"Kakak Peri! Kakak Peri! Coba liat, sekarang Reina jadi tuan putri!"
Seruan Reina membuat Surtini gelagapan. Namun, dia cepat-cepat tersenyum hangat, tak ingin gadis kecil itu khawatir. Surtini mencubit pelan ujung hidung Reina.
"Ada apa, Anak Manis?"
"Ini lho, Kak, mahkota bunga buatan Kak Bagus, cantik banget, bikin aku jadi kayak putri-putri Disny gitu," celoteh Reina sambil berputar-putar, membuat roknya mengembang ala-ala tuan putri.
Meskipun sedikit cemburu, Surtini tak ingin rasa itu meracuni hati. Dia menyengir lebar sembari mengacungkan jempol.
"Iya, Reina jadi cantiiik sekaliii, seperti Putri Salju yang ada dalam dongeng," komentarnya.
Surtini memang menjadi teringat Dongeng Putri Salju saat melihat Reina. Rambut berkucir kuda yang hitam pekat seperti kayu eboni, kulit putih cerah, juga bibir mungil kemerahan milik si gadis kecil cocok sekali dengan deskripsi sang putri. Seandainya, ada live action dongeng tersebut versi Indonesia, Reina akan cocok sekali memerankan Putri Salju di masa kecil.
Namun, Reina ternyata malah tidak suka. Dia menyilangkan tangan di depan dada dengan wajah cemberut.
"Masa Putri Salju, sih, Kak? Reina enggak mau jadi Putri Salju," protesnya.
Surtini mengerutkan kening. Biasanya, anak-anak akan senang disamakan dengan putri-putri dongeng yang cantik itu. Reina sepertinya malah memiliki pemikiran berbeda.
"Memangnya Reina mau jadi putri yang mana?" tanya Surtini dengan lembut.
Reina langsung berpose seperti sosok ratu yang jemawa. Tangannya diarahkan ke pohon asem, seolah akan mengeluarkan kekuatan super. Surtini dan Bagus terkekeh melihat tingkah gadis kecil itu. Sementara Rehan hanya melirik sekilas, sebelum asyik kembali bermain ponsel.
"Reina mau jadi Elsa, yang kuat dan berani. Elsa juga hebat bisa melawan musuh enggak perlu nunggu pangeran," celoteh Reina. Dia mengarahkan telapak tangan ke arah Rehan. "Wush! Mengeluarkan es untuk mengalahkan penjahat!" serunya.
"Elsa itu ratu, bukan putri," sanggah Rehan yang tiba-tiba ikut nimbrung, padahal tadinya dia selalu sibuk sendiri.
"Ish, Kak Rehan! Rese banget, sih!"
"Ada yang salah dengan kata-kata Kakak? Bener, kan, Elsa ratu es? Dia bukan putri, tapi ratu."
Reina mendecakkan lidah. "Susah ngomong sama orang rese!" sungutnya. Dia menarik tangan Surtini dan Bagus. "Ayo Kakak Peri, Kak Bagus kita main di tempat lain aja, jauh-jauh dari orang rese!"
Surtini dan Bagus bimbang. Mereka tak mungkin bermain jauh-jauh karena amanat dari orang tua Reina. Namun, gadis kecil itu terus merengek. Sementara Rehan melirik arloji, lalu menepuk bahu adiknya.
"Sayangnya, kamu tidak boleh main di tempat lain, Reina. Sudah 1 jam, kita harus balik. Nanti Mama Papa cemas. Ayo balik!" cetus Rehan.
"Enggak mau! Reina masih mau main!"
Surtini segera berjongkok di hadapan Reina. Sorot matanya begitu lembut dan menenangkan, menghentikan rengekan Reina seketika. Rehan tanpa sadar terpana. Apa yang dilakukan Surtini terlalu dewasa dan bijak untuk ukuran anak 12 tahun. Namun, dia cepat mengalihkan pandangan dan bersikap seolah tak peduli.
"Reina Sayang, benar kata kakak kamu. Kita harus pulang sekarang," bujuk Surtini.
"Tapi, Kak ...." Reina masih ingin menawar.
"Nanti, kita main lagi, kalau Reina datang ke sini, bagaimana?"
Reina sedikit melunak. Dia tiba-tiba mengangkat kelingking.
"Janji, ya, Kakak Peri?"
"Iya, janji," sahut Surtini sambil mengaitkan kelingking.
"Kak Bagus juga janji?"
Bagus mengangguk. Dia juga mengaitkan kelingking dengan Reina. Gadis kecil itu pun kembali ceria. Mereka segera kembali ke rumah Rukmini.
Sesampainya di rumah sederhana itu, ternyata mereka memang sudah ditunggu-tunggu. Aris dan Amira terlihat berdiri di dekat pintu mobil. Reina tergopoh-gopoh menghampiri kedua orang tuanya. Rehan mengekor dengan berjalan santai.
"Lho, Mama sama Papa udah mau pulang? Enggak bisa kita lebih lama di sini?" cecar Reina. Mukanya yang sedari tadi cemberut karena terus diledek Rehan semakin ditekuk.
Aris mengusap kepala Reina. "Enggak bisa, Sayang. Soalnya, Papa ada urusan mendadak, tadi paman sekretaris telepon."
Reina menghela napas berat. Namun, dia tak bisa memaksakan kehendak. Akhirnya, mereka pun segera berpamitan.
"Soal tawaran kami tadi semoga diterima, Bu," celetuk Aris, sebelum berpamitan. "Bu Rukmini, Nak Surti, Nak Bagus, kami permisi dulu," lanjutnya.
"Mari, Bu, Nak," timpal Amira.
"Kakak Peri, Kak Bagus, Reina pulang dulu, ya, nanti kita main lagi!"
Reina melambaikan tangan. Rehan hanya menganggukkan kepala dengan sopan. Setelah itu, Keluarga Pratama segera memasuki mobil. Tak lama hingga kendaraan roda empat itu meninggalkan pekarangan rumah Rukmini. Bagus juga berpamitan, lalu kembali ke rumahnya yang hanya berjarak lima langkah.
"Memangnya mama sama papanya Reina nawarin apa, Mak?" celetuk Surtini ketika tinggal berdua dengan Rukmini.
"Nanti malam saja kita bicarakan. Ini sudah mau senja, mending kamu mandi dulu. Jangan sampai mandi kemaleman, nanti masuk angin."
"Siap, Mak!"
Surtini masuk ke rumah. Dia bernyanyi riang sembari melangkah ke kamar mandi. Rukmini menggeleng pelan melihat tingkah anak tirinya itu, lalu menutup dan mengunci pintu.
"Semoga saja Surti mau menerima tawaran Pak Aris," gumamnya dalam hati.
***
Rukmini mengusap lembut rambut Surtini. Sementara gadis beranjak remaja itu melingkarkan lengan di pinggang sang ibu. Bermanja-manja dengan minta dikeloni adalah kebiasaannya sebelum tidur.
Surtini memang tidur di kamar Rukmini. Umumnya, anak-anak gadis tidur sekamar. Namun, Hastuti enggan menerima adik tirinya itu. Jadilah, Surtini semakin menempel dengan sang ibu tiri.
"Surti ...," panggil Rukmini lembut. Dia merasa ini saatnya membicarakan tawaran Keluarga Pratama.
Surtini sedikit mendongak, menatap polos mata Rukmini.
"Iya, Mak, kenapa? Emak kok kayak cemas begitu?" tanyanya.
"Emak mau bicara soal tawaran Pak Aris sama Bu Amira tadi sore."
"Oh iya, ya, Mak. Kan, Emak belum ngomong soal itu. Emang kita ditawarin apa, Mak?" cecar Surtini.
Rukmini mengatur napas sejenak sebelum berbicara, "Bukan kita, tapi kamu. Beliau mau membantu biaya sekolah kamu, Sur."
Mata Surtini membulat lebar. Bibirnya menyunggingkan senyum semringah.
"Beneran, Mak?"
Rukmini mengangguk.
Surtini pun bersorak gembira,"Wah! Berarti Surti enggak jadi nunda lanjut sekolah, Mak! Baik banget mama papanya Reina mau bantu kita, ya, Mak."
Surtini mendadak terdiam saat menyadari raut wajah sang ibu. Dia mengenggam tangan Rukmini.
"Tapi, kenapa Emak sedih?"
"Emak bukan sedih, Surti ... tapi Emak takut kamu enggak mau dan nolak rezeki ini."
Surtini mengerutkan keningnya.
"Lho, kenapa Surti enggak mau, Mak. ini kesempatan besar!"
"Masalahnya ...," Rukmini menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Kamu harus tinggal di asrama khusus."
"Asrama? Pisah sama Emak maksudnya?"
Rukmini mengangguk. Dia pun menjelaskan kembali tentang kebijakan dari yayasan milik Aris, juga tawaran Amira untuk tinggal di rumah mereka jika keberatan tinggal di asrama. Namun, Surtini jelas kehilangan antusiasme. Wajahnya berubah muram.
Surtini tak lagi menyahut, memilih membenamkan wajah di dada sang ibu. Rukmini mengusap rambut panjang putri tirinya yang sedikit kemerahan karena sering terbakar matahari. Surtini akan semakin manja ketika dilanda dilema.
"Surti akan pikir-pikir dulu, Mak, kalau harus pisah sama Emak. Surti enggak mau Emak kerepotan sendiri kalau ditinggal," gumam Surtini lirih.
"Iya, Nak. Tapi, Emak berharap kamu menerima kesempatan ini. Jangan terlalu pikirkan Emak, masa depanmu lebih penting."
"Mak ...."
Surtini mengeratkan pelukan, mencoba menghirup aroma menenangkan ibu tirinya, hingga akhirnya jatuh tertidur.
***
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan