Sesampainya di rumah, Aqlan dan Tanisha kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha dengan kertas beserta laptopnya, dan Aqlan dengan buku catatan serta kitab-kitabnya.
1 proyek sudah selesai setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam dari semenjak bakda Isya. Kini Tanisha melanjutkan tugasnya yang lain yang mungkin kira-kira ada 2 projek lagi.Semua aktifitas Tanisha itu tak lepas dari perhatian Aqlan yang sudah sedari tadi selesai mencatat materi yang akan ia sampaikan pada para santri esok hari. Ia begitu setia menunggu sang istri menyelesaikan pekerjaannya.Aqlan sangat teringin menegur istrinya agar tak terlalu memaksakan dirinya untuk menyelesaikan semua tugasnya. Namun, bayang-bayang map perjanjian selalu membuat laki-laki itu tak berani melakukan hal itu. Padahal, seharusnya ia lebih berkuasa daripada secarik kertas yang bahkan bisa rusak hanya dengan merobeknya sedikit saja.Lagi-lagi Aqlan beristigfar karena ia merasa lemah di hadapan istrinya. Ia sadar, betapa ia lebih mementingkan perjanjian bermaterai itu daripada rumah tangganya.Aqlan memberanikan diri untuk mendekati Tanisha. Perlahan kaki-kakinya bergerak menaiki ranjang. Kedua matanya masih setia menatap sang istri yang tengah sibuk menarikan jari-jarinya di atas keyboard dengan kedua mata yang terkurung kaca."Tanisha.""Hm?"Aqlan menarik napas pelan lalu membuangnya perlahan. Ia juga berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Ia harus berani menegur Tanisha karena itu untuk kebaikannya juga."Udah dulu, 'ya, kerjanya. Besok lagi dilanjut. Udah malem banget ini."Tanisha mengangkat kepalanya lalu melepas kaca matanya. Ditatapnya wajah Aqlan dengan tatapan dingin."Apa hak kamu nyuruh-nyuruh aku berhenti? Ini pekerjaan aku. Kamu nggak usah ikut campur."Ada sedikit sentakan di hati Aqlan. Perih, juga sakit. Kalimat yang dilontarkan Tanisha seolah menyatakan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa Tanisha."Abang? Abang suami kamu. Jadi Abang berhak ngatur-ngatur kamu. Bahkan Abang berhak meminta sesuatu yang sebelumnya Abang sendiri tak berani memintanya," jawab laki - laki itu diakhiri senyum menggoda. Jiwa jahilnya seolah meronta-ronta untuk mengganggu Tanisha.Merinding. Itulah yang dirasakan Tanisha saat Aqlan berbicara seperti itu padanya. Apalagi tatapan mata yang diberikan padanya seolah menambah kesan horor baginya."Apa, hah?! Mau minta apa?!" sentak Tanisha sambil meletakkan laptop beserta kertas - kertas berisi outline-outline cerita ke atas nakas.Aqlan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagu. Laki - laki itu berlagak sedang berpikir di depan Tanisha."Emm, kalo Abang minta hak Abang malam ini, mau ngasih nggak? Sekali aja."Sontak kedua mata Tanisha membulat. Mulutnya tak bisa berkata-kata. Dalam hati ia berdoa agar gus itu tak meminta apa pun padanya. Kalau itu benar-benar terjadi, hancur sudah rencana yang sudah ia susun dari awal."Ngomong apaan, sih? Nggak jelas banget!" Tanisha memalingkan wajahnya ke arah lain. Kaki-kakinya berusaha ia turunkan perlahan. Ia harap pergerakannya tak dilihat Aqlan.Namun, sial sekali nasibnya. Satu tangannya berhasil Aqlan cekal. Sebagai bentuk perlawanan, Tanisha melayangkan senjata andalannya. Tatapan elang."Yakin nggak jelas? Mau diperjelas Abang mau minta apa?" tanya Aqlan dengan senyum yang terlihat menakutkan di mata Tanisha."Awas aja kalo minta yang aneh-aneh. Inget perjanjian kita," ucap Tanisha penuh penekanan. Tangannya ia biarkan dicekal Aqlan. Ia tengah mencari cara agar bisa lepas dari laki-laki itu secepat mungkin.Aqlan mendekatkan wajahnya dengan wajah Tanisha. Satu tangannya yang semula menyekal lengan perempuan itu, kini beralih melingkarkannya di pinggang ramping istrinya.Tanisha menahan napasnya kuat-kuat. Sial sekali nasibnya yang justru terkurung di jebakan asmara palsu Aqlan. Iya, palsu baginya. Namun tidak bagi Aqlan."Kalau ... mau minta juga, boleh nggak? Nggak usah peduliin perjanjian itu, Sayang," bisik Aqlan hingga membuat Tanisha semakin merinding. Apalagi ditambah dengan embusan napas Aqlan yang mengenai wajahnya."B-bang Aqlan, b-bisa ja-jauhan dikit nggak? T-terus ini tangannya le-lepasin, 'ya?" Percayalah, berucap di jarak sedekat ini memerlukan tenaga yang cukup banyak.Aqlan menggeleng pelan. "Mau kamu ...," ucapnya lirih.Kesal, Tanisha langsung mendorong tubuh Aqlan agar menjauh. Kemudian, ia langsung turun dari kasur dan melempar bantal ke arah Aqlan."Kamu jangan macem-macem, 'ya! Aku nggak suka!"Terkejut dengan sikap Tanisha, Aqlan pun mengucap istigfar beberapa kali lalu menghampiri Tanisha yang terlihat ketakutan. Setiap laki -laki itu hendak menyentuh Tanisha, perempuan itu langsung menjauh."Acha, maafin Abang. Tadi Abang khilaf. Abang nggak bermaksud kayak gitu. Maaf, 'ya?""Kamu jahat! Kamu nggak penuhin perjanjian kita! Gimana jadinya kalo kita sampai ... arrgghh! Menyebalkan!"Dengan kasar Tanisha mengambil selimutnya yang berada di dalam koper lalu pergi keluar kamar. Pintu kamar pun ia tutup dengan kasar.Kini Aqlan semakin panik. Ia dengan cepat menyusul Tanisha yang ia duga hendak pergi ke kamar sebelah.Benar saja, perempuan berambut kuncir satu itu sedang merapikan kasur di kamar sebelah. Saat Aqlan hendak memasuki kamar itu, suara Tanisha langsung menginterupsinya."Diem di situ! Jangan maju lagi!" Tanisha berjalan mendekati Aqlan. Napasnya naik turun. Keringat pun terlihat membasahi anak rambutnya."Mulai sekarang, kita tidur di kamar yang berbeda. Aku nggak mau kalo sampai kamu khilaf sama aku."Aqlan menggelengkan kepalanya tak percaya. Khilaf? Bukankah Tanisha itu istrinya? Pantaskah disebut khilaf jika ia hanya ingin beribadah dengan istrinya sendiri?Sungguh, perjanjian itu mungkin telah membuat perempuan itu lupa dengan statusnya sebagai seorang istri."Cha, kamu mau jadi istri yang nusyuz? Meninggalkan suami tidur sendirian itu nggak baik, nggak boleh."Tanisha tiba - tiba terdiam. Ia jadi ingat pada surah An-Nisa' ayat 34 yang menerangkan tentang nusyuz. Tapi seingatnya, nusyuz itu kabur dari rumah tanpa seizin suami.Ya, hanya sebatas itu yang ia tau.Tanisha menggelengkan kepalanya cepat. Ia berpikir, mungkin Aqlan ingin menjebaknya di balik alasan syariat. Tidak, ia tidak boleh terpedaya."Pokoknya aku mau tidur sendiri! Sana pergi!"Aqlan menggelengkan kepalanya. Ia mencoba menarik lengan istrinya dan berjalan ke luar kamar. Namun, satu tangan perempuan itu mencoba menahan ke kusen pintu."Nggak mau! Aku mau di sini aja! Lepasin!"Aqlan menatap Tanisha yang histeris seolah sedang dipaksa ikut oleh penculik. Dan sikap Tanisha itu ... sial, sangat lucu di matanya. Sangat-sangat menggemaskan hingga membuat Aqlan tak kuasanya untuk tidak membawanya pergi ke kamarnya."Kamu jangan panik gitu. Abang nggak akan apa-apain kamu, kok. Udah, 'ya?"Seluruh wajah Tanisha memerah pertanda sedang menahan amarah dan tangis. Perempuan itu merasakan kedua matanya yang memanas. Ia pun dengan cepat memalingkan wajahnya.Bahaya kalau sampai Aqlan melihatnya menangis. Kalau iya, runtuh sudah reputasinya sebagai perempuan yang terkenal galak di masa ia sekolah."Kok, nangis? Karena Abang, 'ya? Maaf," cicit laki - laki itu sambil memegang wajah Tanisha, tapi dengan cepat ditepisnya."Nggak. Aku nggak nangis. Aku bukan cewek lemah yang digituin doang sama cowok langsung nangis." Perempuan itu mengusap wajahnya berkali-kali dengan kasar. Menahan aliran air yang sedikit lagi akan membasahi pipinya."Kamu tidur di sana, aku tidur di sini. Aku terlalu takut tidur sama kamu. Kalau sampai kamu beneran minta ... ah, gimana caranya aku nolak coba?"Aqlan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Jujur saja, baru kali ini ia merasa ingin menangis karena seorang perempuan. Hatinya terasa perih saat menyadari kalau sikap Tanisha seolah menyatakan bahwa ia bukan siapa - siapa. Tanisha tak menganggapnya suami. Dia hanya orang lain di mata istrinya sendiri."Oke kalo gitu. Kita tidur berpisah. Semoga mimpi indah, 'ya. Jangan lupa sunnah-sunnahnya Selamat malam." Setelah mengatakan itu, Aqlan langsung meleos pergi ke kamarnya meninggalkan Tanisha yang diam terpaku sambil menatap pintu kamar Aqlan sudah tertutup.Tanisha tiba-tiba merasa berdosa. Ia sadar, seharusnya dirinya tak bersikap seperti tadi. Karena bagaimanapun juga, Aqlan adalah suaminya.Ya, ia melupakan satu hubungan yang baru ia bangun beberapa hari lalu.Tanisha berjalan masuk ke dalam kamar lalu menutupnya pintunya perlahan. Perasaan cemas tiba-tiba menyelimuti hatinya. Ia lupa kalau kini rida Allah terletak pada rida suaminya.Tanpa sadar, setetes air turun membentuk sebuah aliran sungai di pipi perempuan itu. Dengan cepat ia gunakan satu tangannya untuk menghapus tetesan air itu."Maafin Acha, Ya Allah. Acha lupa ...," ucap perempuan itu dengan suara lirih.***Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?" Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan
Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing
Sedari tadi, Aqlan terus termenung sambil duduk bersila di teras rumah orang tuanya. Matanya menatap lurus ke depan. Walau kelihatannya seperti sedang menatap gerombolan santri yang tengah bermain-main di lapangan, sebenernya matanya itu sedang menatap kosong.Pikirannya tak henti-henti mengilas balik kejadian beberapa waktu lalu, saat ia memergoki istrinya tengah berbicara banyak dengan Kalandra. Ia sangat ingin tahu banyak apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan waktu itu."Aqlan!" panggil Kalandra tiba-tiba hingga membuat Aqlan tersentak.Perasaan laki-laki itu agak tak suka melihat kedatangan Kalandra padanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sejenak. Lalu, ia mengucap istighfar beberapa kali. Aqlan sadar, ia tidak boleh mengira yang tidak-tidak pada sahabatnya itu sebelum mengetahui yang sebenarnya."Kenapa? Kok, ngelamun aja? Lagi ada masalah, kah, sama ... istri lo?" tanya Kalandra dengan nada agak ragu di kalimat akhirnya.Aqlan berusaha menampilkan senyumnya pada Kala
"Jadi, kita udah ... pacaran?" tanya Tanisha dengan jari kelingking yang masih bertaut dengan jari kelingking Rezvan."Iya," balas laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang baru dipacarinya itu.Tanisha tersenyum simpul. Ada getaran aneh saat dekat dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu. Di saat ia baru memasuki dunia putih abu-abu, ia pun pertama kalinya mempunyai seseorang yang dipanggil "pacar".Gadis berseragam acak-acakan itu melepas tautan jarinya dengan Rezvan. Ia kemudian beralih memandang lurus ke depan dengan senyumnya yang tak luntur-luntur. Jantungnya pun sedari tadi berdetak tak karuan.Rezvan memandang sang pacar dari arah samping. Senyumnya pun tak meluntur saat menelisik ukiran indah Tuhan di wajah perempuan itu.Bukan hal yang mudah bagi Rezvan untuk mendapatkan Tanisha. Perempuan yang bisa dibilang baru mengenal yang namanya cinta itu cukup sulit untuk diluluhkan. Wajar saja, saat SMP dulu, Tanisha hanya menghabiskan waktu
