“Hm, baru bangun.”Byakta berdecak saat melihat istrinya yang baru saja membuka mata. Sambil mengusap rambut basahnya, Byakta yang baru saja keluar dari kamar mandi itu segera menghampiri Yasmen. Ia berdiri di sisi ranjang dan masih sibuk menyapukan handuk kecil di kepala.Yasmen melirik datar pada Byakta. “Ayamku? Sama kentang?”Mengapa hal pertama yang ditanyakan Yasmen justru ayam dan kentangnya?“Berapa password hapemu?” Tidak ingin berbasa-basi dan terus merasa penasaran, Byakta segera mempertanyakan hal tersebut pada Yasmen.“Ayaaam!” Yasmen mendepak selimut yang membalut tubuhnya ke arah Byakta.“Password.”“Mas By!”“Yasmen.”“Maas!” Yasmen bangkit dan duduk dengan perasaan kesal. “Jangan bikin kesel! Ini sudah malam, aku mau makan, terus tidur!”“Yasmen.” Byakta menghela seraya menggantungkan handuk kecilnya di leher. “Kamu mau tidur lagi? Coba lihat ini jam berapa?”Yasmen mengerjap. Melirik pada pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima. Itu berarti, ia su
Byakta baru keluar dari ruangannya, saat ia melihat Yasmen berdiri kemudian berjalan sambil tersenyum menatap ponsel yang ada di genggaman. Gadis itu keluar dari ruang divisi HRD, dan terlihat terus melangkah menuju lift.Jam makan siang memang baru saja tiba. Jadi, mungkin saja Yasmen saat ini hendak pergi untuk makan siang. Namun, mengapa Yasmen tidak makan siang dengan teman satu divisinya. Gadis itu malah pergi seorang diri, dan tidak saling menunggu seperti staf yang lainnya.Byaka yang juga berniat pergi makan siang, akhirnya berdiri di samping Yasmen yang sudah berada di depan lift.“Bapak mau makan siang juga?” Sebenarnya, Yasmen sedikit terkejut ketika Byakta tahu-tahu ada di sampingnya. Namun, demi kata jual mahal yang terpaku di kepala, akhirnya Yasmen berusaha bersikap formal ketika mereka berada di kantor.Byakta berdecak karena kesal dengan ucapan Yasmen. Gadis itu seolah seperti bunglon. Sanggup bersikap formal dan terkesan dingin ketika di kantor, dan akan berubah 180
“Ya ampun, Princess! Jadi orang itu, jangan terlalu serius.”Apa semua keturunan Sagara memang tidak punya selera humor, pikir Endy. Dari Mai, Pras, dan sekarang Yasmen. Walaupun sifat Yasmen sungguh berbeda dengan May, tapi mereka sepertinya sama-sama tidak bisa diajak bercanda.“Nyante, Yas, nyante,” tambah Endy ikut berhenti, ketika langkah Yasmen berhenti lebih dulu.“Ihh!” Yasmen mendorong lengan Endy dengan kedua tangan. Ia menghentak kesal, kemudian berkata, “Aku baru aja nikah, masa’ sudah didoain jadi janda!”Endy terkekeh. Namun, tidak terlalu memikirkan apa yang diucapkan oleh gadis itu. Bagi Endy, semua yang dikatakannya di luar urusan pekerjaan, hanyalah bualan belaka.“Lagian, kamu baru nikah kenapa langsung masuk kerja, ha?” Endy tersenyum miring karena merasa ada yang salah dengan pernikahan Yasmen. “Nggak libur, atau pergi bulan madu?”“Issh!” Yasmen menendang kecil kursi yang baru saja ditarik oleh Endy untuknya. “Nggak usah tanya-tanya! Mending kita ngomongin kerjaa
“Nggak sopan!”Byakta bergeming dan tetap melajukan mobilnya dengan perlahan, untuk mencari tempat makan. Sedari tadi, mulut Yasmen itu tidak berhenti melempar protes untuk meluapkan kekesalannya.“Harusnya, Mas By ikut aja makan bertiga sama Mas Endy!” lanjut Yasmen. “Jangan tahu-tahu nyuruh aku pergi, terus pake ngancam telpon ayah sama enda. Gimana kalau aku telponin papi terus bilang kalau Mas By itu nggak profesional! Aku lagi bahas kerjaan sama Mas Endy, tapi disuruh pergi gitu aja! Harusnya, Mas By sudah bisa bedain antara urusan pribadi dan kerjaan.”“Dan harusnya, kamu juga sudah bisa bedain, mana yang boleh kamu lakukan di luar sana, dan mana yang nggak.” Akhirnya Byakta membuka mulut untuk berbicara. “Kamu juga harus bisa mikir, kalau pertemuan barusan nggak seharusnya terjadi. Apa yang harus dibahas? Kamu tinggal terima proposal, dan serahkan ke papi. Selesai.”“Cemburu, ya?” Yasmen memicing sambil mencondongkan tubuh pada Byakta. “Ayo tinggal bilang kalau Mas By cemburu!
