“Duduklah, biar aku yang bikin susu.” Byakta mengambil alih wadah susu dari tangan Yasmen dan langsung membukanya. Ketika istrinya itu keluar kamar tanpa menoleh dengan intonasi bicara yang datar, Byakta paham ada satu hal yang sudah mengganggu perasaan Yasmen.“Aku bisa bikin sendiri.” Meskipun begitu, Yasmen hanya berdiam diri dan tidak mengambil kembali wadah susu dan gelas yang baru saja di ambil oleh Byakta. Yasmen justru mengerjap berulang kali, agar tidak ada air mata yang menitik di wajahnya.“Iya, aku tahu, tapi biar aku yang bikin malam ini,” ulang Byakta sudah menuangkan satu sendok susu ke dalam gelas. “Habis ini biar aku potongkan buahnya. Jadi kamu tinggal duduk manis, terus makan.”Yasmen mengangguk dalam diam. Ia pergi menuju sebuah sofa panjang, yang di letakkan di salah satu sisi dapur. Sejak Yasmen hobi menghabiskan harinya di dapur untuk memasak, ia meminta sofa panjang yang ada di ruang tamu agar dipindah ke dapur. Jadi, sambil menunggu gorengannya matang, Yasmen
Perasaan Yasmen bisa sedikit lebih lega setelah mendengar pernyataan sayang dari Byakta. Walaupun, Yasmen masih meyakini hati sang suami masih saja terpaut dengan kakak sepupunya. Secara nyata, Mai memang bukan ancaman karena Yasmen tahu wanita seperti apa kakak sepupunya itu. Namun, hal tersembunyi yang masih berada di dalam hati Byaktalah yang terkadang membuat Yasmen merasa kecil hati.“Bee …” Yasmen masuk ke kamar mereka di lantai bawah, tetapi tidak mendapati Byakta ada di sana. Hanya ada laptop terbuka yang tergeletak di tempat tidur, dan masih menyala. Mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, Yasmen akhirnya menyimpulkan suaminya saat ini sedang berada di dalam sana.Tiba-tiba saja, sebuah pikiran datang dan mengusik Yasmen saat melihat laptop Byakta di tempat tidur. Karena itu, Yasmen segera menghampiri dan membuka windows explorer baru dan mencari sebuah folder yang dulu pernah ia lihat dan buka.Namun, hingga beberapa saat Yasmen menyelidiki, folder yang dahulu penuh
“Aku, juga mau stroller yang begini, tapi warnanya biru atau hijau buat cowok,” pinta Yasmen saat menyentuh sebuah stroller yang akan dihadiahkan pada Sila yang baru saja melahirkan bayi perempuan. Yasmen belum menjenguknya, karena menunggu hingga Sila pulang ke kediaman Sagara terlebih dahulu. Karena setiap bulan selalu datang ke rumah sakit untuk kontrol kandungan, Yasmen jadi bosan mencium aroma khas yang membuat perutnya mual.Yasmen hanya mual, tetapi tidak sampai muntah. Namun, hal itulah yang membuat dirinya enggan pergi ke rumah sakit, kecuali terpaksa.“Kenapa nggak bilang dari tadi?” Sudah sampai di depan kasir dan hendak membayar, barulah Yasmen mengutarakan keinginannya tersebut.“Tadi nggak pengen, tapi sekarang pengen,” jawabnya beralasan.Byakta menghela. Padahal, mereka menghabiskan waktu yang tidak sedikit ketika mencari sebuah stroller yang pas sesuai keinginan Yasmen. Kini, saat sudah dapat dan hendak pergi ke kediaman Sagara, gadis itu ingin membeli satu lagi untuk
“Ada Rara.” Byakta menunjuk gadis kecil yang berada di gendongan Pras yang sore ini terlihat sangat rapi. Karena pria itu tidak memakai baju rumahan yang cenderung santai, maka Byakta menebak, Pras akan keluar bersama cucu kesayangannya tersebut. “Cepat banget besarnya.”“Itu artinya, Mas Bee sudah tambah tua.” Yasmen membuka sabuk pengaman, walau mobil Byakta masih berjalan pelan memasuki pekarangan kediaman Sagara. Melihat Rara ada bersama Pras, itu berarti di dalam sana juga ada Mai dan Raj yang sedang berkunjung.Sejenak, Yasmen menatap sang suami. Mengingat tidak ada lagi foto-foto Mai di dalam laptop Byakta, Yasmen setidaknya sudah bisa mempercayakan separuh hidupnya pada pria itu. Semoga saja, sosok Mai tidak hanya dihapus di laptop Byakta, tetapi juga dari hati serta pikiran pria itu.Ya, semoga saja.“Itu artinya, kamu sudah nikah sama orang tua,” balas Byakta lalu membelokkan roda empatnya dengan perlahan untuk parkir. Tidak ada mobil Raj ataupun Mai ada di pekarangan, Byakt
“Kalau Sila jahitannya banyak.”Mendengar Qai mengatakan hal tersebut, Yasmen jadi bergidik sendiri. Membayangkan dirinya berada di ruang persalinan dengan dokter dan perawat di sekitarnya. Belum lagi, dengan rasa sakit dari kontraksi sebelum persalinan berlangsung. Nyali Yasmen seketika ciut mendengarnya.“Disuruh jangan ngejan, tapi dia ngejan karena nggak kuat,” sambung Qai.Yasmen yang duduk di tepi ranjang di samping Sila, menoleh pelan pada Byakta yang duduk di sofa panjang bersama Qai. “Aku mau caesar aja, Bee. Nggak jadi normal.”“Mau operasi, mau normal, dua-duanya sama-sama ada resikonya,” kata Sinar yang duduk berseberangan dengan Yasmen. Bukan mau menakut-nakuti Yasmen, tetapi Sinar ingin memberi pandangan lain agar keponakannya itu bisa memikirkan semua hal dengan matang. “Jadi, pikirkan dulu baik-baik. Kalau memang mau operasi, mending cari tanggal cantik dulu. Kalau normal, kan, nggak bisa milih.”Yasmen mengernyit. Masih membayangkan bagaimana rasanya bila bagian inti
Dengan berat hati, malam itu Byakta ikut makan malam di kediaman Pras atas titah Sinar. Duduk satu meja dengan Mai, yang tampak tidak peduli dengan semua hal seperti biasa. Tidak ada Raj, karena pria itu ternyata sedang berada di luar kota, dan karena itulah Mai berada di rumah orang tuanya.Rasa canggung itu ternyata masih ada, tetapi Byakta berusaha bersikap biasa. Bagaimanapun juga, mereka saat ini sudah menjadi satu keluarga besar. Mai sudah membuang masa lalunya, begitupun dengan Byakta. Mereka sudah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing, dan tidak perlu lagi menyinggung ataupun mengingat masa lalu.“Ayah, aku mau pulang.” Yasmen menghampiri Pras yang sedang duduk bersila di ruang tengah, bersama Rara yang belum juga beranjak tidur. Pria itu sedang menemani cucunya bermain dengan buku bantalnya. Dengan perlahan, Yasmen ikut duduk di atas karpet, lalu bersila di samping Rara. “Kamu kenapa belum tidur, siiih!” Ketika kedua tangan Yasmen hendak mencubit gemas pipi Rara, Pra
Byakta memandang Yasmen yang sudah tertidur pulas. Setelah sedikit drama kram perut, akhirnya Byakta dan Yasmen menginap di kediaman Sagara. Sinar tidak memperbolehkan Byakta pulang, karena khawatir terjadi sesuatu dalam perjalanan. Sebenarnya, sempat terbersit pikiran untuk menelepon sopir pribadi Yasmen dan menjemput mereka. Namun, rasa sungkan Byakta untuk memberi perintah terhadap orang yang bekerja dengannya, terlebih yang usianya lebih tua, membuatnya mengurungkan niat.Byakta mengusap sisi wajah Yasmen dengan perlahan. Lampu kamar memang belum dimatikan, sehingga ia bisa melihat setiap guratan sempurna yang terlukis pada wajah cantik itu. Sangat cantik, dan Byakta tidak bisa mengingkarinya. Bahkan tanpa melakukan perawatan wajah selama kehamilan, istrinya masih tetap begitu sempurna di mata Byakta.Hampir tengah malam dan Byakta tidak juga bisa tertidur. Ia pun bangkit, mematikan lampu kamar kemudian keluar menuju dapur. Melihat lampunya yang menyala, Byakta memelankan langkah.
Sejak keterbukaan yang terjadi malam itu, Yasmen akhirnya sudah tidak lagi memendam curiga pada Byakta. Ia sudah memberi kepercayaan pada Byakta 100 persen tanpa keraguan sedikit pun. Hari-hari yang dijalani Yasmen pun semakin berwarna, karena tidak ada lagi hal yang disembunyikan di antara keduanya.“Bee! Kalau lahirannya dimajuin pas tahun baru aja gimana?” Yasmen tengah melihat kalender di ponsel, sambil memikirkan proses kelahiran anaknya nanti. Yasmen masih maju mundur, antara melahirkan normal atau caesar.Mengingat bagaimana kondisi Sila dengan banyak jahitan, membuat Yasmen ngilu sendiri ketika memikirkannya. Akan tetapi, bila memutuskan untuk operasi, nyali Yasmen juga belum cukup besar meskipun saat ini semuanya sudah lebih canggih.“Jadi, mau caesar?” Setelah dipikir lagi, Byakta merasa keberatan bila Yasmen harus melakukan operasi caesar. Ia meletakkan ponsel di nakas, kemudian membaringkan diri. Memiringkan tubuh, lalu meraih guling untuk dipeluk.“Entar, kontrol terakhir