Tak terasa, hubungan Rezvan dan Tanisha sudah berlangsung selama 4 bulan. Selama itu juga sifat posesif Rezvan selalu membuat gadis itu seolah tak bisa bernapas dengan bebas.Kekangan yang diberikan laki-laki itu terlalu berlebihan. Pergaulannya mulai dibatasi bahkan dengan teman-teman perempuannya. Waktu dengan keluarga pun semakin terkikis karena Tanisha harus selalu mengikuti apa yang diinginkan Rezvan.Tak jarang, Tanisha seringkali mendapat perlakuan keras dari laki-laki itu jika ia berani membantah atau menolak. Entah itu berupa fisik maupun batin. Fisiknya yang tersiksa, dan batinnya yang begitu tertekan. Sayang sekali, Tanisha tak pernah berani untuk mengadu pada siapa pun dengan alasan takut dan cinta.Apakah cinta harus sebuta ini bagi Tanisha? Mengapa cinta pertama gadis itu harus semenyakitkan ini?"Ikut gue!" Dengan paksa Rezvan menarik lengan Tanisha agar ikut dengannya. Ringisan pelan sesekali terdengar dari mulut gadis itu."Van, santai, dong! Ini sakit tau!"Tepat saa
"Ini beneran pacar gue? Cantik."Suara Rezvan yang tiba-tiba menyapa telinga Tanisha membuat gadis itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Bukannya tersipu, gadis itu justru melayangkan tatapan tak suka pada laki-laki itu.Rezvan menatap Tanisha dari atas sampai bawah. Benar-benar berbeda. Tak ada kesan bad girl atau tomboy. Tanisha terlihat anggun dan menawan dengan penampilan feminimnya itu."Apa lo liat-liat?!" sentak gadis itu. Rasa kesalnya masih belum juga pergi.Kalandra yang selalu berada di dekat Rezvan dapat melihat mata Tanisha yang berkaca-kaca seolah menahan tangis. Namun, ia tahu gadis itu tak akan mungkin berani menitikkan air matanya dengan alasan tak ingin dicap lemah. Padahal menangis bukan berarti seseorang itu lemah."Ayo, berangkat!" ajak Rezvan sambil memegang pergelangan tangan Tanisha.Gadis itu langsung menghempaskan tangan Rezvan. "Mau ke mana, sih? Kasih tau dulu!" pintanya dengan nada kesal.Laki-laki itu berdecak kesal. Lalu, tanpa aba-aba dan tanpa mem
Kalandra menatap wajah Aqlan yang terlihat menahan amarah, tetapi masih bisa bersikap tenang. Ia dapat merasakan, betapa marahnya seorang suami yang mengetahui bahwa istrinya pernah menjalin sebuah hubungan yang melebihi batas wajar. Bahkan, ia sendiri agak menyesal telah menceritakan bagian yang cukup tabu itu. "Lan, maafin gue," ucap Kalandra tak enak hati. Aqlan tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Helaan napas perlahan mengembus dari mulutnya seolah tengah melepas segala beban yang ada di kepalanya. "Gak, kok. Lo gak salah, dan memang gak ada yang salah. Yang lo ceritain hanya masa lalu Tanisha, gak usah diungkit lagi. Tanisha yang sekarang tak sama dengan Tanisha yang dulu. Gue yakin," tuturnya dengan senyum yang tak luntur. Aqlan mengarahkan pandangannya lurus ke depan menatap para santri yang tengah berlalu lalang. Namun, pikirannya justru mengembara ke perjalanan rumah tangganya dengan Tanisha. Yang ia lihat, rintangan
"Gimana? Apa semuanya udah siap? Gue mau cek lokasi 2 abis ini.""Semua sudah siap, Pak. 1 jam lagi mau dimulai.""Good. Semoga lancar dan project ini bisa sukses."Laki-laki itu memasangkan kaca mata hitam lalu segera meluncur ke lokasi 2 untuk memantau proses shooting di sana. Sudah menjadi kebiasaannya bolak-balik dari lokasi satu ke lokasi lainnya untuk memantau kelancaran produksi film yang berasal dari ide-idenya itu. Mobil SUV hitam yang dinaikinya pun segera keluar dari lahan parkir. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu pop ia putar dari radionya. Sesekali laki-laki itu menyapa warga sekitar yang ia lewati dengan seulas senyum. Di atas dashboard mobilnya, terdapat sebuah buku novel. Novel itu telah ia beli setahun lalu, tepat saat ia sukses menjalankan project film pertamanya saat masih berada di luar kota. Ia membeli novel itu karena pada waktu itu, novel yang dimilikinya kini sempat mem-booming. Dengan satu tangan yang mengendalikan stir, satu tanganny