Share

Bagian 7: Tentang Kejujuran

Mata Surtini berbinar. Usahanya belajar dengan rajin membuahkan hasil. Soal-soal di kertas ujian sesuai dengan materi yang telah dipelajari. 

"Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.

Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir.

"Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"

Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat. 

Murid yang duduk di belakang Surtini adalah Ria dan Ira. Sudah menjadi rahasia umum keduanya suka membuat onar dan mem-bully siswa lain. Jika mereka memberi isyarat sewaktu ujian, maka jelas alasannya untuk meminta contekan.

"Ti, ssstt, Surti! Nomor 3 dong!" desis Ira.

Surtini bergeming. Sebenarnya, dia merasa takut akan mendapat masalah. Namun, bagi gadis itu, memberikan contekan sama salahnya dengan meminta contekan.

"Sssttt ... Surti!" panggil Ira lagi.

"Surti cepetan dong kasih tau jawaban nomor 3!" timpal Ria. Dia bukan hanya mencolek punggung, tetapi juga menendang-nendang kaki Surtini.

Surtini tetap berusaha fokus mengerjakan soal. Dia cepat-cepat mengisi nomor terakhir, juga memeriksa kembali keseluruhan jawaban. Ira hendak menendang ikut kaki Surtini, tetapi urung dilakukan karena guru melihat ke arah mereka.

"Ck! Dasar pelit!" sindir Ira.

"Anak pelakor aja sombong banget!" ejek Ria menimpali karibnya.

Surtini mengepalkan tangan, menahan sesak di dada. Matanya terasa basah. Dia menggigit bibir, menguatkan hati. 

Setelah perasaan lebih terkendali, Surtini tiba-tiba berdiri. Ira dan Ria terlonjak, hampir saja mereka menjerit. Untunglah, keduanya sempat menutup mulut. 

"Ada apa, Surtini?" Pak Guru yang tadinya mengawasi murid lain menatap Surtini dengan kening berkerut.

"Saya mau mengumpulkan jawaban, Pak," sahut Surtini, membuat seisi kelas menjadi riuh.

Dia tak peduli, tetap berjalan ke depan kelas, lalu meletakkan lembar jawaban di meja guru. 

"Lho, sudah selesai, Sur?" tanya Pak Guru lagi.

"Iya, Pak, sudah."

Pak Guru melirik arloji di pergelangan tangannya. Waktu ujian memang masih tersisa setengah jam lagi. Beliau tentu heran jika ada murid yang sudah mengumpulkan, bahkan ketika Andini sang juara kelas masih tampak sibuk berkutat dengan soal-soal.

"Waktu mengerjakan masih banyak. Sebaiknya jawaban kamu diperiksa dengan teliti dulu." 

"Sudah saya periksa, Pak!" tegas Surtini. 

"Ya sudah kalau begitu, kamu boleh istirahat."

"Terima kasih, Pak. Saya permisi."

Surtini pun ke luar kelas diiringi tatapan sinis Ira dan Ria. Begitu berada di luar, barulah dia bisa bernapas lega. Namun, meskipun perut sedikit keroncongan, Surtini tidak menuju kantin. Gadis itu malah melangkah cepat menuju kebun bunga sekolah.

"Wah, pas sekali melatinya lagi berbunga!" seru Surtini saat tiba di kebun sekolah.

Dia membungkukkan badan di atas semak melati, lalu menghirup aroma bunga putih mungil itu.

"Hai, melati terima kasih, wangimu selalu bisa menenangkan perasaanku yang kacau," bisiknya kepada kelopak melati.

Mungkin tindakan Surtini terlihat aneh. Beberapa orang bisa saja menganggapnya tidak waras. Namun, dia memang sangat menyukai bunga melati.

Dulu, saat Surtini pertama kali mengetahui tentang perilaku ibu kandungnya, dia sangat terpukul, merasa kotor karena mengetahui lahir dari perbuatan haram. Terlebih, para tetangga suka sekali bergosip, sehingga semakin menjatuhkan mentalnya. Rukmini sering mengalihkan perhatiannya dengan filosofi bunga. Kejadian di masa lalu itu masih segar di ingatan.

"Nak, kamu tau makna dari bunga melati?" tanya Rukmini. 

Mereka tengah memangkas semak melati di halaman rumah yang sudah terlalu lebat. Surtini menggeleng. Tangannya sibuk menggunting batang melati.

"Bunga melati ini diambil dari bahasa Persia, yasmin. Artinya, hadiah dari Tuhan. Bunga melati juga menggambarkan kesucian, ketulusan, dan keanggunan dalam kesederhanaan."

Mata Surtini membulat lebar. Dia berhenti menggunting batang melati. Kata kesucian dan ketulusan membekas dalam hatinya. Surtini ingin bermakna seperti  bunga melati, agar tidak ada lagi yang tega menyebutkan anak haram kotor.

Rukmini mengusap rambut Surtini dan bergumam lembut, "Menurut Emak, Surti itu mirip dengan bunga melati, tulus, juga berhati seputih dan selembut kapas. Surti ...."

"Surti! Surti!"

Surtini tersentak. Lamunannya seketika buyar. Saat dia berbalik, Bagus tampak tergopoh-gopoh menghampiri.

"Di sini kamu rupanya, Sur. Aku tadi nyari kamu ke mana-mana, takut kamu kenapa-kenapa."

Surtini menyengir lebar.

"Memangnya aku kenapa, Gus?"

Bagus menghela napas berat.

"Aku tadi liat Ira sama Ria nendang-nendang kaki kamu. Pasti mau contekan, 'kan?"

Surtini mengangguk polos.

"Dan kamu pasti enggak mau ngasih, 'kan?"

"Iya, dong. Nyontek itu, kan, curang. Sama aja kayak nyuri."

"Masalahnya kamu tau mereka itu kayak apa, 'kan? Pokoknya, kamu jangan pergi-pergi sendirian, harus sama aku!" perintah Bagus.

"Iya, iya aku–"

Groook

Wajah Surtini seketika memerah. Bagus terkekeh. Dia langsung mengajak gadis itu ke kantin. Surtini sempat menolak, hingga akhirnya mau setelah dibujuk berkali-kali. 

***

Seminggu berlalu bagaikan roda yang bergulir. Surtini berhasil melalui ujian hampir tanpa kesulitan. Ira dan Ria masih tetap memaksa untuk meminta jawaban meskipun selalu tak diacuhkan. Untunglah, mereka tidak bisa menganggu secara terang-terangan karena Bagus selalu sigap melindungi Surtini.

"Semoga aku bisa mengerjakannya dengan baik," gumam Surtini resah.

Hari terakhir ujian membuatnya merasa lebih gugup. Pelajaran yang diujikan paling akhir adalah matematika. Dia memang sedikit lemah di bidang hitung-menghitung.

"Bisa kok, kita, kan, udah belajar sama-sama," celetuk Bagus. "Semangat dong!"

"Iya, iya."

Mereka pun memasuki ruang kelas. Keduanya tak menyadari dua pasang mata menatap sinis. Ya, Ira dan Ria tampak menggeram marah, lalu mencibir.

"Gara-gara Bagus kita enggak bisa menghukum si pelit," gerutu Ira.

"Iya, rese banget!" timpal Ria.

Biasanya, mereka leluasa merundung anak-anak lain. Sebagai anak orang kaya yang suka membeli teman dengan uang, mengucilkan atau menyiksa siswa lain bukanlah hal sulit. Namun, Bagus lebih kaya dan populer dibandingkan mereka, sehingga Surtini tidak bisa diganggu ketika berada di bawah perlindungan anak laki-laki itu.

Ira mendengkus. Namun, wajahnya berubah semringah saat melihat siswi berkacamata tebal masuk kelas dengan sedikit membungkuk. Andini, sang juara kelas itu melirik takut-takut ke arah mereka.

"Eh, aku punya rencana nih biar si pelit itu kena hukum!" gumam Ira.

"Rencana apa? Rencana apa?" tanya Ria antusias.

"Sini, sini, biar kubisikin!"

Ira mendekatkan bibirnya ke telinga Ria dan membisikkan rencana.

Ria seketika berseru, "Rencana bagus tuh! Biar si Surti tau rasa!"

"Eits jangan sebut namanya, nanti kita kena sial."

Keduanya tergelak. 

Bel berbunyi. Mereka bergegas masuk ke kelas saat melihat Bu Nina, guru matematika yang akan mengawasi ujian berjalan mendekat.

"Selamat pagi, Anak-anak!" sapa Bu Nina saat memasuki kelas.

Para murid yang sudah tegang semakin tertekan dengan tatapan tajamnya. Beliau memang terkenal dengan sebutan guru killer. Ruangan kelas menjadi benar-benar hening.

Tak lama kemudian, Bu Nina membagikan soal ujian. Murid-murid sampai menahan napas saat sang guru menghampiri meja mereka. Surtini bahkan sampai gemetaran.

Bu Nina bukan hanya guru baginya. Wanita itu adalah adik sepupu Rukmini, salah satu keluarga yang tak menyukai keberadaan Surtini. Dia juga pernah menyarankan agar Surtini dititipkan di panti asuhan saja.

"Kerjakan masing-masing, jangan kerja sama! Kalian tau, kan, Ibu paling tidak suka sama anak yang nyontek! Itu sama saja dengan mencuri!" tegas Bu Nina setalah selesai membagikan soal ujian. "Ujian dimulai!"

Surtini menghela napas berat saat melihat barisan angka. Tak seperti pelajaran-pelajaran sebelumnya, kali ini dia harus berpikir lebih keras. Punggung seragamnya bahkan sudah basah oleh keringat.

"Waktu tersisa 15 menit lagi!" seru Bu Nina.

Murid-murid mulai berbisik, tetapi cepat terdiam ketika dipelototi Bu Nina. Surtini menyeka keringat di kening. Soal ujian tersisa dua nomor lagi. Dia tak menyadari Ira dan Ria saling memberi isyarat.

"Bu, Surti mau nyontek jawaban Andini!" seru Ria tiba-tiba.

Kelas seketika menjadi riuh. Andini yang disebut namanya juga terperanjat. Dia tahu sejujur apa seorang Surtini, tetapi gadis itu seketika mengkerut saat dipelototi oleh Ira.

"Enggak, Bu! Saya enggak nyontek!" Surtini berusaha membela diri.

Namun, Bu Nina sudah terlanjur memiliki kebencian tersendiri, sehingga tidak mungkin bisa percaya. Guru seharusnya bersikap objektif, tetapi kadang masih ada oknum yang bertindak tidak profesional.

"Cukup! Surti maju ke depan!" titah Bu Nina.

"Tapi, Bu ...."

"Maju, bawa lembar jawaban kamu!"

Surtini tak punya pilihan lain. Dia melangkah maju dengan kaki gemetar. Bagus hanya bisa mengepalkan tangan dan menggemeletukkan gigi. Andini duduk dengan gelisah, ingin membela, tetapi takut dengan sorot mata penuh ancaman dari Ira dan Ria.

"Kamu ini benar-benar memalukan! Mbak Rukmini sudah berusaha mendidik dengan baik, tapi kenapa jadi begini? Memang, ya, darah tidak bisa dibohongi. Ibunya suka nyuri, anaknya pun begitu," omel Bu Nina sembari merebut lembar jawaban dari tangan Surtini.

"Tapi, saya enggak nyontek, Bu!"

"Mana ada maling ngaku! Karena kamu ketahuan nyontek, lembar jawaban kamu ini akan saya sobek dan kamu dianggap tidak mengikuti ujian!"

Surtini seketika terduduk lemas. Kelas semakin riuh. Ira dan Ria tersenyum penuh kemenangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status