Share

PART 08

Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.

Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.

Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?

"Acha ...."

"Iya?"

Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup.

"Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.

Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha yang mulai menyiapkan peralatan kerjanya, dan Aqlan yang sibuk menyiapkan materi ajar untuk esok hari.

Namun, rasa ingin tahu Aqlan membuatnya tak dapat fokus dengan kegiatannya. Sesekali ia menatap Tanisha yang tengah sibuk mengetik di atas keyboard, dengan perasaan yang masih ragu antara bertanya atau tidak. Akan tetapi, bukankah wajar jika seorang suami menanyakan sesuatu pada istrinya, apalagi tentang laki-laki lain?

Aqlan pun memberanikan diri untuk menghampiri Tanisha. Suara decitan kasur saat ia menaikinya tak membuat perempuan itu mengalihkan perhatiannya. Mata laki-laki itu terus menatap wajah sang istri.

"Acha," panggilnya pelan.

"Hm?" sahut Tanisha singkat. Ia pun masih fokus dengan laptopnya.

"Boleh Abang nanya?"

Terdengar helaan napas kesal dari perempuan itu. Ia beralih menatap Aqlan yang berada di sampingnya.

Tanisha memiringkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Melihat pemandangan seperti itu membuat Aqlan menelan salivanya kasar. Tanisha yang seperti itu terlihat sangat cantik di matanya.

"Mau nanya apa, sih? Nggak usah bertele-tele, ya?" tanya perempuan itu dengan senyumnya yang semakin menggoda iman Aqlan.

"Mmm, gimana, ya? Gini ... emm ...." Aqlan mengusap tengkuknya. Sungguh, Tanisha yang seperti itu benar-benar telah membuatnya menjadi salah tingkah.

Tanisha memutar bola matanya jengah. Helaan napas kesal kembali terdengar. Ia pun melepas kaca matanya untuk lebih fokus dengan pertanyaan yang akan dilontarkan Aqlan.

"Mau nanya apa, sih?" tanya Tanisha geram.

"Gini, tadi Abang nggak sengaja liat kamu lagi ngobrol sama temen Abang, Kalandra. Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu mau ketemu dia? Terus, tadi Abang liat kamu ngobrol sama dia kayak serius gitu. Akrab banget lagi."

Tanisha tiba-tiba terdiam. Ia tak tahu harus memberikan jawaban apa pada laki-laki itu. Rasa-rasanya tidak mungkin jika ia memberi tahu Aqlan bahwa Kalandra adalah salah satu bagian dari masa lalunya.

"Cha?"

Panggilan Aqlan membuat Tanisha tersadar. Ia langsung gelagapan, bingung mau menjawab apa.

"Jujur sama Abang. Kamu ... kenal Andra udah lama, ya?"

Tanisha nampak terkejut mendapat pertanyaan semacam itu dari Aqlan. Ia tak bingung harus menjawab iya atau tidak.

"Em, i-iya ... kayaknya," jawabnya tanpa berani menatap Aqlan. Sontak Aqlan mengangkat dagu istrinya agar menatapnya.

"Kok, kayaknya? Jujur sama Abang, Sayang."

Tanisha pura-pura sibuk dengan peralatan kerjanya. Namun, dengan cepat Aqlan merapikan semuanya lalu ia simpan di atas nakas. Raut wajahnya semakin serius.

"Dia siapa kamu, hm?" Tanisha masih tak mau menjawab. Jantungnya semakin berdebar - debar. Khawatir timbul masalah karena pertemuannya dengan Kalandra tadi.

Kesal, Aqlan pun melingkarkan lengannya di pinggang sang istri. Ia tahu, hanya ini yang bisa membuat Tanisha mau angkat suara. Wajar saja, perempuan itu sangat sensitif jika sudah dipeluk olehnya.

"Masih nggak mau jawab?"

Tanisha menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia ingin kabur dari laki-laki itu. Namun, keadaannya sangat tidak memungkinkan.

"Cha, jawab. Atau Abang terkam kamu sekarang juga," ucapnya seraya tersenyum miring.

Raut wajah Tanisha terlihat kesal. Namun, ia juga tak bisa melawan. Karena saat ini posisinyalah yang sedang terkena interogasi.

"Dia ... temen aku pas sekolah, Bang. Hehe ...." jawab perempuan itu ragu.

Aqlan menghela napas panjang. Ia merasa tak puas dengan jawaban yang istrinya berikan. Lengannya semakin ia erat memeluk pinggang Tanisha.

"Yakin temen aja? Nggak lebih?"

Tanisha menggeleng pelan. Ia mengangkat 2 jarinya sebagai isyarat bahwa ia tak berbohong.

Aqlan memicingkan matanya. Ia masih belum percaya pada perempuan itu.

"Nggak percaya!"

Dengan tiba-tiba Aqlan membuat tubuh Tanisha terbaring ia ikut berbaring di samping perempuan itu. Lengannya tak ia lepaskan dari pinggang sang istri. Sontak hal itu membuat Tanisha terkejut bukan main.

"Apa-apaan ini?!" sentak Tanisha.

"Sstt, tidur. Udah malem. Besok Abang interogasi kamu lagi." Kedua mata laki-laki sudah terpejam dan ia menyembunyikan kepalanya di celeruk leher istrinya.

"Tapi—"

"Mau Abang terkam kamu sekarang?"

Terdengar gerutuan dari perempuan itu. Ia pun memilih diam daripada timbul masalah lain. Tanisha pun hanya bisa menghela napas pasrah.

Nasib banget emang jadi istri. Apa-apa harus nurut ke suami.

***

Pagi harinya, Tanisha terus mendiamkan Aqlan. Ia masih merasa kesal dengan kelakuan laki-laki itu yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.

Bagaimana bisa ia tidur nyenyak kalau Aqlan terus menerus membuatnya tak bisa bernapas?

Tangan Tanisha bergerak merapikan tempat tidur dengan tatapan sinis yang ia layangkan pada Aqlan. Sementara laki-laki itu terlihat menahan senyumnya saat ditatap seperti itu. Puas sekali rasanya ia menggoda istrinya semalam.

"Kalo mau beres-beres, fokus aja beres-beres. Nggak usah pake sinis-sinisin Abang. Lagian Abang nggak takut, Cha," ujarnya diakhiri tawa yang terdengar seperti mengejek di telinga Tanisha.

Perempuan itu langsung melempar bantal pada Aqlan dengan kasar. Perasaannya sudah benar-benar dongkol dengan perlakuan Aqlan padanya.

"Mampus kamu, Bang!" teriaknya dengan raut wajah kesal.

Aqlan tertawa terbahak-bahak. Ia justru senang membuat istrinya sekesal itu.

"Ih, nyebelin! Awas kamu, Bang!" Tanisha berlari menghampiri Aqlan. Tangan-tangannya sudah siap untuk menyerang Aqlan dengan pukulan andalannya.

"Rasain ini! Makanya jangan suka gangguin aku!" Tanisha menyerbu Aqlan dengan pukulan di berbagai bagian tubuh. Namun, bukannya rintihan yang terdengar, justru gelak tawalah yang perempuan itu dengar.

"Shit! Kamu nyebelin!"

Ide jahil kembali muncul di otak Aqlan. Ia menahan pukulan Tanisha lalu memegang kedua lengan perempuan itu dan mengunci pergerakannya. Tak lupa satu tangannya ia gunakan untuk menarik Tanisha ke dalam pelukannya.

"Hayo, nggak bisa ngapa-ngapain, 'kan?" ucap Aqlan sambil menaik turunkan alisnya.

Kekesalan Tanisha semakin meningkat. Dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Aqlan. Ia pun berjalan menjauhi Aqlan sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Huh! Nyebelin!"

Tanisha beralih pada kalender kecil yang terletak di atas nakas. Ia mengambil kalender itu lalu melingkari sebuah angka di sana.

"Udah 15 hari. Haha, bentar lagi aku lepas dari penjara kamu," ujarnya lalu kembali meletakkan kalander itu di atas nakas.

Senyum Aqlan meluntur. Ia menatap kalender dan Tanisha bergantian. Ia tak menyangka sudah 15 hari dirinya mengarungi rumah tangga bersama perempuan itu. Waktu terasa berjalan begitu cepat.

Namun, ia merasa sedih. Tanisha begitu senang saat menghitung hari-hari dengannya yang semakin berkurang. Padahal dirinya begitu sedih. Dan selama itu Aqlan belum juga bisa membuat Tanisha jatuh cinta padanya.

"Seneng banget kamu kayaknya," ucap Aqlan sambil tersenyum miris.

"Iyalah. Aku udah muak hidup sama kamu tau nggak," sahut perempuan itu lalu pergi meninggalkan Aqlan sendirian.

Dalam hati, laki - laki itu berdoa. Berharap Allah menyelamatkan rumah tangannya dari musibah perpisahan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status