Share

Bagian 6: Keputusan

Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.

Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"

Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara. 

"Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima." 

Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membicarakannya lagi. Gadis itu seperti disibukkan dengan sekolah dan membantu penjualan kue, sehingga Rukmini mengira Surtini akan menerima tawaran tersebut.

Jawaban Surtini jelas membuat mata Reina menjadi berkaca-kaca. Wajahnya ditekuk.

"Kenapa, Kak? Kakak enggak suka kalo tinggal sama Reina? Apa Reina nyebelin kayak Kak Rehan?"

Surtini menjadi serba salah. Dia tanpa sadar memilin-milin ujung taplak meja. Aris pun cepat mengambil tindakan.

"Reina, enggak boleh ngomong gitu. Ingat kata Papa, kita enggak boleh maksa," tegurnya.

Reina tidak menyahut, malah semakin cemberut. Aris menghela napas berat, lalu memberi isyarat kepada istrinya agar membujuk putri mereka. Sementara Amira merayu Reina, dia kembali menatap Surtini.

"Maaf, Nak Surti, kalau boleh tau, kenapa kamu menolak tawaran kami?"

 Surtini sempat terdiam cukup lama sembari menggigit bibir sebelum menjawab, "Saya enggak mau pisah sama Emak, Om. Saya enggak bisa tidur kalo enggak dipeluk Emak, juga kesian Emak nanti enggak ada yang bantu jualan."

Rukmini seketika menghela napas berat. Dia mencengkeram bahu Surtini dengan lembut, membuat anak tirinya menoleh dengan sorot mata memelas.

"Surti, apa maksud kamu? Emak kira, kamu mau terima. Kamu jangan terlalu mikiriin Emak. Soal jualan kue gampang nanti." 

"Tapi, Mak ...."

"Pak Aris dan Bu Amira juga mau bantu usaha kue Emak."

 "Tetap aja, Mak, nanti Emak bakal repot kalo sendirian. Kak Tuti bentar lagi mau kuliah ke luar kota. Emak bakal sendirian di rumah. Surti juga nanti kalau kangen Emak gimana?"

Rukmini mendecakkan lidah. Sebelumnya, dia ragu menerima tawaran Aris karena takut Surtini yang suka bermanja-manja tidak mau tidak mau pisah dengannya. Namun, jika alasan Surtini menolak karena mengkhawatirkannya, Rukmini menjadi sedih.

Dulu, meskipun berat hati, dia merawat Surtini atas dasar rasa kemanusiaan. Namun, anak pelakor yang dibesarkan dengan terpaksa itu malah tumbuh menjadi gadis berbakti. Rukmini tentu tidak mau menghalangi masa depan putri tirinya.

 "Kamu ini benar-benar, ya, Sur. Ini kesempatan untuk masa depan kamu. Kesempatan tidak datang dua kali," bujuk Rukmini lagi.

Aris cepat menengahi. "Sudah, sudah, Bu Rukmini. Tidak perlu dipaksa, kasian Nak Surti. Tapi, tawaran kami akan terus berlaku. Jika Nak Surti tidak mau sekarang, mungkin suatu saat nanti berubah pikiran, kamu bisa menghubungi kami."

 "Terima kasih banyak, Om, Tante."

 "Justru tawaran kami ini bukan apa-apa jika dibandingkan keberanian kamu menolong Reina, Nak," puji Aris. "Oh iya, Om sama Tante mau bahas soal usaha kue, kalian bisa main dulu, nanti bosan kalau ikut ngobrol sama kami."

Surtini mengangguk. Dia mendekati Reina hendak mengajak bermain. Namun, gadis kecil itu malah memalingkan muka.

 "Ya udah, kalau Reina enggak mau main, enggak apa-apa. Mbak Surti main sama Bagus aja deh."

 "Mau kok! Reina mau main!" seru Reina sembari melompat dari kursi dan bergelayutan di lengan Surtini.

 Semua di ruangan terkekeh kecuali Rehan. Pemuda itu terus saja sibuk dengan ponsel. Meskipun sebenarnya dia melirik Surtini yang tengah mengacak-acak rambut Reina.

Manis ... hei apa yang kupikirkan!

  Rehan menggeleng dengan cepat. Amira menatap putranya dengan kening berkerut.

  "Kamu kenapa, Rehan? Sakit perut? Demam? Mukamu merah sekali," cecarnya.

 Rehan gelagapan.

  "Manis ah anu itu, Ma. Kue buatan Bu Rukmini manis dan enak sekali."

 Aris tergelak.

  "Tuh, kan, Bu Rukmini, Rehan yang enggak terlalu doyan kue juga suka. Seperti yang kami bilang dulu, keahlian Ibu ini bisa jadi peluang usaha menjanji-"

 "Ayo, Kak, kita main!"

Rengekan Reina memotong obrolan. Gadis kecil itu sudah menarik-narik tangan Surtini. Mereka pun pamit untuk bermain di luar. Amira menggeleng melihat tingkah manja putrinya. Seperti kemarin-kemarin, dia meminta Rehan mengawasi, sementara para orang tua melanjutkan pembicaraan tentang peluang untuk usaha kue Rukmini.

 Sepeninggal anak-anak, obrolan berubah lebih serius, tetapi masih bernuansa sedikit santai. Aris mengajukan beberapa rencana, mulai dari berapa modal yang akan dikucurkan, lokasi strategis memulai usaha bakery, bagi hasil dan tetek bengek lainnya. Amira juga ikut memberikan saran-saran brilian.

 "Maaf, ya, Bu Rukmini, untuk 1 tahun pertama, masih ada campur tangan kami. Bukannya kami tidak percaya dengan Ibu. Kami hanya ingin memastikan usaha stabil dulu baru benar-benar dilepas," jelas Aris saat mereka membahas sistem kepemilikan usaha.

Rasa haru memenuhi hati Rukmini. Pertama kalinya dalam hidup wanita itu merasakan memiliki keluarga meskipun tidak benar-benar sedarah. Sejak kecil, Rukmini sudah kehilangan orang tua. Dia dilempar-lempar dari rumah saudara yang satu ke rumah saudara lainnya. Mereka bahkan tega mengusirnya secara halus setelah berusia 18 tahun karena dirasa cukup dewasa untuk mencari uang sendiri.

 Rukmini sempat merasa bahagia saat tinggal sendiri dan mendapat gaji lumayan sebagai petugas administrasi di sebuah dealer motor. Namun, nasib buruk masih membayangi hidupnya. Dia kembali mengecap pahitnya kehidupan setelah menikah dengan ayah Hastuti dan Rukmini. Lelaki yang awalnya manis ternyata sangat kasar dan suka main perempuan.

 "Bu Rukmini? Ibu baik-baik saja?" tanya Amira cemas, membuyarkan lamunan Rukmini.

 "Saya baik-baik saja. Saya hanya merasa benar-benar bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Pak Aris dan Bu Amira."

 Aris terkekeh. "Justru kamilah yang merasa bersyukur bisa bertemu dengan wanita-wanita hebat seperti Bu Rukmini dan Nak Surti. Ah, ayo kita lanjutkan lagi yang tadi!"

 Mereka pun kembali membahas usaha kue.

 ***

 "Makannya yang benar, Surti," tegur Rukmini.

Dia menggeleng pelan melihat tingkah Surtini. Gadis itu menyantap nasi goreng sambil membaca buku. Ujian sekolah sudah dimulai. Surtini tentu tidak mau gagal apalagi di hari pertama.

"Iya, Mak, maaf." Surtini menyengir lebar, lalu menyimpan bukunya dalam tas. Dia kembali makan dengan tenang.

"Bukannya kamu sudah belajar setiap hari? Tadi malam sama habis subuh juga kamu belajar. Emak yakin kamu bisa menyelesaikan ujian dengan baik," komentar Rukmini setelah melihat Surtini telah menghabiskan isi piring. 

Dia melirik Hastuti yang sibuk dengan ponsel, seolah ibunya dan si adik tiri tidak ada di sana.

"Kamu sudah rajin belajar, enggak kayak seseorang yang main HP aja kerjaannya," sindir Rukmini.

Hastuti seketika mendelik. 

"Maksudnya apa, Mak? Belain terus itu anak pelakor! Emak itu pemain sinetron ikan terbang apa? Doyan banget nyakitin diri sendiri! Bisa-bisanya Emak miara makhluk yang mukanya fotokopian si pelakor ini!" cerocosnya hampir tanpa jeda.

Surtini menggigit bibir, menahan air mata yang hendak meluncur di pipi.

"Tuti!"

"Halah, capek ngomong sama Emak!"

Hastuti membanting sendok ke piring. Nasi goreng yang bersisa separuh menjadi berhamburan di meja. Dia memelototi Surtini sebelum melangkah ke luar rumah sembari menghentakkan kaki.

"Tuti! Tuti! Adikmu kok ditinggal!" Rukmini memegangi dada. "Ya ampun! Anak itu susah dibilangin!" gerutunya.

Surtini segera berdiri dan menenangkan Rukmini. Dia terus menyabarkan sang ibu tiri, membimbingnya duduk, juga mengambilkan air minum.

"Emak sudah gagal mendidik kakakmu, Sur," keluhnya lirih.

Surtini memeluk Rukmini dan terisak, "Maaf, ya, Mak. Seandainya, Emak kasih Surti ke panti asuhan mungkin Kak Tuti enggak marah sama Emak. Anak haram kotor seperti Surti ...."

Rukmini mendelik tajam.

"Siapa bilang kamu kotor? Yang kotor itu perbuatan bapak sama ibumu. Kamu tetap anak yang suci. Kamu enggak salah, mereka yang salah!" tegasnya.

Surtini menunduk dalam.

"Ingat, Surti! Jangan menyalahkan diri karena sesuatu yang bukan salah kamu!"

Surtini mengangguk pelan. Wajah tegas Rukmini melunak. Dia merapikan rambut Surtini yang sedikit berantakan karena tadi berpelukan dengannya.

"Surti! Surti! Ayo sekolah!"

Seruan dari luar memecahkan keheningan. Bagus menjemput Surtini untuk berangkat sekolah bersama. Surtini menyeka sisa-sisa air matanya. Dia melepaskan pelukan, lalu mengambil tas.

"Mak, Surti berangkat dulu, ya. Doakan, ya, Mak," pamit Surtini sembari mencium punggung tangan Rukmini dengan takzim.

"Ayo, Sur! Nanti kita telat!" seru Bagus saat melihat Surtini ke luar dari rumah.

"Sebentar, Gus, aku pakai sepatu dulu."

Surtini mengenakan sepatu dengan cepat. Mereka pun segera berangkat ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Bagus terus membahas Reina. Matanya tampak berbinar saat menyebut nama gadis kecil itu.

Surtini tak banyak menanggapi ucapan Bagus. Bukan karena sedih dan cemburu, tetapi memang fokusnya lebih ke ujian. Sebenarnya, dia juga tidak lagi merasakan debar pada anak laki-laki itu. 

Mungkin begitulah yang dinamakan cinta monyet. Indah di awal, tetapi cepat pula memudar. Rasa yang menggebu-gebu bisa menjadi surut dalam sekejap.

Akhirnya, mereka tiba di sekolah dan segera masuk ke kelas. Tak lama kemudian, bel berbunyi. Wajah murid-murid menegang saat guru memasuki ruangan sambil membawa map cokelat berisi kertas soal.

"Bapak akan membagikan soal ujian. Sebelum diperintahkan, jangan dibuka dulu," ucap Pak Guru.

Kertas soal ditaruh dengan posisi terbalik di setiap meja siswa. Surti menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Berbagai pikiran negatif berseliweran.

Bagaimana jika soalnya begitu sulit? Bagaimana kalau dia gagal dalam ujian? Orang-orang pasti akan semakin mengejeknya.

"Kertas soal sudah dibagikan semua, waktu ujian dimulai, silakan dibuka soalnya!" perintah Pak Guru membuyarkan lamunan.

Surtini membalikkan kertas di meja perlahan. Dia seketika terperangah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status