Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.
Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha yang mulai menyiapkan peralatan kerjanya, dan Aqlan yang sibuk menyiapkan materi ajar untuk esok hari.Namun, rasa ingin tahu Aqlan membuatnya tak dapat fokus dengan kegiatannya. Sesekali ia menatap Tanisha yang tengah sibuk mengetik di atas keyboard, dengan perasaan yang masih ragu antara bertanya atau tidak. Akan tetapi, bukankah wajar jika seorang suami menanyakan sesuatu pada istrinya, apalagi tentang laki-laki lain?Aqlan pun memberanikan diri untuk menghampiri Tanisha. Suara decitan kasur saat ia menaikinya tak membuat perempuan itu mengalihkan perhatiannya. Mata laki-laki itu terus menatap wajah sang istri."Acha," panggilnya pelan."Hm?" sahut Tanisha singkat. Ia pun masih fokus dengan laptopnya."Boleh Abang nanya?"Terdengar helaan napas kesal dari perempuan itu. Ia beralih menatap Aqlan yang berada di sampingnya.Tanisha memiringkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Melihat pemandangan seperti itu membuat Aqlan menelan salivanya kasar. Tanisha yang seperti itu terlihat sangat cantik di matanya."Mau nanya apa, sih? Nggak usah bertele-tele, ya?" tanya perempuan itu dengan senyumnya yang semakin menggoda iman Aqlan."Mmm, gimana, ya? Gini ... emm ...." Aqlan mengusap tengkuknya. Sungguh, Tanisha yang seperti itu benar-benar telah membuatnya menjadi salah tingkah.Tanisha memutar bola matanya jengah. Helaan napas kesal kembali terdengar. Ia pun melepas kaca matanya untuk lebih fokus dengan pertanyaan yang akan dilontarkan Aqlan."Mau nanya apa, sih?" tanya Tanisha geram."Gini, tadi Abang nggak sengaja liat kamu lagi ngobrol sama temen Abang, Kalandra. Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu mau ketemu dia? Terus, tadi Abang liat kamu ngobrol sama dia kayak serius gitu. Akrab banget lagi."Tanisha tiba-tiba terdiam. Ia tak tahu harus memberikan jawaban apa pada laki-laki itu. Rasa-rasanya tidak mungkin jika ia memberi tahu Aqlan bahwa Kalandra adalah salah satu bagian dari masa lalunya."Cha?"Panggilan Aqlan membuat Tanisha tersadar. Ia langsung gelagapan, bingung mau menjawab apa."Jujur sama Abang. Kamu ... kenal Andra udah lama, ya?"Tanisha nampak terkejut mendapat pertanyaan semacam itu dari Aqlan. Ia tak bingung harus menjawab iya atau tidak."Em, i-iya ... kayaknya," jawabnya tanpa berani menatap Aqlan. Sontak Aqlan mengangkat dagu istrinya agar menatapnya."Kok, kayaknya? Jujur sama Abang, Sayang."Tanisha pura-pura sibuk dengan peralatan kerjanya. Namun, dengan cepat Aqlan merapikan semuanya lalu ia simpan di atas nakas. Raut wajahnya semakin serius."Dia siapa kamu, hm?" Tanisha masih tak mau menjawab. Jantungnya semakin berdebar - debar. Khawatir timbul masalah karena pertemuannya dengan Kalandra tadi.Kesal, Aqlan pun melingkarkan lengannya di pinggang sang istri. Ia tahu, hanya ini yang bisa membuat Tanisha mau angkat suara. Wajar saja, perempuan itu sangat sensitif jika sudah dipeluk olehnya."Masih nggak mau jawab?"Tanisha menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia ingin kabur dari laki-laki itu. Namun, keadaannya sangat tidak memungkinkan."Cha, jawab. Atau Abang terkam kamu sekarang juga," ucapnya seraya tersenyum miring.Raut wajah Tanisha terlihat kesal. Namun, ia juga tak bisa melawan. Karena saat ini posisinyalah yang sedang terkena interogasi."Dia ... temen aku pas sekolah, Bang. Hehe ...." jawab perempuan itu ragu.Aqlan menghela napas panjang. Ia merasa tak puas dengan jawaban yang istrinya berikan. Lengannya semakin ia erat memeluk pinggang Tanisha."Yakin temen aja? Nggak lebih?"Tanisha menggeleng pelan. Ia mengangkat 2 jarinya sebagai isyarat bahwa ia tak berbohong.Aqlan memicingkan matanya. Ia masih belum percaya pada perempuan itu."Nggak percaya!"Dengan tiba-tiba Aqlan membuat tubuh Tanisha terbaring ia ikut berbaring di samping perempuan itu. Lengannya tak ia lepaskan dari pinggang sang istri. Sontak hal itu membuat Tanisha terkejut bukan main."Apa-apaan ini?!" sentak Tanisha."Sstt, tidur. Udah malem. Besok Abang interogasi kamu lagi." Kedua mata laki-laki sudah terpejam dan ia menyembunyikan kepalanya di celeruk leher istrinya."Tapi—""Mau Abang terkam kamu sekarang?"Terdengar gerutuan dari perempuan itu. Ia pun memilih diam daripada timbul masalah lain. Tanisha pun hanya bisa menghela napas pasrah.Nasib banget emang jadi istri. Apa-apa harus nurut ke suami.***Pagi harinya, Tanisha terus mendiamkan Aqlan. Ia masih merasa kesal dengan kelakuan laki-laki itu yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Bagaimana bisa ia tidur nyenyak kalau Aqlan terus menerus membuatnya tak bisa bernapas?Tangan Tanisha bergerak merapikan tempat tidur dengan tatapan sinis yang ia layangkan pada Aqlan. Sementara laki-laki itu terlihat menahan senyumnya saat ditatap seperti itu. Puas sekali rasanya ia menggoda istrinya semalam."Kalo mau beres-beres, fokus aja beres-beres. Nggak usah pake sinis-sinisin Abang. Lagian Abang nggak takut, Cha," ujarnya diakhiri tawa yang terdengar seperti mengejek di telinga Tanisha.Perempuan itu langsung melempar bantal pada Aqlan dengan kasar. Perasaannya sudah benar-benar dongkol dengan perlakuan Aqlan padanya."Mampus kamu, Bang!" teriaknya dengan raut wajah kesal.Aqlan tertawa terbahak-bahak. Ia justru senang membuat istrinya sekesal itu."Ih, nyebelin! Awas kamu, Bang!" Tanisha berlari menghampiri Aqlan. Tangan-tangannya sudah siap untuk menyerang Aqlan dengan pukulan andalannya."Rasain ini! Makanya jangan suka gangguin aku!" Tanisha menyerbu Aqlan dengan pukulan di berbagai bagian tubuh. Namun, bukannya rintihan yang terdengar, justru gelak tawalah yang perempuan itu dengar."Shit! Kamu nyebelin!"Ide jahil kembali muncul di otak Aqlan. Ia menahan pukulan Tanisha lalu memegang kedua lengan perempuan itu dan mengunci pergerakannya. Tak lupa satu tangannya ia gunakan untuk menarik Tanisha ke dalam pelukannya."Hayo, nggak bisa ngapa-ngapain, 'kan?" ucap Aqlan sambil menaik turunkan alisnya.Kekesalan Tanisha semakin meningkat. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Aqlan. Ia pun berjalan menjauhi Aqlan sambil menghentak-hentakkan kakinya."Huh! Nyebelin!"Tanisha beralih pada kalender kecil yang terletak di atas nakas. Ia mengambil kalender itu lalu melingkari sebuah angka di sana."Udah 15 hari. Haha, bentar lagi aku lepas dari penjara kamu," ujarnya lalu kembali meletakkan kalander itu di atas nakas.Senyum Aqlan meluntur. Ia menatap kalender dan Tanisha bergantian. Ia tak menyangka sudah 15 hari dirinya mengarungi rumah tangga bersama perempuan itu. Waktu terasa berjalan begitu cepat.Namun, ia merasa sedih. Tanisha begitu senang saat menghitung hari-hari dengannya yang semakin berkurang. Padahal dirinya begitu sedih. Dan selama itu Aqlan belum juga bisa membuat Tanisha jatuh cinta padanya."Seneng banget kamu kayaknya," ucap Aqlan sambil tersenyum miris."Iyalah. Aku udah muak hidup sama kamu tau nggak," sahut perempuan itu lalu pergi meninggalkan Aqlan sendirian.Dalam hati, laki - laki itu berdoa. Berharap Allah menyelamatkan rumah tangannya dari musibah perpisahan.