Share

Camkan Itu

Sinar membuang napas lelah. Benar-benar lelah karena karena energinya hampir habis terpusat pada May dan Sila sekaligus, sejak kemarin. Beruntung, rumah sakit yang ditempati anak dan menantunya itu berada di tempat yang sama, hingga ia tidak perlu bolak-balik pergi ke sana kemari. Untuk yang satu ini, Sinar memang harus berterima kasih pada sang suami arogannya, yang selalu bisa memaksakan kehendak pada siapa saja.

Kemudian pagi ini, Sinar kembali harus dihadapkan dengan Byakta dan Yasmen yang tidak jadi berangkat bulan madu ke Singapura. Namun, di mana ada Sinar di situ pastilah ada Pras yang akan sebisa mungkin berada di sisi istrinya jika sedang tidak mengurus masalah pekerjaan.

Pras bersedekap sambil mengusap dagu. Melihat Byakta dan Yasmen, yang duduk berdampingan di hadapannya. Sementara Bira dan sang istri, juga duduk berdampingan di sisi lainnya. Sebenarnya, Pras kurang setuju ketika Bira ingin menikahkan putrinya dengan Byakta. Karena Pras tahu benar, jika Mai dan Byakta pernah saling memiliki rasa, dan terpaksa berakhir karena keduanya memang tidak berjodoh.

Byakta terlalu pengecut untuk memperjuangkan Mai kala itu. Sampai Raj datang, dan mengambil Mai dengan cara yang tidak terduga. Pras jadi berpikir, mungkin semua ini karma yang didapatnya, karena ia mendapatkan Sinar dengan cara yang juga tidak terduga. Namun satu yang pasti, Pras tidak pernah menyesal dengan perbuatannya dahulu kala. Karena sejak awal, Pras sudah tahu jika ia sangat menginginkan Sinar menjadi miliknya.

“Harusnya, aku dan Sinar nggak perlu datang ke sini.” Tatapan Pras tertuju tegas pada Bira, lalu beralih pada Yasmen. Pras yakin, kalau semua masalah yang ada pagi ini pastilah ulah dari keponakannya itu. Sementara Byakta, tidak akan mungkin berani mencari masalah dengan keluarga Sagara. “Mereka sudah jadi suami istri, jadi kita nggak berhak dan nggak perlu untuk ikut campur.”

“Bukan begitu, Mas.” Bira segera mengatupkan bibir, ketika melihat Pras mengangkat tangan dan mengarahkan punggung telapak tangan ke arahnya. Jika sudah seperti itu, artinya Pras tidak ingin disela sama sekali.

“Yasmen, apa maumu?” Pras tidak mau berpanjang-panjang, karena ingin segera pergi ke rumah sakit untuk menengok cucu pertamanya yang baru lahir hampir tengah malam tadi. “Kamu yang minta menikah dengan Byakta dan bulan madu ke Singapur. Tapi sekarang, kamu dengan seenaknya batalin bulan madu ke sana.”

“Mas By masih cinta sama Raya.” Yasmen rasa, ia tidak perlu menutupi semua hal yang terjadi di antara mereka tadi malam. “Ayah tahu Mas By semalam tidur di mana? Dia tidur di sofa, dan aku tidur di ranjang. Kami nggak ngapa-ngapain, Yah!”

“Yasmen!” Sang mami menghardik satu-satu putri yang dimilikinya dengan menahan rasa malu. Mau melakukan hal apapun atau tidak, harusnya hal tersebut hanya jadi konsumsi antara Byakta dan Yasmen saja.

“Aku beneran, Mi.” Yasmen sudah memasang wajah merajuk, karena semua bayangan indah sebagai pengantin baru musnah seketika. “Tanya aja sama Mas By kalau nggak percaya.”

“Yasmen!” Giliran Sinar yang segera menghardik Yasmen. Kedua mata Sinar juga langsung melotot hingga membuat Yasmen menciut dengan mengerucutkan bibir. Di antara semua keluarga Pras, hanya Qai saja yang tidak pernah memarahi Yasmen satu kali pun. “Kalau tahu begini, kami nggak bakal setuju kamu minta nikah sama Byakta. Pikiranmu itu masih belum dewasa, dan Enda yakin kamu sebenarnya belum siap untuk nikah.”

Yasmen menatap Byakta untuk mencari pembelaan. Namun, apa yang bisa diharap dari pria yang yang masih belum move on dari mantan kekasihnya. Byakta sedari tadi hanya diam, dan tidak membuka mulutnya sama sekali.

Ternyata, setelah menjadi suami, Byakta mendadak menjadi orang yang tidak menyenangkan.

“Byakta,” panggil Pras. “Harusnya kamu menolak untuk menikah dengan Yasmen, kalau masih belum bisa move on dari mantan tunanganmu itu.” Entah mengapa, Pras yakin kalau bukan Rayalah yang ada di dalam pikiran Byakta, tapi Mai. “Jangan jadi pengecut seperti yang sudah-sudah.”

