Saat sudah berada di lantai atas dia melewati kamar dia dan Yusuf dulunya. Tanpa melihat dan menoleh. Namun sekejap dia mendengar suara pintu terbuka.
Lalu dia hanya merasakan seseorang dengan gesit menarik tanganya kedalam kamar lalu seseorang itu langsung mengunci pintu.Zara tersentak, “Apa yang kamu lakukan, mas!”sentak Zara heran dengan nada tak suka. Namun berusaha dia untuk menenagkan diri. Mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskanya perlahan.“Apa yang kamu inginkan?”tanya Zara melembutkan suaranya. Yusuf bungkam dengan kepala tertunduk namun dia masih berdiri menghalang pintu yang sudah tertutup. “Mas? Ada apa?”“Ak-aku...,”Zara mengernyit mendengar suara Yusuf yang terbata gugup. Dia memjamkan mata berusaha mengontrol hatinya.Jika dulu ketika Yusuf bersikap seperti itu padanya maka Zara akan langsung memeluk dan mengodanya. Karena dia selalu merasa gemas dengan sifat Yusuf yang terkadang gugup saat bersama dengannya.Namun, semuanya kini telah berbeda. Yang dia rasakan kini hanyalah rasa sakit saat melihat Yusuf bertingkah seperti itu.Yusuf mengulurkan tanganya di hadapan Zara dengan wajah yang menunduk. Dia menydorkan sesuatu pada Zara.“To-tolong pakaikan aku dasi?”cicitnya pelan dengan semburat merah tercetak di wajahnya. Senyum getir terbit di bibir Zara.“Kamu masih belum bisa melakukannya?”Yusuf menggeleng dengan wajah yang semakin memerah malu. “Maaf..."“Yasudah sini!”ajak Zara menarik tangan Yusuf dan membawanya berdiri di depan cermin. Zara berdiri di hadapan Yusuf dan mulai memakaikan dasi untuknya.Yusuf tertegun dengan perlakuan Zara. Kelembutan yang sama, kasih sayang yang sama juga wajah teduh yang sama.Seketika hatinya merasa perih dan teriris jika berhadapan dengan Zara. Rasa bersalah kembali menguasai hatinya.Secara tiba-tiba Yusuf memeluk tubuh Zara dengan erat. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Zara yang tertutup jilbab. Perilakunya berhasil membuat mata Zara membulat sempurna karena keterkejutannya.“Mas!”tegurnya.Yusuf terisak. Kembali dia terisak dengan hati yang terasa sesak karena kebodohannya dia telah menyakiti bidadarin syurganya. Hatinya terkoyak dan tercabik menyadari semua hal yang terjadi sudah tidak bisa kembali di ubah.“Maafkan aku. Sungguh, aku minta maaf padamu. Aku menyakitmu, aku sudah menghianati pernikahan kita. Maaf, maafkan aku!”Tangan Zara terjatuh lemas di kedua sisi tubuhnya. Air matanya sudah mengalir dengan sangat deras. Betapa ingin dia membalas pelukan suami yang sangat dia cintai. Mencoba menenangkan suaminya yang menangis dengan tubuh yang bergetar hebat.Tapi, apalah daya jika hatinya juga sangat terluka. Dia juga jauh dari keadaan hati yang baik. “Tidak apa-apa,mas. Semua sudah terjadi,dan tak akan bisa berubah lagi.”ucapnya lirih.“Sekarang kenyataanya adalah bahwa istrimu bukan hanya aku. Kini Syifa juga istrimu dan dia adalah tanggung jawabmu. Aku tidak bisa melakukan apapun. Jalan takdir yang membuat hidupku seperti ini. Aku bisa apa selain hanya menerimanya?”Yusuf kembali terpukul dengan ucapan Zara. Dia menguraikan pelukannya. Menatap dalam mata istrinya. Betapa sakit hatinya melihat air mata istrinya itu dan dia menyadari semua karena dirinya. Semua karena kebodohannya.“Aku akan berusaha untuk berperilaku adil. Apa kamu percaya padaku?”“Bagaimana bisa?”tanya Zara, menatap Yusuf dengan mata berair syarat akan luka hati yang sangat dalam.“Zara aku mohon, berikan aku sedikit saja rasa percayamu?”mohonnya mengecup kedua tangan Zara.Hati Zara teriris sakit melihat perlakuan Yusuf. “Bagaimana bisa aku mempercayaimu kembali. Jika kepercayaan padamu sudah terkikis sejak kamu menghianati pernikahan yang selalu aku coba pertahankan.”bisik hatinya meringis pilu.Namun, apa yang hatinya kata. Berbeda dengan apa yang dia ucapkan. “Aku selalu percaya padamu, mas. Selalu, bahkan sampai ajal menjemputku. Aku hanya akan percaya bahwa kamu adalah takdirku.”***Sarapan pagi kini menjadi sangat cangung dan aneh. Jika dulu suasana akan terasa hangat dan ceria namun kini hanya celotehan Alya yang begitu semangat saja yang terdengar. Para orang tua lebih banyak diam dan hanya mengangguk serta senyum seadanya saja dalam suasana itu.Zara hanya bisa menatap sendu putrinya yang kini lebih memilih untuk duduk di baris yang sama dengan bunda barunya. Sedang dia duduk bersebrangan dengan Yusuf yang sedari tadi terus mencuri pandang padanya.“Mama, sekarang Alya pergi sekolah bareng bunda juga dong!”celetuk Alya membuat Zara menghentikan suapan makanannya.Tubuhnya menegang mendengar penuturan Alya. Itu artinya putrinya akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bundanya. Lalu, bagaimana jika perlahan putrinya itu akan melupakanya.Yusuf,Syifa dan Alya menunggu jawaban dari Zara. Dia menatap Yusuf yang menatap Zara dengan perasaan khawatir dan cemas. Namun, dia hanya bisa menampilkan senyumannya saja. “Iya sayang. Bunda kan masih mengajar disana.”“Yey! Asikk...!”Alya memekik girang dan turun dari kursinya lalu memeluk Zara dengan sangat erat.“Terima kasih mama!”“Sama-sama sayang.”ucap Zara sambil mengusap lembut kepala Alya. “Kamu ambil tas sekolahnya sana! Papa juga mau ke kantor, nanti terlambat.”“Siyap mama!”serunya dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Zara hanya bisa tersenyum melihat tingkah putrinya. Perilaku dan sikapnya tak luput dari perhatian Yusuf dan Syifa. Ada rasa menyesal dan bersalah yang teramat sangat dalam di hati mereka. Senyum getir tersemat di bibir Yusuf, “Kamu masih bisa terus tersenyum dalam kondisi ini.”batin Yusuf nelangsa.Pilu menyayat hatinya. Syifa menoleh menatap Yusuf yang masih fokus menatap Zara. “Mas, kamu menatapnya seolah aku tak ada dihadapanmu.”lirih hati Syifa.“Mas!” Zara menegur Yusuf yang masih melamun.Yusuf tersentak dan tersadar jika dihadapannya ada dua orang istrinya yang kini menatapnya dengan ekspresi dan raut wajah yang berbeda-beda.“Kamu tidak memberi uang untuk kebutuhan Syifa?”***Syifa menatap Zara. Kenapa wanita itu begitu peduli padanya. Bahkan Syifa tak memekirkan hal itu. Baginya, bisa menjadi istri seorang Yusuf Khaidar, seorang pria yang sangat dia cintai saja dia sudah merasa sangat beruntung.“Huh?”Yusuf mengernyit bingung.Zara berdecak kesal. “Dia istrimu kan? Sudah tugasmu untuk memenuhi setiap kebutuhannya.”“Tidak usah mbak! Gaji Syifa juga cukup kok!”celetuk Syifa mencoba berbicara.“Aku hampir lupa.”jawab Yusuf tiba-tiba dengan santainya.Zara dan Syifa terkejut dengan ucapannya. Bagaimana Yusuf bisa mengatakan lupa bahwa dia juga memiliki Syifa sebagai istrinya juga. Benar-benar pria brengsek, bukan?Syifa menunduk sedih. Yusuf mengeluarkan dompetnya dan memberikan sebuah kartu debit untuk Syifa. “Ini, untukmu. Gunakanlah seperlunya untuk kebutuhanmu.”ucapnya dengan nada tak bersahabat. Dia meletakan kartu itu di meja makan.“Aku tunggu di depan.”Yusuf beranjak pergi namun sebelumya dia memutari meja dan mengulurukan tanganya di hadapan Zara. Tanganya langsung di sambut Zara dengan kecupan lembut di pungung tanganya. Tak melupakan Yusuf mengecup dalam pujuk kepala Zara di hadapan Syifa membuat Zara maupun Syifa terkejut.Yusuf ingin langsung pergi namun tanganya di tahan oleh Zara. “Mas?”lirih Zara. Dia tahu Syifa sudah menangis dalam diam di belakangnya menyaksikan Yusuf yang mengabaikannya.Yusuf mengepalkan tanganya erat. Emosi menguasai dirinya ntah kenapa dia menjadi malas untuk sekedar melihat Syifa saja. Padahal mereka juga malam tadi baru melakukannya.Tapi, dia melakukannya antara sadar dan tidak sadar. Seolah ada sesuatu hal yang mempengaruhinya.Zara meremas tangan Yusuf membuat Yusuf mengeram kesal. Dia berbalik lalu menarik Syifa keluar bersamanya. Wanita itu juga harus dia antar bersama dengan putrinya ke sekolah.“Hati-hati!”ingatkan Zara saat mereka berdua melewatinya. Syifa menoleh kearah Zara dan bergumam ‘terima kasih’ padanya.Zara hanya membalas dengan senyum walau hatinya terasa sakit melihat gegaman tangan Yusuf pada Syifa. Tapi, apa boleh buat. Dia hanya harus bertahan di sisi Yusuf dan terus berperilaku baik agar Yusuf tak mengusirnya dari rumah dan terpisah dari Alya selamanya.“Loh, Bunda sama Ayah mana, Maa?”tanya Alya yang baru turun dengan tas sekolahnya. Dia menghampiri Zara dan merasa heran karena dia hanya menemukan mamanya disana.Zara bangkit dari kursinya. Berjalan menghampiri putri kecilnya. Lalu, Zara berlutut menyamakan tinggi dengan tubuh kecil putirnya. “Ayah sama Bunda udah nunggu di mobil sayang.”Alya mengangguk paham. “Owhh... yaudah Alya juga mau berangkat Maa!”Alya menyalami tangan Zara. “Sekolah yang rajin sayang. Dan jangan nakal, ya?”“Pasti mama!”serunya semangat.Zara mengusap pujuk kepala Alya lembut. “Nak, mama harap kamu tetap percaya dan mengingat bahwa mama adalah orang yang paling sayang padamu. Apapun yang mama lakukan adalah untuk kebaikanmu. Ingatlah satu hal, bahwa mama sangat sayang padamu.”ucap Zara lirih dan memeluk Alya erat.Alya sang putri yang masih polos itu hanya mengangguk dan tersenyum dalam pelukan sang mama. “Ingatlah,bahwa kamu adalah harapan mama satu-satunya. Jika kamu tak membutuhkan mama lagi. Maka, mama akan dengan senang hati menjauh darimu dengan sendirinya.”***#Bersambung...YUSUF PoV Pagiku terasa kacau. Pertama kalinya dalam hidup aku merasa teramat bersalah membuat hari dan kehidupan yang dulu begitu bahagia dan ceria kini berubah menjadi terasa hampa.Zara mulai kurasakan berubah, tak bisa lagi kulihat senyumnya yang benar-benar seperti orang bahagia. Dia hanya memaksakan tersenyum untuk menutup luka di hatinya.Aku sudah menjadi suami yang egois dan jahad. Namun, bodohnya aku menyadari semua kesalahan ini setelah semua hal ini terjadi.Jika saja,waktu bisa di putar ulang kembali maka seumur hidup aku tak akan pernah melakukan hal ini. Suasana hatiku kacau,dan tak ada rasa bahagia dalam hatiku. Menjadikan Syifa seorang istri itu bukan keinginanku.Semua karena Mama. Desakannya dan segala macam tuduhannya pada Zara yang terus menerus dia katakan padaku. Membuatku lelah dan terjebak dalam permainannya. Tapi, lagi-lagi aku menyadari tak semua salah mama. Seperti halnya yang Zara katakan.Seorang suamilah yang memegang kunci dalam pernikahan. Jika suami m
***Menjelang siang, tepat pukul 12.30 Zara menelepon Yusuf suaminya, dan tak butuh waktu lama Yusuf langsung menjawab panggilan Zara.“Assalamualaikum,Sayang.”sapa Yusuf dengan manja.Ah, sayang? Ntah kenapa Zara merasa kesal dengan pangillan itu. Kenapa pria selalu punya berbagai tipu muslihat dan mulut yang berbisa dengan kata-kata manisnya. Walaupun sudah ada banyak penghianatan yang juga mulutnya ucapkan.Zara hanya menjawab seadanya saja. “Waalaikumsalam,mas. Hari ini aku saja yang menjemput Alya dan....Syifa.”terasa kelu lidahnya mengucapkan nama madunya. Yusuf terdiam membatu dengan ucapan Zara.“Ka-kamu yakin?”“Iya, tidak apa-apa. lagi pula, bukan hanya rumah kita saja yang muat untuk satu orang lagi. Mobilku juga cukup luas untuk menampung satu penumpang lagi,kan.”ucap Zara seolah sebuah sentilan yang tepat mengenai relung hati Yusuf yang terdalam. “Yasudah, terserah kamu aja. Kebetulan mas hari ini pulang lebih sore.”“Yasudah. Assalamualaikum.”“Tung...,” tut...tutt pangg
***“Kenapa kamu menangis?”Yusuf bertanya dengan nada lirih, kala air mata Zara mengenai punggung tangannya.Zara menggeleng dan menghapus jejak air matanya. “Enggak mas. Zara tidak ingin apapun untuk saat ini.”jawab Zara dengan terenyum tipis membuat Yusuf meringis.“Sudahlah, ini sudah malam. Kamu tidak ingin istirahat?”tawar Zara. Dia melenggang pergi dari hadapan Yusuf. Saat dia ingin menaiki ranjangnya Zara terhenti sejenak lalu menoleh kearah Yusuf.“Ehmm...mas, kamu tidur dimana malam ini?”tanya Zara dengan suara pelan.“Boleh aku tidur bersamamu?”Yusuf kembali bertanya. Dia mendekat kearah Zara. Lalu menggenggam tangan istrinya dan berucap. “Ntah kamu mempercayainya atau tidak. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ingin aku sentuh dan aku peluk dalam dekapanku.”“Mas, sudahlah.”pukas Zara cepat. Menepis pelan tangan Yusuf yang kembali ingin memeluknya.Yusuf kecewa Zara masih tak mempercayai ucapannya. “Hari ini sangat melelahkan. Kamu harus tidur, mas. Besok, akan ada hari baru
***“Kamu sedang apa?” suara lembut itu membuat lamunan Zara membuyar. Sedari tadi dia terus melamun sambil menantap kosong televisi yang terus menyala. Hingga Yusuf datang dan menepuk pundaknya. “Kamu sedang apa? kenapa terus melamun?”tanyanya lagi karena Zara terus diam dan menatapnya tanpa mengatakan apapun.“Tidak ada,mas.”sahut Zara seraya menggeleng.Yusuf tersenyum tipis. Dia memutari sofa dan berjalan duduk di samping Zara.Dia menangkup pundak Zara, membuatnya untuk duduk berhadapan. “Apa yang sedang kamu pikirkan, heum?”tanya Yusuf dengan lembut.“Tidak. Aku hanya memikirkan jadwal pemeriksaan pasien untuk besok.”bohong Zara. Karena saat ini yang ada di pikirannya hanyalah Alya putrinya.Yusuf mendengus. “Kenapa kamu selalu begitu? Apa tak ada waktumu sedikitpun bersama denganku. Cukup memikirkan aku saja. Jangan ada yang lain. Kenapa kamu tidak mengerti?”ucapnya lirih.“Aku hanya ingin menghabiskan minggu ini berdua denganmu. Tapi kamu, tak bisakah memikirkan aku saja?”desa
“YUSUF.... SYIFA HAMIL! KAMU AKAN JADI SEORANG AYAH!”Bagai di sambar petir, gemuruh yang menggelegar di hatiku. Sesak! Membuat aku sulit bernafas. Tanganku terkepal di dada, sungguh berita itu membuat keadaanku semakin terpuruk.“Kamu dengar!”pekik Mas Yusuf. Dia mengguncang bahuku dengan keras. Membuat aku menatap matanya. Kulihat bibirnya bergetar. “Kamu dengar itu, Zara! Saat kamu mengatakan tidak ingin anak lagi. Wanita lain kini yang mengandung anakku!”“KAMU PUAS SEKARANG!”teriaknya kencang. Sekarang bukan hanya hatiku, tapi seluruh tubuhku terasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum.“Ma-mas...ak...”tak sanggup aku mengucapkan kata apapun.“Sekarang terserah padamu! Aku tidak peduli! Kamu suka membuat keputusan sendiri, kan? Oke!”desisnya tajam. “Sekarang aku sudah tidak peduli! Aku juga tidak akan lagi MENYENTUHMU! KAMU PUAS SEKARANG?!”Aku terdiam membatu mendengar ucapannya. Dia berjalan keluar kamar. Namun, tidak sampai di situ. Ucapannya kembali membuat hatiku bertambah han
Ayu menginggit bibirnya kuat menahan sakit di hatinya. Betapa malang nasib adik iparnya ini.“Zara dengar, berkorban itu ada batasnya. Jika kamu sudah tidak sanggup, maka pergilah! Aku tak ingin kamu terus menderita... aku juga sedih melihatmu seperti ini karena adik, juga orang tuaku. Terlebih ada Syifa yang memang mama hadirkan untuk memisahkan kalian!”Mata Zara membulat mendengar ucapan Ayu. “Apa maksud kakak?!”“Zara, mama sengaja mengenalkan Syifa pada Yusuf dan menikahkan mereka untuk menyingkirkanmu dari keluarga ini. Dan juga malam itu...,”Ayu menghentikan ucapannya membuat Zara menatapnya dengan menuntut.“Apa yang terjadi? Malam apa?! katakan padaku kak?!”desak Zara.“Ak-aku tak sengaja melihat mama mencampurkan obat perangsang dalam minuman Yusuf saat malam pengantin mereka....”“Astagfirullah...”bahu Zara merosot lemas. “Kenapa mama begitu membenciku? Apa yang sudah aku lakukan?! Apa?!”teriak Zara Frustrasi. Tubuhnya lemas dalam dekapan Ayu.***Di ruang pemeriksaan kandun
Author PoV***Saat ini Yusuf sudah berada di rumahnya.... matanya berkeliling mencari sosok Zara, sang istrinya yang sudah menjadi lampiasan kekesalannya. Padahal dia sendiri tidak tahu alasan jelas keputusan Zara dan langsung menuding Zara yang tidak-tidak.“Zara! Sayang!"Ah, ntah kenapa panggilan ‘Sayang’ dari Yusuf itu terdengar sangat memuakan. Tentu alasannya sudah pasti karena Yusuf benar-benar suami yang brengsek! Hingga panggilan seperti itu tidak layak dia lontarkan untuk istri sebaik Zara.Dia mengelilingi seluruh penjuru rumah namun tetap tidak memukan Zara di manapun. Mendadak hatinya menjadi panik, cemas dan gelisah.Apa Zara telah meninggalkannya? Segera dia berlari manaiki tangga menuju kamarnya. Yusuf langsung membuka lemari pakaian, hingga akhirnya dia bisa bernafas sedikit lega karena pakaian Zara masih utuh tersusun rapi di sana.Tangannya mengambil ponsel dari saku celannya. Mendial nomor sang istri...tutt...tuttt... Hanya terdengar nada sambung namun tak kunjung
Aku tak mendengar sahutan kak Ayu tapi bisa ku pastikan kini mereka hanya saling pandang dan melempar senyum. Ah, benar-benar dua orang yang menyebalkan! Kini kami berada di salah satu kedai teh di dalam mall. Amar memanggil seorang pelayan yang datang membawa datar menu dan notes di tangannya.“Mau pesan apa, mas, mba?”tanyanya.Masing-masing dari kami memegang daftar menu yang sama. “Tolong, teh susu satu ya!” Amar lebih dahulu menyebutkan pesanannya. Sedang aku dan kak Ayu masih sama-sama bingung.“Kamu ingin pesan apa, Zara?”Kakak iparku bersuara.“Enggak tahu, kak. Masih bingung nih...”jawabku. Sedikit dari ekor mataku memergoki Amar yang sedari tadi memperhatikanku. Ada apa dengannya? Apakah ada yang salah dengan wajahku? Tanpa di minta Amar kembali menyebutkan pesanan. Hanya saja bukan untuk dirinya, tapi...“Teh mint hangat di tambah lemon dan juga 3 sendok madu. Buatkan itu untuknya!” Seketika aku menatap Amar. Cukup terkejut juga tertegun. “Amar. Teh mint lemon?” Aku menat