Seorang pengemudi ojek online dengan seorang penumpang perempuan di depannya tiba di depan gerbang pesantren Al-Muhajirin. Setelah menyerahkan beberapa lembar uang, perempuan itu lantas memasuki gerbang dan disambut hangat oleh penjaga gerbang. Istri dari Aqlan tersebut—Tanisha—menarik napas terlebih dahulu sebelum berjalan lebih jauh ke area pesantren. Ia sudah menebak-nebak kalau para santri di sana pasti akan menunduk hormat padanya. Sesuatu yang paling membuat Tanisha merasa tak nyaman saat mendatangi pesantren milik mertuanya itu. Benar saja, baru saja Tanisha berjalan beberapa langkah, sudah ada 2 orang santriwati yang berlalu di hadapannya sambil membungkukkan badan hormat. Tanisha yang melihat itu hanya tersenyum kikuk seraya menganggukkan kepala pelan. Bukan keinginannya untuk datang ke tempat menuntut ilmu agama ini. Lagi-lagi Tanisha diminta oleh sang Bunda untuk membawakan makan siang pada Aqlan. Kalau bukan karena permintaan oleh malaikat tak bersayapnya, Tanisha pasti
"Tumben banget kamu ke sini, Nisha. Ada apa?" tanya Sardan sembari menjatuhkan tubuhnya ke salah satu single sofa di ruang tamu tersebut. "Nggak papa, kok, Abi. Pengen jenguk aja, sekalian nganterin makan siang buat Bang Aqlan," jawab Tanisha. Sardan mengangguk paham. Ia pun mengajak Tanisha untuk berbincang-bincang perihal perjalanan rumah tangga Tanisha dengan putranya, Aqlan. Sebagai putra pertama, tentu Sardan berharap Aqlan benar-benar dapat menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga kecilnya. Ilmu-ilmu mengenai kehidupan rumah tangga yang sudah Sardan sampaikan pada Aqlan diharapkan dapat diamalkan oleh laki-laki itu. Sementara itu, Raidah meminta kepada salah satu santri di sana untuk membuatkan minuman. Sambil menunggu, Raidah pun ikut masuk ke dalam percakapan antara suami dan menantunya itu. "Aqlan gimana? Nggak ngerepotin kamu, kan? Suka bikin kesel gak? Soalnya Aqlan itu orangnya kadang suka ngerjain," tanya Raidah diiringi tawa ringan. "Nggak, kok. Bang Aqlan baik," ja
Beberapa hari ke belakang ini Rezvan dilanda rasa penasaran yang seolah terus-menerus menghantui pikirannya. Semenjak insiden di pasar itu, Rezvan pun menjadi lebih banyak diam dan melamun. Hal itu tentu membuat Fathan heran, apalagi laki-laki itu juga selalu melamun di tengah-tengah kegiatan rapat. Rezvan ingin sekali mencari tahu tentang sesuatu yang ia rasa Kalandra sembunyikan darinya. Perkataan Kalandra sewaktu di pasar seakan-akan terus terngiang di telinganya dan mendorong laki-laki itu untuk mencari tahu sendiri ketimbang menunggu kepastian kapan waktu akan memberi tahunya. "Woy! Ngelamun mulu lo! Lagi waktu kerja ini!" seru Fathan saat memergoki Rezvan tengah melamun padahal seharusnya laki-laki itu turut memantau proses berjalannya shooting. "Terserah gue, lah," sahut Rezvan diiringi tatapan sinis yang ia layangkan. Fathan berdecak kesal. Ia pun memilih untuk mengabaikan Rezvan dan pergi ke area sekitar tempat shooting untuk meng-handle segala urusan di sana. Ia paham, j
Pukul 9 malam, Aqlan dan Tanisha baru kembali dari Al-Muhajirin. Saat memasuki kamar beriringan, tampak keduanya begitu kelelahan. Kedua mata mereka sudah tak sabar untuk diajak pergi menonton sebuah drama di alam mimpi. Sebenarnya Aqlan selesai mengajar bakda Isya, tetapi—seperti kebiasaan laki-laki—ia diajak berbincang-bincang dahulu oleh sang ayah bersama kerabat yang lainnya juga. Tanisha yang tak berani pulang sendiri di malam hari pun terpaksa ikut Aqlan dan menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupu perempuan dan bibi-bibi Aqlan. "Ah ... capek banget hari ini," keluh Tanisha sambil merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Aqlan yang sedang mengganti pakaiannya pun tersenyum melihat tingkah sang istri. Setelah acara menggantinya selesai, Aqlan pun segera menghampiri Tanisha lalu mengusap kepala perempuan itu. "Ganti baju dulu sana. Abis itu cuci tangan, cuci kaki sama sikat gigi. Nanti kita tidur bareng," titah Aqlan lembut. Tanisha mendengkus kesal. Ia paling tak suka diganggu ket
Pagi-pagi sekali, kedua pasangan suami istri itu—Aqlan dan Tanisha—sudah sibuk bersiap untuk kembali berurusan dengan kegiatannya masing-masing. Namun, kali ini ada yang berbeda dari pasangan tersebut. Sedari Subuh dari tak ada satu pun dari keduanya yang mengajak bicara. Hening. Suasana pun begitu canggung. Aqlan yang biasanya pada pagi hariselalu membuntuti Tanisha ke mana pun perempuan itu pergi, kini justru agak menghindar dari istrinya tersebut. Sikap manjanya yang tak jarang menimbulkan rasa kesal di hati Tanisha kini tak ia tunjukkan. Begitu pun dengan Tanisha. Perempuan yang biasanya mencerocos di pagi hari ini karena sibuk mengurus rumah sekaligus sang suami yang harus segera pergi bekerja, kini pun ia tak mengeluarkan banyak omelan. Sesekali Tanisha menegur secara singkat jika Aqlan tak melakukan sesuatu dengan benar. Peristiwa semalam benar-benar telah membuat hubungan mereka berdua renggang dari yang semula sudah renggang. "Dek, hari ini Abang pulang malem lagi. Kamu m
"Ada apa ini?"Tanisha dan April nampak terkejut dengan kemunculan Aqlan yang tiba-tiba. Keduanya lantas saling diam seraya menundukkan kepala. Kalandra yang berada tepat di belakang Aqlan pun melipat kedua tangannya di depannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman yang terkesan jail. "Hayo ... giliran udah ada Gus Aqlan, berantemnya jadi udahan," sindir diakhiri kekehan yang terdengar jahat. Aqlan hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan KalandraDengan kepala yang masih tertunduk, Tanisha melayangkan tatapan tajam pada Kalandra. Bukannya takut, laki-laki itu justru makin gencar menertawakan keduanya. "Bentar lagi azan berkumandang. Mending kalian siap-siap dulu, deh, buat ke masjid," titah Aqlan. Sebenarnya ia juga merasa kaget mendapati sang istri yang lagi-lagi datang kemari. Sejujurnya pun, hatinya begitu senang. Akan tetapi, karena ada April, ia pun terpaksa untuk bersikap biasa saja. "Oke, deh, Mas Aqlan!" April mengacungkan jempolnya lalu segera pergi m
"Bang Aqlan, aku mau nanya, dong," ujar Tanisha setibanya di ruang guru. Saat ia memasuki ruangan tersebut, terlihat Aqlan yang tengah duduk di kursinya sambil melahap makanan yang dibawa Tanisha. Aqlan mengunyah makanannya terlebih dahulu lalu menelannya perlahan. "Boleh. Mau nanya apa?" Tanisha terlihat seperti ragu-ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang agak mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Ia memandangi meja yang diketuk-ketuk dengan jari-jarinya. Aqlan yang menyadari keanehan Tanisha lantas mengangkat sebelah alisnya. Kegiatan makannya ia hentikan sejenak. Timbul pertanyaan di benaknya mengenai apa yang mungkin tengah dipikirkan istrinya itu. "Kenapa? Kok, diem? Nggak jadi nanya?" tanya laki-laki itu. Kalandra yang menyaksikan keduanya pun tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya, ia pun tahu apa yang hendak ditanyakan oleh Tanisha pada Aqlan. Namun, Kalandra lebih memilih untuk diam dan tak mencampuri urusan rumah tangga keduanya. "Gini, em ... Bang Aqlan bohong, kah,
Brak! Pintu kamar dibanting dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras pula. Tampak Tanisha yang berjalan begitu cepat diikuti Aqlan di belakangnya. Tas selempang yang dibawa Tanisha pun dilemparnya ke sembarang arah. "Udahlah, Bang! Kalo Bang Aqlan masih berharap sama dia, balikan aja sana! Aku nggak keberatan, kok. Daripada si April itu nyalahin aku terus. Kesel tau nggak!" pekik Tanisha disertai gerakan tangan ke sana kemari. "Cha, Abang nggak pernah mau duain kamu. Kamu nggak usahlah pikirin omongan dia. Abang mohon!" balas Aqlan tak kalah garang. Raut wajahnya menunjukkan rasa lelah sampai-sampai laki-laki itu memijit kepalanya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, keduanya terus-menerus bertengkar mengenai April. Perbedaan pendapat dan keukeuhnya Tanisha membuat Aqlan merasa kewalahan untuk terus menghadapi dan menyanggah ucapan istrinya itu. Tanisha kesal dan tak terima dirinya disalahkan atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Tuduhan April seolah menyatakan bahwa Tanisha