Byakta tahu benar maksud dari perkataan Pras. Ia memang terlalu pengecut, karena tidak berani memperjuangkan Mai hanya karena perbedaan kasta yang terlalu membentang.  

“Tadinya, saya kira kamu sudah berubah karena berani menikah dengan Yasmen, tapi ternyata saya salah. Bahkan, ini lebih buruk dari masalah yang kemarin-kemarin.” Pras tidak akan tanggung-tanggung jika sudah mengeluarkan semua hal yang ada di kepalanya. Lebih baik, mengeluarkan semua hal langsung di depan orangnya, daripada harus berbicara di belakang.

Byakta memberanikan diri menatap Pras. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti rasanya jadi Byaka, kecuali dirinya sendiri. Byakta juga tidak mengerti, mengapa ia mau-mau saja ketika Mario menawarkan untuk menikah dengan Yasmen. Yang jelas, semua yang terjadi saat ini, tidak ada kaitannya dengan Raya sama sekali.

Mungkin, harga diri Byakta yang melihat Raj begitu bahagia dengan Mailah, yang membuatnya mau menikah dengan Yasmen. Ada sekelumit rasa iri, sakit hati, yang berbalut egoisme, saat melihat kehidupan pernikahan yang dijalani Mai dengan Raj saat ini. Kenapa Mai bisa terlihat begitu bahagia hidup bersama Raj, padahal Byakta tahu jika hati Mai masihlah menjadi miliknya.

Begitu cepatkan Mai menggantikan dirinya dengan Raj, dan sudah move on dari Byakta secepat itu?

“Saya minta maaf,” ujar Byakta akhirnya membuka mulut untuk berbicara. “Saya cuma minta waktu untuk menyesuaikan diri.”

“Nggak ada yang perlu disesuaikan lagi,” sahut Pras menganggap alasan Byakta sungguh tidak masuk akal. Byakta sudah mengenal seluruh keluarga Sagara sedari ia kecil, dan Pras pun sudah menganggap Mario sebagai keluarganya sendiri. Jadi, untuk apa lagi Byakta harus menyesuaikan diri.

“Kamu sudah jadi suami Yasmen, jadi, kamu bertanggung jawab penuh atas diri yasmen mulai sekarang," lanjut Pras memberi nasihat dengan tegas dan seperti biasa, ia tidak ingin dibantah. "Ingat satu hal, masalah apapun yang terjadi di dalam rumah tangga kalian, jangan sampai didengar orang di luar sana. Duduk, bicarakan berdua baik-baik, dan selesaikan lebih dulu tanpa kami harus ikut campur."

“Ayah—”

“Diam dulu, Yas,” sergah Pras tidak ingin Yasmen memotong pembicaraannya. “Karena kalian berdua sudah mengganggu kami berempat pagi-pagi dengan masalah sepele, maka kalian harus terima akibatnya.”

Yasmen menunduk, tapi kedua matanya menatap tajam pada Pras. Kalau tahu begini, Yasmen lebih baik pergi saja ke Singapura daripada harus membuat masalah dengan Pras. Ia bisa menghabiskan waktu dengan shopping, dan berjalan-jalan untuk menghilangkan kekesalannya pada Byakta.

“Karena bulan madunya batal, mulai besok kalian berdua langsung pergi kerja ke kantor.” Pras menunjuk Yasmen dengan tegas, tanpa ekpresi. “Mulai besok, kamu kerja jadi staff Byakta di Casteel High, dan nggak akan terima gaji sepeser pun, sampai semua biaya yang sudah dikeluarkan untuk bulan madu lunas. Rekeningmu diblok, dan nggak ada satu pun orang yang boleh ngasih uang ke Yasmen kecuali suaminya.”

Tatapan Pras langsung berpindah pada Bira dan sang istri, yang selama ini sangat memanjakan Yasmen hampir tanpa batas. Sebenarnya, Yasmen juga kerap bersikap manja pada Pras, tapi, gadis itu tidak akan berani membantah jika Pras sudah memberi titah untuk melakukan sesuatu. “Kalian berdua, dengar itu baik-baik.”

“Ayah—”

“Nggak ada Ayah-ayah,” putus Pras dengan segera dan langsung menunjuk Byakta. “Saya serahkan Yasmen sama kamu, dan jangan pernah lagi hubungi kami kalau kalian cuma bertengkar masalah sepele seperti ini. Selesaikan semua secara dewasa, karena kalian yang akan menjalani rumah tangga ini untuk ke depan, bukan kami! Camkan itu, baik-baik.”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
nama istrinya bira masih disembunyiin sih Thor, bikin penasaran aja ...
goodnovel comment avatar
Oliva Koneng
ayah Pras mantap
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Yasmen kyak ank kecil yah. masak gara2 g jdi MP sja ngadu. nggak malu apa..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status