LOGINMy mother-in-law gets into an accident and is taken to the emergency room. I call my attorney husband, but he only answers after over 20 missed calls. "What are you on about this time? Gigi has a bit of a problem, and I'm helping her. Stop being unreasonable." I suppress my grievance and say, "Mom's gotten into an accident. Transfer 100 thousand dollars to me." However, he believes Gigi Norris' lies and snarls, "What does your mother getting into an accident have to do with me? Don't even think of getting money from me to provide for your family. Now, leave me alone. I'm busy!" He hangs up, and my mother-in-law dies. Three days later, I see my husband in court. Gigi has been taken to court for driving under the influence, and he's there to defend her. He speaks eloquently and manages to get her off based on a lack of evidence. I lose hope in him and ask him for a divorce once the court is out of session. That's when he panics. "Think about how well my mother treats you! You'll break her heart by divorcing me!" I sneer. I throw the hospital bill and death certificate in his face. The idiot doesn't even know he no longer has a mother!
View More❤ Rina
"Ma, Mama dulu cita-citanya pengin jadi apa?"
Aku langsung menundukan kepalaku untuk melihat putri kecilku yang saat ini sedang berada di dalam dekapanku.
"Kenapa El tiba-tiba tanya cita-citanya Mama? El tahu apa artinya cita-cita?"
Melihat anggukan kepala dari putriku tercinta, senyumku otomatis langsung terkembang dengan sempurna.
"Kata Ibu guru, cita-cita itu keinginan. Harapan."
"Tadi di sekolah, Ibu guru jelasin soal cita-cita?" tanyaku sambil memberikan usapan lembut di pipi gembil putriku tercinta.
Lagi, putriku langsung memberikan anggukan kepalanya dengan gerakan yang lucu sekali.
"Iya Mama."
"Terus, yang El tahu apa lagi? Cita-cita itu apa lagi artinya?"
Elysia, putriku tercinta, kini terlihat seperti orang yang sedang berpikir keras sekali dalam diamnya.
Saat ini, aku jadi tertegun karena memandangi bagaimana ekspresi serius yang sedang ditunjukan oleh putriku. Dan setiap hal ini sedang terjadi, maka aku pasti akan selalu menahan tawaku.
Sebab ketika Elysia sedang menunjukan ekspresi serius dan berpikirnya, maka wajahnya pasti akan jadi mirip sekali dengan Papanya.
Setiap kali Elysia sedang berpikir, maka rasa-rasanya, ia berubah seperti seseorang yang sedang menanggung beban yang amat sangat berat untuk dipikul, sampai-sampai dahi dan kedua alisnya jadi berkerut begitu ketat. Bahkan terkadang, kedua tangannya juga akan ikut mengepal dengan sangat erat.
Memang ya, Elysia Zivana Almaira, adalah anak Papa.
Tapi tenang saja, aku masih tetap bisa sedikit berbangga, karena wajah putri kecilku lebih banyak mirip denganku daripada dengan Papanya.
"Ehm. Cita-cita itu pekerjaan," jawab Elysia pada akhirnya.
"Pekerjaan yang gimana?"
Ya. Rutinitas di dalam setiap waktu senggangku adalah bercerita dan berkomunikasi dengan si cerewet Elysia. Usianya yang memang sudah memasuki taman kanak-kanak, membuatnya penasaran dengan setiap hal yang masuk ke dalam penglihatan dan pendengarannya. Apapun itu, jika Elysia merasa belum tahu, maka dia pasti akan langsung bertanya dan mengungkapkan semua rasa ingin tahu yang ada di dalam hatinya.
Entah itu tentang semut yang sedang berjalan sambil membawa makanan. Atau tentang burung yang katanya sedang lapar karena terus bersuara kencang. Ada lagi tentang knalpot yang katanya kenapa suaranya harus berisik seperti itu sampai membuat telinga bisa pengang. Atau kenapa El harus sarapan, padahal kalau pagi mulut El akan terasa mual jika makan.
Ya, semua hal akan Elysia tanyakan. Dari yang mudah, sampai pertanyaan yang kadang kali membuatku terheran-heran, kenapa bisa-bisanya hal seperti itu terpikir oleh otak kecil putriku yang baru berusia 5 tahunan.
Kalau kata suamiku, Mas Rama, dia sering sekali berbicara seperti ini tentang Elysia. "El kan mirip kaya kamu Na. Cerewet. Ceriwis. Jadi ya nikmati aja," ucapnya sambil tertawa.
Dan bukan hanya berhenti pada kalimat itu saja. Sebab setelahnya masih ada gurauan berikutnya, "Lha kamu si, pakai baterei ABC aja udah cukup, kamu pasangin baterei alkaline sama anak kita. Jadinya ya begitu, tenaganya nggak habis-habis walau kita yang nemenin dan jawab udah sampai ngos-ngosan dan bingung mau jawab apa lagi."
Dan ketika hal itu sedang terjadi, maka aku akan cemberut dan berpura-pura untuk merengut seorang diri. Lalu berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan semua tawa dari Mas Rama yang pasti akan susah sekali untuk berhenti.
Bercerita tentang Mas Rama, aku jelas jadi langsung merindukannya.
Kembali mengusap pipi gembil milik putriku, aku juga jadi bergumam di dalam hatiku. "Mas Rama, Rina rindu kamu Mas."
Lamunan singkatku tentang Mas Rama langsung terbuyarkan karena mendengar kembali celotehan dari Elysia.
"Pekerjaan yang dipenginin kalau El sudah besar."
Aku tersenyum bangga. Karena ternyata Elysia cukup memperhatikan penjelasan apa saja yang disampaikan oleh gurunya.
"Ya. El pintar. Di sekolah, El dengerin terus ya kalau Ibu guru lagi ngajar di kelas?"
Elysia langsung mengangguk semangat sekali ke arahku. "Iya dong. Kan kata Mama, El harus jadi anak baik. Harus perhatiin Ibu guru, nggak boleh ngobrol keras-keras kalau lagi belajar di kelas."
Aku terkekeh pelan.
Karena ya, pesan itu memang nasihat yang selalu ku sampaikan pada Elysia setiap kali aku mengantarkannya berangkat menuju sekolahnya.
"El harus jadi anak yang baik ya sayang. Harus berbagi sama teman. Kalau ada yang El nggak suka, El boleh bilang. Tapi nggak El boleh sampai mukul atau marah-marah. Oke?"
Elysia langsung mengangguk di dalam pelukanku, jadi aku kembali melanjutkan ucapanku.
"Kalau di kelas, perhatiin Ibu guru ya sayang. Nggak boleh ngobrol keras-keras. Kalau El mau main, boleh. Tapi mainnya nanti kalau sudah istirahat. Ya?"
Elysia kembali memberikan anggukan kepalanya. "Iya Mama."
"Makan siangnya jangan lupa dimakan. Kalau kurang, Mama juga udah bawain jajan sama minuman di tas bekalnya El. Oke?"
Dan setiap kali bercerita tentang hal ini, maka aku akan langsung teringat kembali bagaimana cara Elysia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tanganku sebelum dia keluar dari mobil dan berlari riang menuju guru pendampingnya yang sudah menunggu di depan loby sekolahnya.
Ya. Aku memang selalu bersyukur karena mempunyai seorang putri yang cantik dan penurut seperti Elysia Zivana Almaira.
Dan aku memang selalu berpesan pada Elysia, bahwa dia harus bisa menjadi anak yang baik terlebih dahulu. Aku tak pernah menekankan Elysia untuk selalu menjadi anak yang pintar. Karena ku rasa, hati dan perilaku yang baik adalah sesuatu yang lebih harus ditekankan sedari dia masih kecil. Sebab hal itu yang akan berpengaruh besar untuk keberlangsungan masa dewasanya.
Dan suamiku, Mas Rama, juga setuju dengan hal itu. Katanya, "Yang penting anak-anakku nanti bisa jadi orang yang baik. Pintar itu bonus. Toh gusti Allah memang selalu memberikan kepintaran untuk setiap hamba-Nya. Tinggal kepintaran apa yang Allah beri. Dan itu nggak melulu soal anakku yang harus selalu dapat ranking di kelasnya. Yang penting dia jadi anak yang baik, santun, taat, dan paham agama. Maka lengkaplah sudah hidupku di dunia. Hidupku bisa tenang. Karena walaupun aku mati nantinya, aku bisa tetap berbangga karena aku punya tabungan yang bisa ku pertanggungjawabkan di hadapan Tuhanku. Yaitu anak-anak yang sholeh dan sholehah. Anak-anak yang baik, yang berbakti pada kedua orangtuanya, juga senantiasa beriman kepada Sang Pencipta."
Dan itulah yang selalu ku ingat. Bahwa anak-anakku harus bisa jadi orang yang baik terlebih dahulu. Baik pada Tuhannya, baik pada kedua orangtuanya, dan juga baik pada sesamanya. Selama dia bisa berperilaku baik, maka aku tak akan pernah khawatir di mana pun dia berada. Karena dia pasti akan bisa menjaga dirinya, dan orang lain juga akan baik kepadanya sebab kebaikan yang anakku punya.
Aku mengusap lembut kepala putri kecilku, "Jadi, cita-cita El pengin jadi apa? Pengin jadi Ibu guru?"
Menunggu cukup lama, ternyata Elysia memberikan gelengan kepalanya.
"Terus, El jadi pengin apa?" tanyaku penasaran.
"Pengin jadi polisi, kaya Papa."
Aku tersenyum.
"El pengin jadi Polwan?"
"Polwan?" tanya Elysia. Karena mungkin dia bingung arti Polwan itu apa.
"Iya sayang. Polwan. Polisi wanita."
Elysia tersenyum bahagia sekali sampai memperlihatkan gigi susunya. "Iya Ma, pengin jadi Polwan kaya Budhe Mega, temennya Papa. Pengin jadi Polisi, biar nanti El bisa pakai seragam coklat kaya punya Papa."
Aku terkekeh, "Bukan biar bisa pakai seragam coklat kaya Papa. Tapi jadi Polisi biar El bisa bantu orang yang kesusahan."
Mendengar nasihat tambahan dariku, Elysia langsung menganggukan kepalanya ke arahku. "Iya Ma. Biar El bisa bantu tangkap penjahat ya?"
Aku mengangguk lagi, "Iya sayang."
"Tapi El takut sama penjahat, Ma."
"Kenapa?"
"Soalnya penjahat kan jahat, