Share

BAB 9 : Tak menyerah hanya berjarak!

Saat sudah berada di lantai atas dia melewati kamar dia dan Yusuf dulunya. Tanpa melihat dan menoleh. Namun sekejap dia mendengar suara pintu terbuka.

Lalu dia hanya merasakan seseorang dengan gesit menarik tanganya kedalam kamar lalu seseorang itu langsung mengunci pintu.

Zara tersentak, “Apa yang kamu lakukan, mas!”sentak Zara heran dengan nada tak suka. Namun berusaha dia untuk menenagkan diri. Mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskanya perlahan.

“Apa yang kamu inginkan?”tanya Zara melembutkan suaranya. 

Yusuf bungkam dengan kepala tertunduk namun dia masih berdiri menghalang pintu yang sudah tertutup. “Mas? Ada apa?”

“Ak-aku...,”

Zara mengernyit mendengar suara Yusuf yang terbata gugup. Dia memjamkan mata berusaha mengontrol hatinya.

Jika dulu ketika Yusuf bersikap seperti itu padanya maka Zara akan langsung memeluk dan mengodanya. Karena dia selalu merasa gemas dengan sifat Yusuf yang terkadang gugup saat bersama dengannya.

Namun, semuanya kini telah berbeda. Yang dia rasakan kini hanyalah rasa sakit saat melihat Yusuf bertingkah seperti itu.

Yusuf mengulurkan tanganya di hadapan Zara dengan wajah yang menunduk. Dia menydorkan sesuatu pada Zara.

“To-tolong pakaikan aku dasi?”cicitnya pelan dengan semburat merah tercetak di wajahnya. Senyum getir terbit di bibir Zara.

“Kamu masih belum bisa melakukannya?”

Yusuf menggeleng dengan wajah yang semakin memerah malu. “Maaf..."

“Yasudah sini!”ajak Zara menarik tangan Yusuf dan membawanya berdiri di depan cermin. Zara berdiri di hadapan Yusuf dan mulai memakaikan dasi untuknya.

Yusuf tertegun dengan perlakuan Zara. Kelembutan yang sama, kasih sayang yang sama juga wajah teduh yang sama.

Seketika hatinya merasa perih dan teriris jika berhadapan dengan Zara. Rasa bersalah kembali menguasai hatinya.

Secara tiba-tiba Yusuf memeluk tubuh Zara dengan erat. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Zara yang tertutup jilbab. Perilakunya berhasil membuat mata Zara membulat sempurna karena keterkejutannya.

“Mas!”tegurnya.

Yusuf terisak. Kembali dia terisak dengan hati yang terasa sesak karena kebodohannya dia telah menyakiti bidadarin syurganya. Hatinya terkoyak dan tercabik menyadari semua hal yang terjadi sudah tidak bisa kembali di ubah.

“Maafkan aku. Sungguh, aku minta maaf padamu. Aku menyakitmu, aku sudah menghianati pernikahan kita. Maaf, maafkan aku!”

Tangan Zara terjatuh lemas di kedua sisi tubuhnya. Air matanya sudah mengalir dengan sangat deras. Betapa ingin dia membalas pelukan suami yang sangat dia cintai. Mencoba menenangkan suaminya yang menangis dengan tubuh yang bergetar hebat.

Tapi, apalah daya jika hatinya juga sangat terluka. Dia juga jauh dari keadaan hati yang baik. “Tidak apa-apa,mas. Semua sudah terjadi,dan tak akan bisa berubah lagi.”ucapnya lirih.

“Sekarang kenyataanya adalah bahwa istrimu bukan hanya aku. Kini Syifa juga istrimu dan dia adalah tanggung jawabmu. Aku tidak bisa melakukan apapun. Jalan takdir yang membuat hidupku seperti ini. Aku bisa apa selain hanya menerimanya?”

Yusuf kembali terpukul dengan ucapan Zara. Dia menguraikan pelukannya. Menatap dalam mata istrinya. Betapa sakit hatinya melihat air mata istrinya itu dan dia menyadari semua karena dirinya. Semua karena kebodohannya.

“Aku akan berusaha untuk berperilaku adil. Apa kamu percaya padaku?”

“Bagaimana bisa?”tanya Zara, menatap Yusuf dengan mata berair syarat akan luka hati yang sangat dalam.

“Zara aku mohon, berikan aku sedikit saja rasa percayamu?”mohonnya mengecup kedua tangan Zara.

Hati Zara teriris sakit melihat perlakuan Yusuf. “Bagaimana bisa aku mempercayaimu kembali. Jika kepercayaan padamu sudah terkikis sejak kamu menghianati pernikahan yang selalu aku coba pertahankan.”bisik hatinya meringis pilu.

Namun, apa yang hatinya kata. Berbeda dengan apa yang dia ucapkan. “Aku selalu percaya padamu, mas. Selalu, bahkan sampai ajal menjemputku. Aku hanya akan percaya bahwa kamu adalah takdirku.”

***

Sarapan pagi kini menjadi sangat cangung dan aneh. Jika dulu suasana akan terasa hangat dan ceria namun kini hanya celotehan Alya yang begitu semangat saja yang terdengar. 

Para orang tua lebih banyak diam dan hanya mengangguk serta senyum seadanya saja dalam suasana itu.

Zara  hanya bisa menatap sendu putrinya yang kini lebih memilih untuk duduk di baris yang sama dengan bunda barunya. Sedang dia duduk bersebrangan dengan Yusuf yang sedari tadi terus mencuri pandang padanya.

“Mama, sekarang Alya pergi sekolah bareng bunda juga dong!”celetuk Alya membuat Zara menghentikan suapan makanannya.

Tubuhnya menegang mendengar penuturan Alya. Itu artinya putrinya  akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bundanya. Lalu, bagaimana jika perlahan putrinya itu akan melupakanya.

Yusuf,Syifa dan Alya menunggu jawaban dari Zara. Dia menatap Yusuf yang menatap Zara dengan perasaan khawatir dan cemas. Namun, dia hanya bisa menampilkan senyumannya saja. 

“Iya sayang. Bunda kan masih mengajar disana.”

“Yey! Asikk...!”Alya memekik girang dan turun dari kursinya lalu memeluk Zara dengan sangat erat.

“Terima kasih mama!”

“Sama-sama sayang.”ucap Zara sambil mengusap lembut kepala Alya. “Kamu ambil tas sekolahnya sana! Papa juga mau ke kantor, nanti terlambat.”

“Siyap mama!”serunya dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Zara hanya bisa tersenyum melihat tingkah putrinya. Perilaku dan sikapnya tak luput dari perhatian Yusuf dan Syifa. Ada rasa menyesal dan bersalah yang teramat sangat dalam di hati mereka. 

Senyum getir tersemat di bibir Yusuf, “Kamu masih bisa terus tersenyum dalam kondisi ini.”batin Yusuf nelangsa.

Pilu menyayat hatinya. Syifa menoleh menatap Yusuf yang masih fokus menatap Zara. “Mas, kamu menatapnya seolah aku tak ada dihadapanmu.”lirih hati Syifa.

“Mas!” Zara menegur Yusuf yang masih melamun.

Yusuf tersentak dan tersadar jika dihadapannya ada dua orang istrinya yang kini menatapnya dengan ekspresi dan raut wajah yang berbeda-beda.

“Kamu tidak memberi uang untuk kebutuhan Syifa?”

***

Syifa menatap Zara. Kenapa wanita itu begitu peduli padanya. Bahkan Syifa tak memekirkan hal itu. Baginya, bisa menjadi istri seorang Yusuf Khaidar, seorang pria yang sangat dia cintai saja dia sudah merasa sangat beruntung.

“Huh?”Yusuf mengernyit bingung.

Zara berdecak kesal. “Dia istrimu kan? Sudah tugasmu untuk memenuhi setiap kebutuhannya.”

“Tidak usah mbak! Gaji Syifa juga cukup kok!”celetuk Syifa mencoba berbicara.

“Aku hampir lupa.”jawab Yusuf tiba-tiba dengan santainya.

Zara dan Syifa terkejut dengan ucapannya. Bagaimana Yusuf bisa mengatakan lupa bahwa dia juga memiliki Syifa sebagai istrinya juga. Benar-benar pria brengsek, bukan?

Syifa menunduk sedih. Yusuf mengeluarkan dompetnya dan memberikan sebuah kartu debit untuk Syifa. “Ini, untukmu. Gunakanlah seperlunya untuk kebutuhanmu.”ucapnya dengan nada tak bersahabat. Dia meletakan kartu itu di meja makan.

“Aku tunggu di depan.”Yusuf beranjak pergi namun sebelumya dia memutari meja dan mengulurukan tanganya di hadapan Zara. Tanganya langsung di sambut Zara dengan kecupan lembut di pungung tanganya. Tak melupakan Yusuf mengecup dalam pujuk kepala Zara di hadapan Syifa membuat Zara maupun Syifa terkejut.

Yusuf ingin langsung pergi namun tanganya di tahan oleh Zara. “Mas?”lirih Zara. Dia tahu Syifa sudah menangis dalam diam di belakangnya menyaksikan Yusuf yang mengabaikannya.

Yusuf mengepalkan tanganya erat. Emosi menguasai dirinya ntah kenapa dia menjadi malas untuk sekedar melihat Syifa saja. Padahal mereka juga malam tadi baru melakukannya.

Tapi, dia melakukannya antara sadar dan tidak sadar. Seolah ada sesuatu hal yang mempengaruhinya.

Zara meremas tangan Yusuf membuat Yusuf mengeram kesal. Dia berbalik lalu menarik Syifa keluar bersamanya. Wanita itu juga harus dia antar bersama dengan putrinya ke sekolah.

“Hati-hati!”ingatkan Zara saat mereka berdua melewatinya. Syifa menoleh kearah Zara dan bergumam ‘terima kasih’ padanya.

Zara hanya membalas dengan senyum walau hatinya terasa sakit melihat gegaman tangan Yusuf pada Syifa. Tapi, apa boleh buat. Dia hanya harus bertahan di sisi Yusuf dan terus berperilaku baik agar Yusuf tak mengusirnya dari rumah dan terpisah dari Alya selamanya.

“Loh, Bunda sama Ayah mana, Maa?”tanya Alya yang baru turun dengan tas sekolahnya. Dia menghampiri Zara dan merasa heran karena dia hanya menemukan mamanya disana.

Zara bangkit dari kursinya. Berjalan menghampiri putri kecilnya. Lalu, Zara berlutut menyamakan tinggi dengan tubuh kecil putirnya. “Ayah sama Bunda udah nunggu di mobil sayang.”

Alya mengangguk paham. “Owhh... yaudah Alya juga mau berangkat Maa!”Alya menyalami tangan Zara. 

“Sekolah yang rajin sayang. Dan jangan nakal, ya?”

“Pasti mama!”serunya semangat.

Zara mengusap pujuk kepala Alya lembut. “Nak, mama harap kamu tetap percaya dan mengingat bahwa mama adalah orang yang paling sayang padamu. Apapun yang mama lakukan adalah untuk kebaikanmu. Ingatlah satu hal, bahwa mama sangat sayang padamu.”ucap Zara lirih dan memeluk Alya erat.

Alya sang putri yang masih polos itu hanya mengangguk dan tersenyum dalam pelukan sang mama. “Ingatlah,bahwa kamu adalah harapan mama satu-satunya. Jika kamu tak membutuhkan mama lagi. Maka, mama akan dengan senang hati menjauh darimu dengan sendirinya.”

***

#Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status