Byakta menahan napas, ketika melihat Yasmen begitu mudah mencondongkan wajah padanya. Gadis cantik itu pun sudah menutup mata, dan tinggal menunggu Byakta untuk melakukan permintaan Yasmen.
Entah mengapa Byakta merasa canggung untuk melakukannya bersama Yasmen. Padahal, ia sudah seringkali melakukan hal tersebut bersama Raya dahulu kala. Apa mungkin, karena Yasmen merupakan adik sepupu dari wanita yang dicintainya, karena itu Byakta memiliki sebuah rasa yang mengganjal di dalam dada.
Byakta baru saja hendak mengangkat tangan untuk menyangga wajah Yasmen, dan hendak melakukan permintaan gadis itu. Namun, dering ponselnya membuat Byakta akhirnya berdiri, dan tidak dipungkiri jika hatinya merasa sedikit lega karena tidak jadi mencium Yasmen.
Mendengar suara ponsel yang berdering di kamarnya, Yasmen seketika membuka mata. Melihat Byakta yang sudah berjalan menjauh menuju sofa. Ada rasa kesal, marah, dan ingin rasanya Yasmen berteriak karena panggilan yang masuk di ponsel Byakta sungguh tidak tepat waktu.
Yasmen akhirnya hanya bisa menghela, dan mencoba bersabar sebentar. Menunggu, sampai sang suami selesai menerima panggilan tersebut. Namun, yang membuat Yasmen mendadak kesal ialah, Byakta pergi keluar kamar untuk menerima panggilan tersebut. Siapa sebenarnya yang menelepon suaminya itu hingga Byakta harus pergi keluar dan tidak bicara di depan Yasmen.
Jangan-jangan, panggilan tersebut dari Raya, mantan tunangan Byakta. Yasmen bergegas menyusul Byakta dengan berlari kecil. Melihat Byakta duduk di sofa dengan bersandar, sekaligus menyelonjorkan kakinya, Yasmen langsung saja menghempas tubuh di samping pria itu. Bersedekap, dan memasang daun telinganya baik-baik untuk mendengar obrolan sang suami.
Byakta menarik napas dan menahannya sejenak ketika melihat Yasmen yang saat ini tengah menatapnya penuh curiga. Untuk itu, Byakta segera mengakhiri pembicaraannya di telepon.
“Siapa yang nelpon?” buru Yasmen tidak bisa menutupi kecurigaannya sama sekali. “Kenapa harus keluar kamar? Dan kenapa harus buru-buru diselesain waktu aku ada di sini? Pasti Raya, ya? Mas By masih telpon-telponan dengan Raya, ya? Berani selingkuh, aku laporin om Lex, biar dituntut dengmm!”
Tangan besar Byakta langsung membungkam mulut Yasmen yang kelewat cerewet itu. Padahal, Yasmen itu bukan anak Sinar, tapi kalau sudah bicara dan menuntut sesuatu, gadis itu akan terus mengoceh sampai ada yang menghentikannya.
“Papa nelpon, dan tanya kenapa kita nggak jadi pergi ke Singapur,” ujar Byakta menjelaskan dengan sabar. Byakta memang sempat mengirim chat pada Mario, kalau dirinya dan Yasmen tidak jadi berangkat ke Singapura. Namun, Byakta belum mengatakan alasan yang sesungguhnya di balik pembatalan bulan madu mereka.
“Bohong!” todong Yasmen belum bisa percaya sepenuhnya pada Byakta. Andai semalam Byakta tidak ragu untuk menyentuhnya, pasti kejadiannya tidak akan seperti sekarang. “Pasti Raya yang nelpon, mau coba gangguin Mas By!”
“Yas.” Byakta menghela pendek. Ada rasa sesal yang tiba-tiba menyelimuti hati Byakta karena sudah menikah dengan Yasmen. Apa yang dikatakan Sinar saat menceramahi Yasmen pagi tadi memang benar adanya. Yasmen masih belum dewasa dalam bersikap, dan seharusnya mereka memang tidak menikah terlebih dahulu. “Kamu bisa telpon papa sekarang kalau nggak percaya. Dan aku, sudah nggak berhubungan lagi dengan Raya.”
Senyum Yasmen tertarik datar, cenderung dipaksakan. “Makanya, kalau nelpon itu di depan istri, jangan malah pergi kayak lagi bicara sama selingkuhan.”
Tidak ingin menanggapi Yasmen, dan memperpanjang masalah mereka, Byakta akhirnya berdiri dari tempat duduknya. “Bereskan barang-barangmu, habis ini kita cari kado, terus jenguk anaknya mbak Mai di rumah sakit.”
Bagaimanapun juga, Byakta ingin melihat kondisi Mai seusai melahirkan. Byakta juga ingin melihat, putri kecil yang telah dilahirkan wanita yang namanya masih saja terselip di hatinya itu. Meskipun terasa menyesakkan, tapi Byakta harus mulai terbiasa dengan hal tersebut. Ia pun yakin, sejalannya waktu semua perasaan itu akan memudar dan Byakta bisa menerima Yasmen di hatinya.
