Share

Bab 8 : Malam yang menyakitkan!

***

Cahaya bulan terilhat meredup di langit malam. Seolah dia sepakat dengan hati yang sedang terluka. Menemaninya yang meredup dengan sedikit cahaya hati sinar bahagia dan tak bahagia. Semilir angin malam menyayat kulit halusnya yang tertutup cardigan tipis.

“Huhhhfftt...” hembusan nafas panjang dia keluarkan. Berusaha sedikit meringankan beban di hatinya.

Malam ini adalah malam pengantin suaminya dengan sang madu. Mereka yang dibayangkan sedang memadu kasih di malam pertamanya sedang di sini dia sedang berpelukan dengan angin dingin malam yang menghantarkan udara menyesakan juga rasa kesepian pada hatinya.

“Aku, hanya bisa berharap kalian berbahagia dan segera memiliki keturunan.”ucap Zara lirih, memejamkan matanya dan kembali air mata itu mengalir tanpa dia minta.

Kesedihan ternyata tak hanya membuat air matanya mengering tapi tengorokannya juga ikut mengering. Dia mengambil teko air yang ada di meja rias nya, teko itu sudah kosong dan harus kembali di isi.

Zara terdiam,bibirnya kini bungkam sedang pikiranya berkenala jauh ntah kemana. Tak tahu apa yang dia pikirkan, kakinya melangkah keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan gelas kosong yang di gengamnya.

Saat anak tangga terakhir dan kakinya menginjak lantai yang tiba-tiba dinginya lantai merambat keseluruh tubuhnya. Sebuah suara yang terdengar sayup namun cukup untuk membuat hatinya semakin merasa sangat sesak dan membuatnya kian terpuruk.

Dia ingin terus melangkah dan menjauh, namun sayang hatinya menolak dan mengikuti arah suara itu. Kakinya terpaku dan berhenti di depan sebuah pintu. Kepalanya tertunduk, matanya kini mulai berkabut dan basah oleh air mata.

Tangan kananya dengan sangat bergetar menyentuh ukiran yang ada di pintu itu. Bertambah dengan jelas apa yang tadi dia dengar sayup. Kini terdengar sangat jelas menyayat hati dan memecahkan gendang telinganya.

Desahan, erangan, juga alunan suara yang penuh dengan kenikmatan sangat jelas dia dengar.

“Ya...Allah!”teriaknya pilu terduduk lemas di lantai dengan bibir bergetar dan tubuhnya yang sangat bergetar. Tak akan pernah sanggup dia menerima kenyataan yang begitu menyakitkan ini.

“Apa salahku, hiks.. apa salahku Ya Allah.”dia menutup mulutnya yang bergetar. Gelas itu terjatuh pelan dari gengamanya.

Zara menutup wajanya dengan kedua telapak tanganya. Kenapa? Kenapa hidup selalu mempermainkannya? Kenapa tak pernah ada kebahagian utuh untuknya?!

Ingin dia berteriak dan memanggil nama suaminya. Dia sangat berharap agar Yusuf bisa mendengar tangisannya. Tapi apa yang bisa dia harap dari semua ini selain kenayataan bahwa di hadapanya. Di balik pintu yang membatasi dirinya. Suaminya, suami yang sangat dia cintai sedang memadu kasih dengan istri barunya.

“Baru tadi pagi kamu menyesali semuanya. Tapi sekarang, kamu melakukan hal itu dengannya. Mas? Sungguhkah aku tak pernah berarti dalam hidupmu?”lirihnya menangis pilu.

“Disini aku berjuang sendiri mempertahankan kamu, Alya dan hidupku. Tapi, kamu bahkan tak pernah mau mengerti semuanya. Dan kamu juga tak akan pernah mengerti bahwa aku sangat mencintaimu. Dengan kamu mencintaiku atau tidak aku akan tetap mencintaimu karena kamu adalah suamiku. Meski, kamu tak pernah menganggap aku setulus itu...”

***

Seperti pagi biasanya Zara menyiapkan sarapan dan berlanjut membangunkan putri kecilnya untuk pergi kesekolah. Dia menyiapkan seragam sekolah putrinya yang masih tidur dengan selimut yang menutup tubuh mungilnya.

“Sayang, bangun yuk! Sekolah, nak.”ucapnya mengguncang pelan tubuh putrinya. Alya mengeliat dan menyibak selimutnya.

Wajah bantalnya membuat Zara gemas dan langsung mencium gemas pipi chuby nya. “Bau asem...”

“Mama...”Alya merengek dan kini dia berpindah memeluk perut mamanya dengan erat.

“Kenapa,sayang?”tanya Zara lembut membelai pujuk kepala putrinya.

“Ngantuk...,”sahut Alya serak dengan mata yang kembali tertutup. Zara menggeleng takjub dengan tingkah putrinya yang sangat menggemaskan.

“Putri mama anak pintar,kan? Harus sekolah sayang, biar tambah pintar.”

“Iya,mama nanti.”

“Sayang..., mandi ya? Nanti terlambat loh!”tegur Zara lembut. Alya membuka matanya yang sayup.

“Okey,mama!”

Alya merubah posisinya menjadi duduk, mengucek mata dan menguap lebar. “Huaaaa.... ngantuknya....” Zara hanya bisa tertawa pelan.

“Sudah, sana mandi!”dia mengacak rambut Alya gemas. Putri kecilnya itu mengangguk dan turun dari ranjang. Berjalan dengan mata setengah tertutup menuju kamar mandi.

“Sayang, matanya buka yang lebar!”tegur Zara.

Seketika mata Alya melotot lebar. “Hmmm, iya mama!"

“Dasar anak itu.”Zara tersenyum lebar.

Setelahnya dia keluar dan berpindah ke kamarnya. Berjalan dengan senyum sumringah dan hati yang bahagia. Dia membuka pintu kamarnya.

“Mas, mau pakai baju yang mana?”

Deg...

Kosong?

Zara terdiam membatu, kamar itu kini sudah kosong. Senyumnya memudar terganti dengan wajah pias seolah dia kembali mengingat kenyataan yang seharusnya tak dia lupakan.

Kenyataan yang membuatnya sadar diri bahwa kini suaminya bukan hanya miliknya. Suaminya kini juga milik orang lain dan sedang menghabiskan waktu dengan wanita lain. Ah, tidak. Bukan orang lain tapi istri mudanya.

Ckk... bagaimana dia bisa begitu bodoh dan masih berharap kebahagiaan yang dulu akan tetap terasa sama dengan kehadiran orang baru yang mengikis jarak diantara mereka.

Bagaimana dia bisa berharap bahwa kemarin hanyalah sebuah mimpi buruk yang tak pernah terjadi. Nyatanya semua nyata dan benar-benar telah terjadi.

Tapi, yang terjadi adalah sebuah kenyataan dan kepahitan yang membuat hatinya hancur. Tidak, bukan hanya hatinya tapi juga harapannya, cintanya, suaminya, dan kini hanya tersisa putrinya.

Zara menghapus air matanya yang masih mengalir. Lalu tersenyum getir, “Ck, aku bodoh karena masih merasakan kehangatanmu dikamar ini.”

“Zara...,”seseorang memanggilnya lirih. Sebuah tangan meremas erat bahunya membuat Zara memejamkan kembali matanya. “Maafkan aku. Itu bukan keinginanku, kemarin malam ak_”

“Cukup, mas?!”Zara memutar tubuhnya dan langsung berhadapan dengan Yusuf suaminya.

“Ap-apa yang coba kamu jelaskan. Apa kamu juga ingin mengatakan padaku betapa indahnya malam pertama kalian? Begitukah?”Zara bertanya dengan begitu lirihnya. Menatap Yusuf dengan begitu sendu dan pandangan yang menyiratkan luka terdalam.

Yusuf menampilkan raut wajah marah dan tak suka. Kedua tanganya terkepal begitu erat di kedua sisi tubuhnya. “Kenapa kamu berkata begitu?! Sungguh! Aku tak sepenuhnya sadar melakukan semua itu!”

Zara berdecih dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan suaminya itu. “Mas, kumohon cukup. Cukup aku wanita yang kamu sakiti. Jangan lagi membuat alasan yang nantinya menyakiti perasaan istri keduamu.”

“Zara, aku_”Yusuf mencoba kembali menjelaskan namun Zara terlebih dahulu meninggalkannya dan turun kedapur dengan air mata yang terus saja mengalir.

Yusuf menarik rambutnya kasar dengan frustrasinya.“AKHHH... KENAPA HARUS BEGINI?!”

“Sungguh, malam itu aku tidak sepenuhnya sadar! Aku sendiri juga terkejut saat bangun dan bersama dengan Syifa dalam satu selimut!”gumam Yusuf frustrasi.

“Akhhhh.... bodoh?! Cobaan apa lagi ini ya Tuhan?!”dia berteriak marah dan memberantakan seisi kamar Zara.

***

Zara melamun sambil mengaduk segelas susu hangat untuk putri kecilnya. Pikirannya melayang jauh seolah hanya raganya saja yang tinggal.

Namun, jiwanya pergi mencoba mencari ketenangan. Jika bisa dia ingin pergi. Tapi, kembali teringat dengan perkataan sang mertua.

Bahwa jika dia pergi atau Yusuf sendiri yang mengusirnya dari hidupnya maka artinya dia telah kalah. Dan dia tak akan memiliki apapun. Tidak Yusuf ataupun Alya.

Zara menggeleng takut.”Tidak....tidak! Aku tidak boleh lemah! Aku tidak boleh menyerah secepat ini.Paling tidak aku harus berusaha untuk mempertahakan mas Yusuf sebagai suamiku agar aku tak berpisah dari Alya!”batinnya gelisah.

Ketakutan terbesarnya adalah berpisah dari anaknya. Dari Alyanya, sebab separuh nafasnya ada pada Alya. Dia seorang ibu dan tak ada kebahagian lain selain untuk tetap bersama anaknya.

***

“Pa-pagi,mbak!”sapaan gugup dan lembut Zara dengar. Tangannya berhenti bergerak menata susu dan sarapan di atas meja.

Dia tertegun mendengar suara itu, terasa bergemuruh hatinya mendengar suara wanita lain dirumahnya. Namun berusaha tegar dan terukir pula senyum lembut di bibir Zara.

Dia mengangkat wajahnya, meloleh kearah Syifa lalu tersenyum. “Selamat pagi Syifa. Apa tidurmu, nyenyak?”tanya Zara mencairkan suasana yang terasa canggung antara dia dan Syifa sang madunya.

Syifa tertunduk merasa kikuk dengan sikap Zara. Tak pernah dia sangka jika Zara akan bersikap baik padanya. Awalnya dia merasa takut jika Zara akan membenci kehadiranya. Syifa mengangguk canggung membuat Zara menghembuskan nafas pelan.

Dia berjalan mendekat kearah Syifa lalu menyentuh tanganya yang meremas gugup gamisnya. “Ada apa? Apa ada masalah?”Zara bertanya dengan nada lembut membuat Syifa tertegun dan menatap Zara seketika.

Terpancar ketulusan di wajah Zara membuatnya semakin merasa bersalah dan gelisah hati.

“Oh,Tuhan. Sungguh aku telah melakukan kesalahan terbesar karena telah masuk kedalam rumah tangga wanita sebaik dia.”batinnya meringis.

“Kamu mau makan sesuatu? Biar aku siapkan?”

Syifa menggeleng sungkan. “Ti-tidak, tidak usah mbak! Biar Syifa yang membuatnya sendiri nanti.”tukas Syifa.

Zara hanya tersenyum dan mengangguk, “Baiklah. Bisa tolong bantu aku membuat kopi untuk Mas Yusuf? Aku mau melihat Alya sebentar.”

Mata Syifa berbinar bahagia. Sungguh senang hatinya saat diminta membuatkan kopi untuk suaminya. Pertama kali baginya menyiapkan minum untuk Yusuf. “Bisa mbak!”seru Syifa semangat.

Zara terkekeh, “Yasudah. Aku tinggal dulu ya!”

Zara meninggalkan Syifa sendiri di dapur. Dan wanita itu dengan semangat menyiapkan kopi untuk Yusuf.

Ntah kopi apapun itu tapi yang dia tahu dan dia bisa hanyalah membuat kopi hitam dan tidak mengerti jenis kopi yang lainnya.

#Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status