluarkan ekspresi apapun mengenai topik pembicaraan ini."Kamu kenapa bisa satu pondok sama Bang Aqlan?"Pertanyaan Tanisha membuat Kalandra menghentikan tawanya. Ia pun memilih fokus dengan jawaban yang akan ia berikan pada orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu."Panjang ceritanya, tapi biar gue persingkat. Jadi, semenjak gue dan temen-temen seangkatan gue lulus, dan geng Garparez bubar, gue disuruh orang tua buat mondok. Awalnya gue nggak mau. Tapi, di suatu malam gue merenung. Gue ini udah banyak bikin dosa, amal baik gue masih dikit banget. Masa iya gue mau nambah-nambah dosa? Ya udah, setelah beberapa hari mikir, akhirnya gue turutin apa kata orang tua gue. Dan di Al - Muhajirin-lah gue ketemu Aqlan yang ternyata gus di pondok itu. Liat gue yang begitu berantakan, jauh banget dari agama bikin Aqlan mau tuntun gue buat kembali ke Allah. Gue sampe dijadiin murid khusus Abi-nya. Alhamdulillah, sekarang gue ngerasa lebih baik dan lebih tenang dari sebelumnya.""Oh gitu."Kalandra kembali tertawa mendapat respon singkat dari Tanisha. Padahal ia sudah bercerita begitu panjang. Sekali lagi, ia merasa melihat Tanisha yang sama seperti di masa lalu."Lo ... nggak mau nanyain dia?" tanya Kalandra hingga membuat Tanisha mendongak menatapnya."Dia siapa yang kamu maksud?""Yakin nggak inget? Masa, sih, lo lupa sama dia? Dia yang pernah jadi seseorang paling—""Nggak usah dilanjut. Aku trauma sama orang itu. Bahkan mengingatnya aja aku nggak mau.""Hahaha, iya maaf. Tapi kalo lo mau nyari dia—""Nggak akan. Udah, 'kan? Aku mau pulang.""Oh, ya udah. Gue anterin, 'ya?""Nggak usah. Bang Aqlan udah nungguin di parkiran." Tanisha mengecek ponselnya lalu berjalan cepat meninggalkan Kalandra di tempat itu.Kalandra menatap kepergian Tanisha seraya tersenyum tipis. Ia masih tak menyangka, sesorang yang dahulu terkenal bad girl, kini justru telah hijrah dan menjadi muslimah yang baik.***Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb