Share

Bagian 5: Keraguan

"Kakak Peri! Kakak Peri! Coba liat, sekarang Reina jadi tuan putri!" 

Seruan Reina membuat Surtini gelagapan. Namun, dia cepat-cepat tersenyum hangat, tak ingin gadis kecil itu khawatir. Surtini mencubit pelan ujung hidung Reina.

"Ada apa, Anak Manis?"

"Ini lho, Kak, mahkota bunga buatan Kak Bagus, cantik banget, bikin aku jadi kayak putri-putri Disny gitu," celoteh Reina sambil berputar-putar, membuat roknya mengembang ala-ala tuan putri.

Meskipun sedikit cemburu, Surtini tak ingin rasa itu meracuni hati. Dia menyengir lebar sembari mengacungkan jempol.

"Iya, Reina jadi cantiiik sekaliii, seperti Putri Salju yang ada dalam dongeng," komentarnya.

Surtini memang menjadi teringat Dongeng Putri Salju saat melihat Reina. Rambut berkucir kuda yang hitam pekat seperti kayu eboni, kulit putih cerah, juga bibir mungil kemerahan milik si gadis kecil cocok sekali dengan deskripsi sang putri. Seandainya, ada live action dongeng tersebut versi Indonesia, Reina akan cocok sekali memerankan Putri Salju di masa kecil.

Namun, Reina ternyata malah tidak suka. Dia menyilangkan tangan di depan dada dengan wajah cemberut.

 "Masa Putri Salju, sih, Kak? Reina enggak mau jadi Putri Salju," protesnya.

Surtini mengerutkan kening. Biasanya, anak-anak akan senang disamakan dengan putri-putri dongeng yang cantik itu. Reina sepertinya malah memiliki pemikiran berbeda.

"Memangnya Reina mau jadi putri yang mana?" tanya Surtini dengan lembut.

Reina langsung berpose seperti sosok ratu yang jemawa. Tangannya diarahkan ke pohon asem, seolah akan mengeluarkan kekuatan super. Surtini dan Bagus terkekeh melihat tingkah gadis kecil itu. Sementara Rehan hanya melirik sekilas, sebelum asyik kembali bermain ponsel.

"Reina mau jadi Elsa, yang kuat dan berani. Elsa juga hebat bisa melawan musuh enggak perlu nunggu pangeran," celoteh Reina. Dia mengarahkan telapak tangan ke arah Rehan. "Wush! Mengeluarkan es untuk mengalahkan penjahat!" serunya.

"Elsa itu ratu, bukan putri," sanggah Rehan yang tiba-tiba ikut nimbrung, padahal tadinya dia selalu sibuk sendiri.

"Ish, Kak Rehan! Rese banget, sih!"

"Ada yang salah dengan kata-kata Kakak? Bener, kan, Elsa ratu es? Dia bukan putri, tapi ratu."

Reina mendecakkan lidah. "Susah ngomong sama orang rese!" sungutnya. Dia menarik tangan Surtini dan Bagus. "Ayo Kakak Peri, Kak Bagus kita main di tempat lain aja, jauh-jauh dari orang rese!"

Surtini dan Bagus bimbang. Mereka tak mungkin bermain jauh-jauh karena amanat dari orang tua Reina. Namun, gadis kecil itu terus merengek. Sementara Rehan melirik arloji, lalu menepuk bahu adiknya.

"Sayangnya, kamu tidak boleh main di tempat lain, Reina. Sudah 1 jam, kita harus balik. Nanti Mama Papa cemas. Ayo balik!" cetus Rehan.

"Enggak mau! Reina masih mau main!"

Surtini segera berjongkok di hadapan Reina. Sorot matanya begitu lembut dan menenangkan, menghentikan rengekan Reina seketika. Rehan tanpa sadar terpana. Apa yang dilakukan Surtini terlalu dewasa dan bijak untuk ukuran anak 12 tahun. Namun, dia cepat mengalihkan pandangan dan bersikap seolah tak peduli.

"Reina Sayang, benar kata kakak kamu. Kita harus pulang sekarang," bujuk Surtini.

"Tapi, Kak ...." Reina masih ingin menawar.

"Nanti, kita main lagi, kalau Reina datang ke sini, bagaimana?"

Reina sedikit melunak. Dia tiba-tiba mengangkat kelingking.

"Janji, ya, Kakak Peri?"

"Iya, janji," sahut Surtini sambil mengaitkan kelingking.

"Kak Bagus juga janji?"

Bagus mengangguk. Dia juga mengaitkan kelingking dengan Reina. Gadis kecil itu pun kembali ceria. Mereka segera kembali ke rumah Rukmini.

Sesampainya di rumah sederhana itu, ternyata mereka memang sudah ditunggu-tunggu. Aris dan Amira terlihat berdiri di dekat pintu mobil. Reina tergopoh-gopoh menghampiri kedua orang tuanya. Rehan mengekor dengan berjalan santai.

"Lho, Mama sama Papa udah mau pulang? Enggak bisa kita lebih lama di sini?" cecar Reina. Mukanya yang sedari tadi cemberut karena terus diledek Rehan semakin ditekuk.

Aris mengusap kepala Reina. "Enggak bisa, Sayang. Soalnya, Papa ada urusan mendadak, tadi paman sekretaris telepon."

Reina menghela napas berat. Namun, dia tak bisa memaksakan kehendak. Akhirnya, mereka pun segera berpamitan.

"Soal tawaran kami tadi semoga diterima, Bu," celetuk Aris, sebelum berpamitan. "Bu Rukmini, Nak Surti, Nak Bagus, kami permisi dulu," lanjutnya.

"Mari, Bu, Nak," timpal Amira.

"Kakak Peri, Kak Bagus, Reina pulang dulu, ya, nanti kita main lagi!" 

Reina melambaikan tangan. Rehan hanya menganggukkan kepala dengan sopan. Setelah itu, Keluarga Pratama segera memasuki mobil. Tak lama hingga kendaraan roda empat itu meninggalkan pekarangan rumah Rukmini. Bagus juga berpamitan, lalu kembali ke rumahnya yang hanya berjarak lima langkah.

"Memangnya mama sama papanya Reina nawarin apa, Mak?" celetuk Surtini ketika tinggal berdua dengan Rukmini.

"Nanti malam saja kita bicarakan. Ini sudah mau senja, mending kamu mandi dulu. Jangan sampai mandi kemaleman, nanti masuk angin."

"Siap, Mak!"

Surtini masuk ke rumah. Dia bernyanyi riang sembari melangkah ke kamar mandi. Rukmini menggeleng pelan melihat tingkah anak tirinya itu, lalu menutup dan mengunci pintu.

"Semoga saja Surti mau menerima tawaran Pak Aris," gumamnya dalam hati.

***

Rukmini mengusap lembut rambut Surtini. Sementara gadis beranjak remaja itu melingkarkan lengan di pinggang sang ibu. Bermanja-manja dengan minta dikeloni adalah kebiasaannya sebelum tidur. 

Surtini memang tidur di kamar Rukmini. Umumnya, anak-anak gadis tidur sekamar. Namun, Hastuti enggan menerima adik tirinya itu. Jadilah, Surtini semakin menempel dengan sang ibu tiri.

"Surti ...," panggil Rukmini lembut. Dia merasa ini saatnya membicarakan tawaran Keluarga Pratama.

Surtini sedikit mendongak, menatap polos mata Rukmini.

"Iya, Mak, kenapa? Emak kok kayak cemas begitu?" tanyanya.

"Emak mau bicara soal tawaran Pak Aris sama Bu Amira tadi sore."

"Oh iya, ya, Mak. Kan, Emak belum ngomong soal itu. Emang kita ditawarin apa, Mak?" cecar Surtini.

Rukmini mengatur napas sejenak sebelum berbicara, "Bukan kita, tapi kamu. Beliau mau membantu biaya sekolah kamu, Sur."

Mata Surtini membulat lebar. Bibirnya menyunggingkan senyum semringah. 

"Beneran, Mak?"

Rukmini mengangguk. 

Surtini pun bersorak gembira,"Wah! Berarti Surti enggak jadi nunda lanjut sekolah, Mak! Baik banget mama papanya Reina mau bantu kita, ya, Mak."

Surtini mendadak terdiam saat menyadari raut wajah sang ibu. Dia mengenggam tangan Rukmini.

"Tapi, kenapa Emak sedih?"

"Emak bukan sedih, Surti ... tapi Emak takut kamu enggak mau dan nolak rezeki ini."

Surtini mengerutkan keningnya.

"Lho, kenapa Surti enggak mau, Mak. ini kesempatan besar!"

"Masalahnya ...," Rukmini menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Kamu harus tinggal di asrama khusus."

"Asrama? Pisah sama Emak maksudnya?"

Rukmini mengangguk. Dia pun menjelaskan kembali tentang kebijakan dari yayasan milik Aris, juga tawaran Amira untuk tinggal di rumah mereka jika keberatan tinggal di asrama. Namun, Surtini jelas kehilangan antusiasme. Wajahnya berubah muram.

Surtini tak lagi menyahut, memilih membenamkan wajah di dada sang ibu. Rukmini mengusap rambut panjang putri tirinya yang sedikit kemerahan karena sering terbakar matahari. Surtini akan semakin manja ketika dilanda dilema.

"Surti akan pikir-pikir dulu, Mak, kalau harus pisah sama Emak. Surti enggak mau Emak kerepotan sendiri kalau ditinggal," gumam Surtini lirih.

"Iya, Nak. Tapi, Emak berharap kamu menerima kesempatan ini. Jangan terlalu pikirkan Emak, masa depanmu lebih penting."

"Mak ...." 

Surtini mengeratkan pelukan, mencoba menghirup aroma menenangkan ibu tirinya, hingga akhirnya jatuh tertidur.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status