Byakta memandang Yasmen yang sibuk mengumpat, ketika tahu aplikasi mobile banking di ponselnya sudah tidak bisa diakses sama sekali. Gadis itu menggeram kesal, lalu membuang ponselnya dengan kasar di atas ranjang.
“Yas, kalau hapemu jatuh terus rusak, aku nggak akan beliin kamu hape baru seharga itu,” tunjuk Byakta pada benda persegi yang untungnya tidak jatuh, dan terbentur lantai kamar hotel. Ponsel Yasmen memang tidak akan langsung rusak bila jatuh ke lantai, tapi, sekali ini Yasmen memang perlu diberi peringatan agar tidak bersikap semaunya.
Seperti kata Pras, Yasmen saat ini adalah tanggung jawab Byakta. Oleh karena itu, Byakta akan sungguh-sungguh mendidik Yasmen agar bisa menjadi wanita dewasa yang mandiri.
Yasmen melirik tajam dan kesal pasa sang suami. Kenapa Byakta bisa berubah 180 derajat seperti itu, ketika mereka sudah menikah? Yang Yasmen tahu, pria itu selalu bersikap baik dan loyal kepadanya.
“Kenapa Mas By jadi berubah pelit gini?” protes Yasmen separuh berteriak lalu menghempas bokongnya di tepi ranjang.
“Bukan pelit, Yas.” Byakta yang sedari tadi duduk di sofa segera beranjak untuk duduk di samping Yasmen. “Di Casteel High, aku cuma karyawan yang digaji bulanan. Aku bukan pemilik saham, apalagi pemilik perusahaan. Jadi, aku punya pertimbangan setiap membeli sesuatu.”
“Hape Mas By itu harganya belasan juta!”
“Dan hapemu itu harganya di atas 20 juta,” sambar Byakta harus benar-benar sabar ketika menghadapi seorang Yasmen. “Jadi, kalau hapemu sampai rusak, aku cuma bisa belikan kamu hape seharga dua juta. Yang penting bisa dipakai nelpon dan—”
“HA?” Yasmen segera berdiri karena terkejut dan tidak bisa memercayai ucapan Byakta. “Nggak, nggak, aku bisa minta papi atau mami daripada pake hape harga dua juta.”
Byakta mengambil benda persegi yang sempat dilempar Yasmen di tempat tidur. Ia berdiri, lalu meraih tangan kanan Yasmen dan meletakkan ponsel gadis itu di tangannya. “Punya barang itu, dihargai dan dijaga baik-baik. Kalau sampai aku dengar kamu minta barang, atau uang satu rupiah aja sama mami atau papi, aku bakal minta ayah untuk stop semua kucuran dana dari perusahaan buat kamu, untuk seumur hidup. Dan kamu, cuma terima gaji perbulan dari Casteel High, atas kinerjamu selama 22 hari kerja. Itu pun, baru bisa kamu terima setelah semua biaya bulan madu yang batal itu lunas.”
“MAS BY!”
“Ya, Yas?” balas Byakta dengan lembut, tanpa ada amarah sama sekali.
“Aku nggak terima, ya, diperlakukan seperti ini,” protes Yasmen kembali ingin melempar ponselnya, tapi dengan cepat ia urungkan karena mengingat ancaman Byakta. Ia tidak akan mau memakai ponsel seharga dua juta sampai kapan pun. Apa kata teman-temannya jika melihat kehidupan Yasmen mendadak downgrade setelah menikah dengan Byakta.
Itu baru masalah ponsel. Bagaimana dengan fasilitas lainnya?
Seperti … perawatan ke klinik kecantikan yang selalu rutin dilakukan Yasmen tiap bulan, dan nongkrong di kafe bersama teman-temannya di akhir minggu?
Astaga! Kenapa Yasmen tidak memikirkan hal tersebut sebelumnya? Hal seperti ini tidak akan terjadi jika Yasmen tetap berangkat ke Singapura bersama Byakta. Harusnya, Yasmen memikirkan semua hal terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan ketika ia tengah kesal dan marah pada Byakta malam tadi.
“Kamu bisa protes sama ayah.” Byakta tidak mungkin menyuruh Yasmen untuk melayangkan protes pada kedua orangtua gadis itu. Karena Byakta yakin sekali jika Yasmen akan mendapat pembelaan dari Bira, maupun sang istri yang sangat memanjakan putri semata wayangnya itu. “Atau, sama Enda.”
“Mas By, jahat!” Yasmen menggunakan tangan bebasnya untuk memukul dada Byakta. “Aku kira, setelah nikah sama Mas By, aku bisa tambah bahagia. Tapi, baru sehari aku sudah menderita dan nggak punya uang sama sekali!”
Byakta meringis nyeri sambil mengusap dadanya. “Mulai sekarang, uangku itu, juga uangmu.”
Mendengar hal tersebut, kedua alis Yasmen sontak tersentak tinggi. Tangannya langsung menengadah di depan dada Byakta tanpa sungkan sama sekali. “Kasih aku kartu kredit kalau gitu. Karena punyaku pasti sudah blokir juga sama ayah.”
“Nggak bisa Yasmen.” Byakta menyingkirkan tangan sang istri, lalu menepuk-nepuk pipi Yasmen dengan perlahan. “Gajiku sebulan bisa langsung habis kalau aku kasih kamu kartu kredit.”
“Ya dilimitlah,” buru Yasmen masih ingin menuntut haknya pada Byakta.
“Limit berapa? 100 juta sebulan?” Byakta menepuk dahinya sendiri lalu menghempaskan kembali tubuhnya di tepi ranjang. “Sekali lagi aku bilang, aku itu di Casteel High cuma pegawai. Suamimu ini, bukan anak pengusaha, Yas. Papaku cuma mantan supir pribadi Enda, sama asisten ayah, alias cuma pesuruh. Jadi, kalau kamu mau punya kartu kredit dengan limit segitu, harusnya kamu nikah dengan anak dari rekan bisnis papi, bukan sama aku.”
Bukan sekali, dua kali Bira hendak menjodohkan Yasmen dengan anak relasi bisnisnya. Namun, yang ada di mata Yasmen sejak dahulu kala, hanyalah Byakta seorang. Pembawaan Byakta yang tenang, rendah hati, ramah, dan hangatlah, yang semakin membuat Yasmen tergila-gila pada pria itu. Ditambah, paras Byakta yang sangat tampan itulah, yang sudah membuat Yasmen menjatuhkan hati pada pria itu sejak pertama kali melihatnya di kediaman Pras.
“Tapi aku maunya cuma nikah sama Mas By.” Jika teman-temannya memiliki cita-cita untuk menjadi pengacara, dokter, pengusaha dan karir sejenisnya, hal itu tidak berlaku dengan Yasmen. Sejak melihat dan mengenal Byakta, cita-cita Yasmen hanya untuk menikah dan menjadi istri dari pria itu. Memiliki banyak anak, dan menjalani hidup bahagia selamanya, bak cerita dari negeri dongeng.
Byakta tertawa kecil karena sikap Yasmen yang terkadang terlampau polos dan manja. Sungguh berbeda dengan pembawaan Mai yang terlalu mandiri dan arogan itu. Ah! Kenapa lagi-lagi nama Mai terselip di dalam pikiran Byakta.
“Dan kita sudah menikah.” Byakta segera menggeleng cepat, untuk mengusir rasa yang sudah tidak boleh lagi terselip di hatinya.
“Tapi Mas By masih cinta sama Raya,” seloroh Yasmen ikut menghempaskan diri di samping Byakta. Yasmen bersila, kemudian menunduk menatap kedua kakinya. Apa tidak bisa Byakta mengabaikan semua rasa itu, dan hanya melihatnya seorang. “Gara-gara Raya juga, tadi malam kita—"
“Kasih aku sedikit waktu, Yas.” Waktu untuk melupakan sang permaisuri hati, yang sudah bertahta di hati Byakta sejak lama.
“Aku kasih Mas By waktu tapi …” Yasmen mengangkat wajah untuk memandang Byakta.
“Tapi?”
“Cium aku dulu.”