“Kenapa nggak jadi ke Singapur?”Raj berdiri bersedekap, di samping ranjang pasien yang digunakan sang istri. Menahan secuil rasa kesal, karena kedatangan Byakta dan Yasmen untuk menjenguk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Mai. Dari sikapnya saja, Raj dapat melihat jika kedua orang yang baru saja datang itu, tidak tampak seperti sepasang suami istri.Raj pun dapat melihat segurat kepalsuan, dalam senyum yang disematkan Byakta ketika mengunjunginya. Pria itu, pasti masih menyimpan rasa untuk Mai, tapi dengan terpaksa harus memendamnya dalam-dalam.Akan tetapi, satu hal yang masih belum bisa dicerna oleh otak Raj. Kenapa Byakta mau menikahi Yasmen? Kenapa, pria itu justru tidak maju untuk memperjuangkan Mai dahulu kala?Di sinilah letak kecurigaan Raj, yang membuatnya tidak bisa berpikir positif dengan Byakta.“Ya, nggak jadi aja,” jawab Yasmen tidak ingin kekisruhan rumah tangganya di dengar oleh orang lain. Mengingat, Pras sudah mewanti-wanti agar semua hal terkait rumah tangga mere
“Jangan bilang, malam ini Mas By mau tidur di sofa lagi.”Sungguh, bukan seperti ini bayang pernikahan yang ada di kepala Yasmen. Bukan ingin membandingkan, tapi Yasmen melihat kehidupan pernikahan seluruh keluarga besarnya sangatlah bahagia. Dari Viona, Pras, maupun Bira yang merupakan ayah Yasmen sendiri. Belum lagi, kehidupan kedua sepupunya yang sudah lebih dulu menikah, yaitu Qai dan Mai. Mereka sungguh terlihat amat bahagia dan mesra, di mana pun berada.Byakta yang baru saja keluar dari kamar mandi, berdiam diri sejenak setelah menutup pintu. Ia memandang Yasmen yang duduk di tepi ranjang, dengan menggunakan hotpants dan tanktop. Gadis itu menatap cemberut, dengan tangan bersedekap rapat di bawah dada.“Yas—”“Tidur di ranjang,” potong Yasmen tidak ingin mendengar alasan apapun dari mulut Byakta. Setidaknya, hubungan mereka akan maju satu langkah jika keduanya sudah tidur di ranjang yang sama. Walaupun, tidak ada yang keduanya lakukan selain tidur. Paling tidak, Yasmen bisa mem
Yasmen membuka mata dan mendapati Byakta tidak berada di sampingnya, memeluknya. Melihat jendela kamar yang masih tampak gelap, Yasmen pun membalik tubuh untuk melihat jam digital yang berada di nakas. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima pagi. Itu artinya, pagi ini Yasmen dan Byakta akan memulai rutinitas baru di Casteel High sebagai sepasang suami istri.Kira-kira, apa yang akan dipikirkan karyawan kantor jika melihat mereka berdua langsung masuk bekerja, padahal baru saja melangsungkan pernikahan yang sangat mewah. Para karyawan di perusahaan, pasti akan bergosip tentang mereka berdua.Kalau sudah begini, Yasmen merasa bodoh sendiri karena keputusan yang diambilnya ketika tengah marah dan ngambek dengan Byakta.Namun, di sisi lain Yasmen kembali teringat dengan kejadian tadi malam. Akhirnya, hubungan mereka mengalami sedikit kemajuan. Karena inisiatifnya, akhirnya ciuman pertama itu sukses mendarat dengan sempurna di bibir Yasmen malam tadi.Ternyata, rasanya begitu …
“Pagi Papi.”Bira hanya melirik datar, pada sapaan Yasmen yang terlihat semringah dengan sorot mata yang berbinar-binar. Detik selanjutnya, tatapan Bira beralih pada Byakta yang tidak menampilkan ekpresi berbeda dari biasanya. Semuanya terlihat sama, dengan senyum dan anggukan formal.“Pagi Pak Bira,” sapa Byakta menyusul ucapan Yasmen.Bira balas mengangguk hanya pada Byakta. “Pagi.”“Sapaan aku, kok, nggak dibalas, Pi?” protes Yasmen lalu berdiri ditengah-tengah Bira dan Byakta yang tengah menunggu lift. Sementara karyawan lain yang sudah, dan tengah menuju lift tersebut segera beralih ke lift yang berbeda.“Saya bukan papi kamu kalau di sini!” Mata Bira membola lebar sambil menghardik pelan putri kesayangannya. Bagaimanapun juga, Bira harus bisa menjaga wibawanya selama berada di perusahaan.Meskipun gosip nepotisme di keluarga Sagara santer terdengar di telinga, tapi bukan berarti mereka pilih kasih dalam mempekerjakan seseorang. Baik Pras maupun Bira, tetap memperlakukan dan men