***Sedari tadi, Aqlan terus termenung sambil duduk bersila di teras rumah orang tuanya. Matanya menatap lurus ke depan. Walau kelihatannya seperti sedang menatap gerombolan santri yang tengah bermain-main di lapangan, sebenernya matanya itu sedang menatap kosong.Pikirannya tak henti-henti mengilas balik kejadian beberapa waktu lalu, saat ia memergoki istrinya tengah berbicara banyak dengan Kalandra. Ia sangat ingin tahu banyak apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan waktu itu."Aqlan!" panggil Kalandra tiba-tiba hingga membuat Aqlan tersentak.Perasaan laki-laki itu agak tak suka melihat kedatangan Kalandra padanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sejenak. Lalu, ia mengucap istighfar beberapa kali. Aqlan sadar, ia tidak boleh mengira yang tidak-tidak pada sahabatnya itu sebelum mengetahui yang sebenarnya."Kenapa? Kok, ngelamun aja? Lagi ada masalah, kah, sama ... istri lo?" tanya Kalandra dengan nada agak ragu di kalimat akhirnya.Aqlan berusaha menampilkan senyumnya pada Kala
"Jadi, kita udah ... pacaran?" tanya Tanisha dengan jari kelingking yang masih bertaut dengan jari kelingking Rezvan."Iya," balas laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang baru dipacarinya itu.Tanisha tersenyum simpul. Ada getaran aneh saat dekat dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu. Di saat ia baru memasuki dunia putih abu-abu, ia pun pertama kalinya mempunyai seseorang yang dipanggil "pacar".Gadis berseragam acak-acakan itu melepas tautan jarinya dengan Rezvan. Ia kemudian beralih memandang lurus ke depan dengan senyumnya yang tak luntur-luntur. Jantungnya pun sedari tadi berdetak tak karuan.Rezvan memandang sang pacar dari arah samping. Senyumnya pun tak meluntur saat menelisik ukiran indah Tuhan di wajah perempuan itu.Bukan hal yang mudah bagi Rezvan untuk mendapatkan Tanisha. Perempuan yang bisa dibilang baru mengenal yang namanya cinta itu cukup sulit untuk diluluhkan. Wajar saja, saat SMP dulu, Tanisha hanya menghabiskan waktu
Tak terasa, hubungan Rezvan dan Tanisha sudah berlangsung selama 4 bulan. Selama itu juga sifat posesif Rezvan selalu membuat gadis itu seolah tak bisa bernapas dengan bebas.Kekangan yang diberikan laki-laki itu terlalu berlebihan. Pergaulannya mulai dibatasi bahkan dengan teman-teman perempuannya. Waktu dengan keluarga pun semakin terkikis karena Tanisha harus selalu mengikuti apa yang diinginkan Rezvan.Tak jarang, Tanisha seringkali mendapat perlakuan keras dari laki-laki itu jika ia berani membantah atau menolak. Entah itu berupa fisik maupun batin. Fisiknya yang tersiksa, dan batinnya yang begitu tertekan. Sayang sekali, Tanisha tak pernah berani untuk mengadu pada siapa pun dengan alasan takut dan cinta.Apakah cinta harus sebuta ini bagi Tanisha? Mengapa cinta pertama gadis itu harus semenyakitkan ini?"Ikut gue!" Dengan paksa Rezvan menarik lengan Tanisha agar ikut dengannya. Ringisan pelan sesekali terdengar dari mulut gadis itu."Van, santai, dong! Ini sakit tau!"Tepat saa
"Ini beneran pacar gue? Cantik."Suara Rezvan yang tiba-tiba menyapa telinga Tanisha membuat gadis itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Bukannya tersipu, gadis itu justru melayangkan tatapan tak suka pada laki-laki itu.Rezvan menatap Tanisha dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda. Tak ada kesan bad girl atau tomboy. Tanisha terlihat anggun dan menawan dengan penampilan feminimnya itu."Apa lo liat-liat?!" sentak gadis itu. Rasa kesalnya masih belum juga pergi.Kalandra yang selalu berada di dekat Rezvan dapat melihat mata Tanisha yang berkaca-kaca seolah menahan tangis. Namun, ia tahu gadis itu tak akan mungkin berani menitikkan air matanya dengan alasan tak ingin dicap lemah. Padahal menangis bukan berarti seseorang itu lemah."Ayo, berangkat!" ajak Rezvan sambil memegang pergelangan tangan Tanisha.Gadis itu langsung menghempaskan tangan Rezvan. "Mau ke mana, sih? Kasih tau dulu!" pintanya dengan nada kesal.Laki-laki itu berdecak kesal. Lalu, tanpa aba-aba dan tanpa mem