Byakta menahan napas, ketika melihat Yasmen begitu mudah mencondongkan wajah padanya. Gadis cantik itu pun sudah menutup mata, dan tinggal menunggu Byakta untuk melakukan permintaan Yasmen.Entah mengapa Byakta merasa canggung untuk melakukannya bersama Yasmen. Padahal, ia sudah seringkali melakukan hal tersebut bersama Raya dahulu kala. Apa mungkin, karena Yasmen merupakan adik sepupu dari wanita yang dicintainya, karena itu Byakta memiliki sebuah rasa yang mengganjal di dalam dada.Byakta baru saja hendak mengangkat tangan untuk menyangga wajah Yasmen, dan hendak melakukan permintaan gadis itu. Namun, dering ponselnya membuat Byakta akhirnya berdiri, dan tidak dipungkiri jika hatinya merasa sedikit lega karena tidak jadi mencium Yasmen.Mendengar suara ponsel yang berdering di kamarnya, Yasmen seketika membuka mata. Melihat Byakta yang sudah berjalan menjauh menuju sofa. Ada rasa kesal, marah, dan ingin rasanya Yasmen berteriak karena panggilan yang masuk di ponsel Byakta sungguh t
“Kenapa nggak jadi ke Singapur?”Raj berdiri bersedekap, di samping ranjang pasien yang digunakan sang istri. Menahan secuil rasa kesal, karena kedatangan Byakta dan Yasmen untuk menjenguk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Mai. Dari sikapnya saja, Raj dapat melihat jika kedua orang yang baru saja datang itu, tidak tampak seperti sepasang suami istri.Raj pun dapat melihat segurat kepalsuan, dalam senyum yang disematkan Byakta ketika mengunjunginya. Pria itu, pasti masih menyimpan rasa untuk Mai, tapi dengan terpaksa harus memendamnya dalam-dalam.Akan tetapi, satu hal yang masih belum bisa dicerna oleh otak Raj. Kenapa Byakta mau menikahi Yasmen? Kenapa, pria itu justru tidak maju untuk memperjuangkan Mai dahulu kala?Di sinilah letak kecurigaan Raj, yang membuatnya tidak bisa berpikir positif dengan Byakta.“Ya, nggak jadi aja,” jawab Yasmen tidak ingin kekisruhan rumah tangganya di dengar oleh orang lain. Mengingat, Pras sudah mewanti-wanti agar semua hal terkait rumah tangga mere
“Jangan bilang, malam ini Mas By mau tidur di sofa lagi.”Sungguh, bukan seperti ini bayang pernikahan yang ada di kepala Yasmen. Bukan ingin membandingkan, tapi Yasmen melihat kehidupan pernikahan seluruh keluarga besarnya sangatlah bahagia. Dari Viona, Pras, maupun Bira yang merupakan ayah Yasmen sendiri. Belum lagi, kehidupan kedua sepupunya yang sudah lebih dulu menikah, yaitu Qai dan Mai. Mereka sungguh terlihat amat bahagia dan mesra, di mana pun berada.Byakta yang baru saja keluar dari kamar mandi, berdiam diri sejenak setelah menutup pintu. Ia memandang Yasmen yang duduk di tepi ranjang, dengan menggunakan hotpants dan tanktop. Gadis itu menatap cemberut, dengan tangan bersedekap rapat di bawah dada.“Yas—”“Tidur di ranjang,” potong Yasmen tidak ingin mendengar alasan apapun dari mulut Byakta. Setidaknya, hubungan mereka akan maju satu langkah jika keduanya sudah tidur di ranjang yang sama. Walaupun, tidak ada yang keduanya lakukan selain tidur. Paling tidak, Yasmen bisa mem
Yasmen membuka mata dan mendapati Byakta tidak berada di sampingnya, memeluknya. Melihat jendela kamar yang masih tampak gelap, Yasmen pun membalik tubuh untuk melihat jam digital yang berada di nakas. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima pagi. Itu artinya, pagi ini Yasmen dan Byakta akan memulai rutinitas baru di Casteel High sebagai sepasang suami istri.Kira-kira, apa yang akan dipikirkan karyawan kantor jika melihat mereka berdua langsung masuk bekerja, padahal baru saja melangsungkan pernikahan yang sangat mewah. Para karyawan di perusahaan, pasti akan bergosip tentang mereka berdua.Kalau sudah begini, Yasmen merasa bodoh sendiri karena keputusan yang diambilnya ketika tengah marah dan ngambek dengan Byakta.Namun, di sisi lain Yasmen kembali teringat dengan kejadian tadi malam. Akhirnya, hubungan mereka mengalami sedikit kemajuan. Karena inisiatifnya, akhirnya ciuman pertama itu sukses mendarat dengan sempurna di bibir Yasmen malam tadi.Ternyata, rasanya begitu …
“Pagi Papi.”Bira hanya melirik datar, pada sapaan Yasmen yang terlihat semringah dengan sorot mata yang berbinar-binar. Detik selanjutnya, tatapan Bira beralih pada Byakta yang tidak menampilkan ekpresi berbeda dari biasanya. Semuanya terlihat sama, dengan senyum dan anggukan formal.“Pagi Pak Bira,” sapa Byakta menyusul ucapan Yasmen.Bira balas mengangguk hanya pada Byakta. “Pagi.”“Sapaan aku, kok, nggak dibalas, Pi?” protes Yasmen lalu berdiri ditengah-tengah Bira dan Byakta yang tengah menunggu lift. Sementara karyawan lain yang sudah, dan tengah menuju lift tersebut segera beralih ke lift yang berbeda.“Saya bukan papi kamu kalau di sini!” Mata Bira membola lebar sambil menghardik pelan putri kesayangannya. Bagaimanapun juga, Bira harus bisa menjaga wibawanya selama berada di perusahaan.Meskipun gosip nepotisme di keluarga Sagara santer terdengar di telinga, tapi bukan berarti mereka pilih kasih dalam mempekerjakan seseorang. Baik Pras maupun Bira, tetap memperlakukan dan men
Karena sikap supel dan ramahnya, Yasmen tidak perlu menunggu lama untuk bisa akrab dengan rekan satu divisinya. Meskipun, masih ada yang bersikap sungkan karena Yasmen merupakan anak dari presiden direktur yang menjabat di Casteel High saat ini. Mereka harus lebih menjaga lisannya, jika hendak bergosip seperti biasa.“Ini berkas lamaran yang masuk sampai kemarin. Itu berarti, dari jumat, sabtu, sama minggu,” ujar Ratna, senior wanita yang baru saja meletakkan setumpuk amplop cokelat di meja Yasmen. Kemudian, ia mengambil sebuah pulpen di meja Yasmen dan menulis sesuatu pada tumpukan amplop yang paling atas. “Dan ini, e-mail divisi HRD dan passwordnya,” lanjutnya menunjuk sesuatu yang baru saja ia tulis.Yasmen yang masih bingung dengan tugasnya, hanya mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada tumpukan amplop yang tingginya melebihi mesin printer yang ada di mejanya. Entah apa yang harus Yasmen lakukan pada tumpukan berkas lamaran itu nantinya. Ia hanya menunggu instruksi terlebih da
“Kenapa mas By itu tambah cakep aja, sih!”Kalimat yang diikuti tawa oleh dua wanita itu, membuat Yasmen tidak jadi keluar dari bilik toilet. Jam pulang kantor sudah berakhir dari setengah jam yang lalu, tapi Yasmen harus menunggu Byakta yang masih menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Sementara menunggu, Yasmen menyempatkan diri menjelajahi Casteel High dengan seksama dan berakhir di toilet lantai lobi.“Cakep, tapi suami orang buat apa?” sahut wanita yang suaranya terdengar cempreng. “Apalagi menantunya pak bos besar, mana berani kita nyikut.”Tawa itu kembali menguar, disertai suara bilik pintu toilet yang tertutup tepat di samping tempat Yasmen berada.“Tapi, Ris, gue heran aja, lamarannya sama siapa, terus nikahnya sama siapa,” lanjut si Cempreng kembali bergosip dari bilik di samping Yasmen. “Kasian aja sama pacarnya, udah ngapa-ngapain bareng, eh, putus!”Wanita yang dipanggil Ris itu pun menghela dengan suara yang panjang. “Gue lebih kasian sama istrinya. Besoknya mau ni
Sejak sore tadi, Yasmen hanya membisu dan tidak bersikap seperti biasanya pada Byakta. Tidak ada senyum, tatapan ramah serta manja, apalagi sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Yasmen bungkam, sebagai bentuk protes karena Byakta sudah membohonginya. Pria itu masih saja berhubungan dengan Raya, bahkan sehari sebelum mereka menikah.Kalau memang Byakta tidak ingin menikah dengan Yasmen, seharusnya pria itu tinggal menolaknya saja. Tidak perlu mengiyakan, tapi ujung-ujungnya hanya membuat Yasmen menderita batin. Tadinya, Yasmen mengira Raya merupakan masa lalu yang tidak lagi bertukar kabar dan hanya sekedar menyisakan sebuah rasa di hati Byakta. Namun, dugaan Yasmen salah.Byakta bahkan masih bertemu dan menjalin hubungan dengan Raya, setelah pria itu setuju untuk menikah dengan Yasmen. Lantas, jika sudah begini akankah Yasmen bisa bertahta di hati Byakta?Ternyata, pernikahan yang ada di pikiran Yasmen, tidak seindah yang selama ini ia lihat di keluarga besarnya. Atau, hanya pernika