"Surti ...." Panggilan lembut membuat Surtini tersentak.
Dia langsung mengedarkan pandangan. Senyuman manis pemuda yang selalu muncul di mimpi menyambutnya. Surtini refleks melompat ke belakang, lalu memasang kuda-kuda. Matanya melotot, mencoba mengintimidasi si pemuda.
"Sebenarnya, kamu siapa? Kenapa kamu selalu muncul di mimpiku? Jangan-jangan kamu demit, ya? Genderuwo pohon asem yang mau ngambil aku jadi istri!" cerocos Surtini hampir tanpa jeda.
Akibatnya, dia tersengal-sengal. Sementara pemuda tampan itu tidak terlihat takut sama sekali, malah tergelak sampai ke luar air matanya. Surtini menjadi semakin dongkol.
"Beneran demit, 'kan? Awas kamu! Aku enggak takut!"
"Ya ampun, Surti. Ini aku, Eka."
Surtini ternganga. Matanya membulat lebar persis pemeran hantu di film horor. Dia menggeleng kuat berkali-kali.
"Tidak! Tid
"Terima kasih–" Surtini terbelalak "B-Bu Mirna? Maafkan saya malah di sini saat jam kerja! Saya sudah lalai! Maafkan saya, Bu!"Surtini membungkukkan badan berkali-kali. Mirna hanya membisu. Suasana menjadi semakin tegang. Keringat dingin membasahi punggung Surtini.Setelah 10 menit, membuat bawahannya jantungan, Mirna menghela napas berat. Dia memberi isyarat agar Surtini tetap duduk seperti sebelumnya. Gadis itu menurut sembari melirik takut-takut.Mirna ikut duduk di samping Surtini. Dia bahkan ikut mencelupkan kaki ke danau. Namun, mereka kembali terjebak hening. Mirna seperti ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Surtini hanya bisa menunggu dengan sabar sembari memilin-milin ujung seragamnya."Aku sudah dengar dari Non Eka. Akhirnya, kamu tau yang sebenarnya," gumam Mirna memecahkan keheningan.Surtini menunduk dalam. Tangannya semakin sibuk memilin-milin ujung seragam. Dia hampir saja melompat ke danau ketika Mirna menepuk bahunya lagi
Surtini menuangkan teh ke cangkir di hadapan Eka. Beberapa camilan juga ditata di meja. Sementara Eka membolak-balik lembaran buku. Ruangan sangat hening persis saat mereka pertama kali bertemu, padahal biasanya Surtini akan berceloteh apa saja."Silakan diminum, Non," ucap Surtini kaku.Setelah mendengar nasihat Mirna, selama 3 hari ini, dia berusaha bersikap seformal mungkin. Eka melirik kesal. Dia menutup buku dengan kasar, lalu menyesap teh sembari mendelik tajam."Duduklah!" perintahnya.Surtini menggeleng cepat, meskipun hatinya rindu hendak bercengkerama dengan Eka seperti dulu."Tidak, Nona, seperti kemarin, saya akan tunggu di luar."Surtini membungkukkan badan, memberi hormat, lalu melangkah keluar dengan cepat. Namun, hari itu usahanya menghindar tak mudah. Sebelum berhasil mencapai pintu, Eka sudah menarik pergelangan tangannya."Nona, ada apa? Ada lagi tugas untuk saya?"Eka mendengkus. Dia terus mendesak Sur
Eka terbangun dari tidur dengan wajah lelah dan rambut acak-acakan. Dia melirik jam dinding, lalu mendesah berat. Hari sudah menjelang siang. Eka benar-benar kesiangan. Hampir semalaman dia tak bisa tidur. Wajah ketakutan Surtini terbayang-bayang. Eka sungguh menyesal sudah mendesak pelayannya untuk berhenti menghindar. "Argggh! Harusnya aku lebih sabar. Dia pasti sangat syok mengetahui yang sebenarnya." Eka mendengkus dan mengacak-acak rambut sendiri. Dia melirik ke arah pintu. Sebelumnya, Surtini berjaga di depan kamar sampai dia terbangun. Setelah mengikat asal rambutnya, Eka bangkit dari kasur. Dia berjalan ke arah pintu dengan perasaan tak karuan. Eka menghela napas sebelum membuka pintu dengan harapan segera bertemu Surtini untuk meminta maaf. "Surti, aku mint–" Eka tercekat. Tak ada siapa pun di depan kamarnya. Dia mendecakkan lidah, lalu menutup pintu dengan kasar. "Apa dia baik-baik saja? Apa sakit? Ah, belum tentu."
Hening merayap perlahan. Rehan dan Reina hanya bisa ternganga. Eka bahkan sudah pasrah apa pun yang akan dilakukan Surtini untuk meluapkan amarah."Aku rindu kelinci kecilku," bisik Eka.Lengan Surtini terangkat. Eka memejamkan mata, siap menerima segala konsekuensinya. Namun, Surtini bukan mendaratkan tamparan, tetapi justru memberikan pelukan balasan.Setelah saling mendekap hampir 5 menit lamanya, Surtini tersentak. Wajahnya merona. Dia refleks melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah."Maafkan saya, Non! Maafkan saya lancang meluk Non Eka! Saya sudah tidak sopan!" serunya canggung.Eka terkekeh, lalu mengusap rambut Surtini. Gadis itu awalnya terhanyut, seperti merasakan kenyamanannya. Namun, lagi-lagi dia tiba-tiba melompat mundur, mungkin teringat jenis kelamin Eka."Akulah yang memelukmu duluan. Jadi, kamu tetap sopan, Surti," sergah Eka sembari tersenyum hangat, juga menyentil pelan kening pe
"Makasih, ya, Mas Rehan!" Eka melambaikan tangan mengiringi kepergian mobil Rehan meninggalkan kediaman Keluarga Hartono. Pemuda itu baru saja mengantarkannya dan Surtini setelah mereka puas bermain di taman hiburan. Dia sengaja bersikap manja karena tahu Gayatri melihat dari jendela kamar. Surtini hanya bisa menyaksikan tingkah sang "nona" dengan mulut terbuka lebar. Eka memang pernah bercerita bahwa, sebelum masuk ke kediaman Keluarga Hartono, dia mendapatkan pelatihan akting untuk menjadi perempuan. Namun, Surtini tak menyangka sandiwara yang ditampilkan akan sebagus itu. "Jangan kaget, kenapa dengan hanya latihan akting sebulan, aku bisa memerankan seorang perempuan dengan baik. Itu karena aku memang jenius," celetuk Eka membuyarkan lamunan Surtini. Surtini mengerutkan bibir. "Iya, iya, Non Eka paling jenius sedunia. Eka tergelak. Dia segera mengajak Surtini masuk. Namun, gadis itu meminta izin untuk kembali ke asra
"Surti, Surti." Panggilan lembut dan tepukan pelan di pipi membuat Surtini membuka mata perlahan sambil menguap lebar. Dilihatnya Eka tengah menahan tawa. Gadis itu seketika duduk dengan tegak. Pipinya langsung merona saat melihat pantulan wajah dari kaca jendela mobil, ada bekas iler di sudut bibir kiri. "Maaf, Non, maaf, saya jorok!" seru gadis itu gugup. Eka terkekeh. Dia mengeluarkan saputangan bermotif bunga lili, lalu menyeka sudut bibir Surtini dengan lembut. Si gadis pelayan kembali merona, tetapi langsung tersentak. "Aduh, saputangan Nona jadi kotor!" keluhnya. Dia mengambil saputangan dari tangan Eka. "Nanti saya cuci dulu, Non." Eka menyeringai jail. "Sebenarnya, tidak apa-apa tidak dicuci. Mungkin nanti akan kumasukkan dalam kotak kaca sebagai kenang-kenangan," goda Eka. Surtini mengerecutkan bibir. Dia cepat memasukkan saputangan ke dalam saku jaket, khawatir sang nona akan benar-benar m
Eka menyeringai dan berbisik, "Aku mau apa? Tentu saja ingin bersenang-senang denganmu."Suaranya terdengar maskulin. Saat berduaan saja, dia memang sengaja tidak menggunakan suara perempuan. Surtini semakin panik."Jangan begini, Non. Orang-orang sering menyebut kita anak haram, tapi jangan sampai kita ikut mengulangi dosa yang dilakukan orang tua kita," gumamnya dengan suara memelas.Eka tergelak sambil memegangi perut. Air matanya sampai keluar karena tawa yang begitu lepas. Setelah puas tertawa, dia mencubit pipi Surtini dengan gemas."Aku hanya bercanda, Surti. Jika memang ingin menerkammu, aku pasti sudah lama melakukannya. Tenang saja, aku masih bisa menahan diri.""Nona ih! Suka banget, ya, ngeledekin!"Surtini mengerucutkan bibirnya. Dia memukuli lengan Eka. Pemuda itu berpura-pura meringis, membuat Surtini seketika menghentikan pukulan."Nona enggak papa? Tadi, Surti enggak keras kok mukulnya."Surtini mengangkat leng
Surtini meraparkan jaketnya saat memasuki mal. Dia memang masih tak terbiasa dengan pendingin di pusat perbelanjaan. Eka melihatnya sebagai kesempatan dalam kesempitan, lalu menggandeng tangan pelayannya itu. Tak ayal, wajah Surtini seketika memerah dan langsung melepaskan gandengan sang "nona"."Dosa, Non!"Eka terkekeh. "Aku hanya kasian karena kamu keliatan kedinginan. Padahal, dulu kamu yang selalu memeluk duluan," godanya sambil menarik-turunkan alis."Dulu itu, kan, Surti enggak tau kalo Non itu–"Eka meletakkan telunjuk di bibir. Dia memberi isyarat untuk melihat ke arah kanan. Surtini menurut dan menyadari maksud Eka. Ternyata, mereka memang sedang diikuti seseorang yang kemungkinan adalah mata-mata Jihan.Surtini seketika menjadi resah. Namun, Eka tetap terlihat tenang. Dia mengutak-atik ponsel."Sudah beres," ucapnya tiba-tiba."Apanya yang beres, Non?""Mata-mata sudah