“Duduk!”Sepasang pengantin baru itu, langsung berhadapan dengan Pras ketika baru memasuki ruang tamu. Pras yang tadinya hendak keluar dan melihat persiapan syukuran cucu pertamanya, akhirnya mengurungkan diri karena melihat Yasmen dan Byakta baru saja memasuki kediamannya.Pras langsung berbalik, dan mengajak mereka berdua memasuki ruang kerja yang sudah jarang digunakan olehnya sejak pensiun dari Casteel High. Ruang tersebut, saat ini lebih sering digunakan Qai untuk menyelesaikan pekerjaan yang tiada henti.“Kenapa kami berdua disuruh masuk ke sini?” lontar Yasmen ketika sudah duduk di samping Byakta. Untuk menunjukkan hubungan mereka baik-baik saja, Yasmen sedari tadi selalu memeluk lengan Byakta dengan mesra.Padahal kenyataannya, hubungan mereka masih belum menemukan arah dan tujuannya.“Masih mau cerai?”Pertanyaan menohok dan tanpa basa-basi itu, langsung dilemparkan Pras dengan telak.“Ce-rai?” Ada apa lagi sekarang? Apa Yasmen kembali mengadu yang tidak-tidak pada Pras?“Ya!
“Mai.”Pras memanggil, tapi tatapannya tertuju hanya pada satu sosok yang lumayan jauh dari jangkauan. Pras yakin tidak salah lihat, meskipun hanya beberapa kali berjumpa secara langsung dengan pria itu.Mai yang baru saja meletakkan putrinya di stroller, segera memasrahkan Rara pada Yasmen yang sedari tadi tidak mau jauh dari bayi mungil itu. Mai menghampiri Pras, kemudian berhenti di samping sang ayah yang berdiri di sudut teras depan rumah. “Kenapa?”“Kenapa ada Endy di sini?” tanya Pras datar dan tetap menatap tajam pada setiap pergerakan Endy yang berbaur dengan para undangan lainnya. “Siapa yang undang dia?”“Saya, Yah!” seru Raj yang baru saja keluar dari rumah dan mendengar pertanyaan Pras tersebut.Pras menoleh dan menatap tanya. Tidak perlu melontarkan lagi pun, Pras yakin Raj sudah tahu maksudnya.“Dia itu rekanan kantor,” jawab Raj berdiri di samping Mai sambil menatap Endy dan seorang bocah yang ada di samping pria itu. “Perusahaan dia, ada kerja sama dengan perusahaanku.
“Kamu tahu, By. Aku, satu-satunya orang yang menentang pernikahan kamu dan Yasmen.”Byakta terkesiap. Bergeming di tempat dan menelan ludah. Kenapa, pria itu tahu-tahu ada di sebelah Byakta, yang sudah menjauh, menyepi dari keramaian.“Ayah,” ucap Byakta menoleh pelan pada Pras.“Pertama, karena kamu itu pengecut,” ungkap Pras terus terang. “Kedua, kamu masih belum bisa move on dari Mai, dan aku tahu itu.”“Ayah, aku—”“Aku ingatkan kamu, By.” Pras memutar tubuh untuk menatap Byakta, setelah memandang putrinya dari kejauhan. “Ubah sikapmu, sebelum Yasmen tahu kalau yang menghantui pernikahannya bukan bayangan Raya, tapi Mai.”Byakta kembali menelan ludah. Tidak ada kalimat sanggahan yang bisa Byakta lontarkan pada Pras, karena pria itu berkata benar.“Ingat, By. Penyesalan selalu datang belakangan.” Tubuh Pras kembali berputar dan mengarahkan pandangannya kembali ke Mai. “Dan aku bisa jamin, kamu nggak akan pernah dapat perempuan yang tulus seperti Yasmen. Jadi sadarlah, sebelum semua
“Yasmen!” Byakta menyusul Yasmen yang kembali masuk ke bagian dalam rumah. Sebelum mencapai ujung tangga, Byakta dengan cepat meraih tangan istrinya. “Yas, sebelum bicara pikirkan dulu semuanya baik-baik.”Yasmen berusaha melepaskan tangan Byakta, tapi percuma. Kenapa pria itu sampai mencengkram tangan Yasmen begitu erat seperti ini.“Lepasin, atau aku teriak,” ancam Yasmen.“Kalau hukumanmu mau ditambah sama ayah, silakan teriak.”“Mas By!”“Yasmen, dengarkan aku baik-baik.” Byakta sedikit melonggarkan cengkramannya, tapi tetap tidak membiarkan Yasmen pergi ke mana pun. “Menikah itu nggak gampang, Yas! Coba hitung, sudah berapa kali mulutmu itu dengan entengnya bilang cerai? Kamu kira nikah itu seperti ganti baju, yang bisa kamu ganti seenaknya?”“Mas, kenapa selalu aku yang kamu salahkan?” ujar Yasmen mulai bersikap dingin pada Byakta. Bertemu Cipta dan berbicara beberapa hal dengan bocah itu, akhirnya membuat mata Yasmen terbuka.Bagaimana jika nasib pernikahannya nanti akan berakh