Kalandra menatap wajah Aqlan yang terlihat menahan amarah, tetapi masih bisa bersikap tenang. Ia dapat merasakan, betapa marahnya seorang suami yang mengetahui bahwa istrinya pernah menjalin sebuah hubungan yang melebihi batas wajar. Bahkan, ia sendiri agak menyesal telah menceritakan bagian yang cukup tabu itu. "Lan, maafin gue," ucap Kalandra tak enak hati. Aqlan tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Helaan napas perlahan mengembus dari mulutnya seolah tengah melepas segala beban yang ada di kepalanya. "Gak, kok. Lo gak salah, dan memang gak ada yang salah. Yang lo ceritain hanya masa lalu Tanisha, gak usah diungkit lagi. Tanisha yang sekarang tak sama dengan Tanisha yang dulu. Gue yakin," tuturnya dengan senyum yang tak luntur. Aqlan mengarahkan pandangannya lurus ke depan menatap para santri yang tengah berlalu lalang. Namun, pikirannya justru mengembara ke perjalanan rumah tangganya dengan Tanisha. Yang ia lihat, rintangan
"Gimana? Apa semuanya udah siap? Gue mau cek lokasi 2 abis ini.""Semua sudah siap, Pak. 1 jam lagi mau dimulai.""Good. Semoga lancar dan project ini bisa sukses."Laki-laki itu memasangkan kaca mata hitam lalu segera meluncur ke lokasi 2 untuk memantau proses shooting di sana. Sudah menjadi kebiasaannya bolak-balik dari lokasi satu ke lokasi lainnya untuk memantau kelancaran produksi film yang berasal dari ide-idenya itu. Mobil SUV hitam yang dinaikinya pun segera keluar dari lahan parkir. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu pop ia putar dari radionya. Sesekali laki-laki itu menyapa warga sekitar yang ia lewati dengan seulas senyum. Di atas dashboard mobilnya, terdapat sebuah buku novel. Novel itu telah ia beli setahun lalu, tepat saat ia sukses menjalankan project film pertamanya saat masih berada di luar kota. Ia membeli novel itu karena pada waktu itu, novel yang dimilikinya kini sempat mem-booming. Dengan satu tangan yang mengendalikan stir, satu tanganny
Ahad pagi, Tanisha sibuk merapikan rak buku yang terletak di sudut kamar. Ia baru saja membeli beberapa buku mengenai kepenulisan untuknya belajar agar tulisannya lebih baik. Ia pun memisahkan beberapa buku yang ia lahirkan sendiri di rak bagian paling atas. Tanisha tersenyum senang saat menatap buku-buku novel yang ia tulis sendiri itu. Ia juga terharu dan tak menyangka, salah satu novelnya berjudul "Toxic Relationship", bisa meledak saat terbit satu tahun lalu. Tangannya bergerak untuk meletakkan buku-buku itu kecuali satu novel yang judulnya disebut di atas tadi. Ia melangkahkan kaki menuju meja belajar lalu duduk di atas kursi. Perlahan tangannya membuka lembar demi lembar buku novel itu. Matanya bergerak pertanda ia sedang membaca kata demi kata di novel itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke pengalaman hidupnya di masa SMA. Tanisha sadar, kisah yang ia tulis di novel itu sebenarnya adalah kisahnya. Mengisahkan tentang cinta pertamanya yang tak indah, justru begitu menyakitka
Tanisha menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sesekali ia tersenyum manis seolah sedang ada seorang photografer yang tengah memotretnya. Tampilannya sangat cantik, gamis pink yang dipadu dengan jilbab segi empat berwarna lavender pink, serta sneacker putih yang menutupi kakinya. Tanisha kemudian mengambil ponselnya lalu melakukan mirror selfie—gaya selfie andalan perempuan. Perempuan itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Merasa masih banyak waktu, ia memutuskan untuk men-scroll akun sosial medianya dahulu. Sementara itu, ada Aqlan yang tengah menatap sang istri dari balik pintu kamar. Wajahnya nampak cemberut. Hatinya pun serasa dipenuhi oleh rasa cemburu. Pasalnya, hari ini Tanisha akan melakukan pertemuan dengan produser film itu setelah pembicaraan cukup panjang di room chat. Laki-laki itu membuka pintu perlahan lalu berpura-pura berjalan menuju lemari bajunya. Tangannya bergerak seolah tengah mencari bajunya, padahal ia hanya ingin mencari perhatian dari