Karena sikap supel dan ramahnya, Yasmen tidak perlu menunggu lama untuk bisa akrab dengan rekan satu divisinya. Meskipun, masih ada yang bersikap sungkan karena Yasmen merupakan anak dari presiden direktur yang menjabat di Casteel High saat ini. Mereka harus lebih menjaga lisannya, jika hendak bergosip seperti biasa.“Ini berkas lamaran yang masuk sampai kemarin. Itu berarti, dari jumat, sabtu, sama minggu,” ujar Ratna, senior wanita yang baru saja meletakkan setumpuk amplop cokelat di meja Yasmen. Kemudian, ia mengambil sebuah pulpen di meja Yasmen dan menulis sesuatu pada tumpukan amplop yang paling atas. “Dan ini, e-mail divisi HRD dan passwordnya,” lanjutnya menunjuk sesuatu yang baru saja ia tulis.Yasmen yang masih bingung dengan tugasnya, hanya mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada tumpukan amplop yang tingginya melebihi mesin printer yang ada di mejanya. Entah apa yang harus Yasmen lakukan pada tumpukan berkas lamaran itu nantinya. Ia hanya menunggu instruksi terlebih da
“Kenapa mas By itu tambah cakep aja, sih!”Kalimat yang diikuti tawa oleh dua wanita itu, membuat Yasmen tidak jadi keluar dari bilik toilet. Jam pulang kantor sudah berakhir dari setengah jam yang lalu, tapi Yasmen harus menunggu Byakta yang masih menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Sementara menunggu, Yasmen menyempatkan diri menjelajahi Casteel High dengan seksama dan berakhir di toilet lantai lobi.“Cakep, tapi suami orang buat apa?” sahut wanita yang suaranya terdengar cempreng. “Apalagi menantunya pak bos besar, mana berani kita nyikut.”Tawa itu kembali menguar, disertai suara bilik pintu toilet yang tertutup tepat di samping tempat Yasmen berada.“Tapi, Ris, gue heran aja, lamarannya sama siapa, terus nikahnya sama siapa,” lanjut si Cempreng kembali bergosip dari bilik di samping Yasmen. “Kasian aja sama pacarnya, udah ngapa-ngapain bareng, eh, putus!”Wanita yang dipanggil Ris itu pun menghela dengan suara yang panjang. “Gue lebih kasian sama istrinya. Besoknya mau ni
Sejak sore tadi, Yasmen hanya membisu dan tidak bersikap seperti biasanya pada Byakta. Tidak ada senyum, tatapan ramah serta manja, apalagi sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Yasmen bungkam, sebagai bentuk protes karena Byakta sudah membohonginya. Pria itu masih saja berhubungan dengan Raya, bahkan sehari sebelum mereka menikah.Kalau memang Byakta tidak ingin menikah dengan Yasmen, seharusnya pria itu tinggal menolaknya saja. Tidak perlu mengiyakan, tapi ujung-ujungnya hanya membuat Yasmen menderita batin. Tadinya, Yasmen mengira Raya merupakan masa lalu yang tidak lagi bertukar kabar dan hanya sekedar menyisakan sebuah rasa di hati Byakta. Namun, dugaan Yasmen salah.Byakta bahkan masih bertemu dan menjalin hubungan dengan Raya, setelah pria itu setuju untuk menikah dengan Yasmen. Lantas, jika sudah begini akankah Yasmen bisa bertahta di hati Byakta?Ternyata, pernikahan yang ada di pikiran Yasmen, tidak seindah yang selama ini ia lihat di keluarga besarnya. Atau, hanya pernika
Melihat pintu balkon yang terbuka, Susi yang tadinya hendak menuju kamar utama langsung membelokkan langkahnya. Di luar sana, ia melihat Byakta berdiri sambil bersedekap seperti sedang melamunkan sesuatu. “Maaf, Mas,” tegur Susi berada di bibir pintu dan tidak melihat Yasmen ada di area balkon. Mungkin saja, Yasmen masih berada di kamar untuk mempersiapkan diri pergi ke kantor. “Sarapannya sudah siap.” Seketika itu juga Byakta membalik tubuh, dan tersenyum kecil. Ada banyak hal yang berputar di kepala Byakta tentang pernikahannya dengan Yasmen. Apalagi, saat Yasmen mengutarakan keinginannya untuk bercerai malam tadi. Byakta tidak bisa membayangkan, bagaimana kedua orangtuanya akan murka jika Byakta benar-benar menceraikan Yasmen. Orangtua Byakta terutama papanya, pasti akan kehilangan muka di depan Pras. Namun, bertahan dengan Yasmen yang terlalu bersikap kekanakan ternyata mampu membuat Byakta mengelus dada. Gadis itu tidak pernah berpikir terlebih dahulu jika melakukan sesuatu, da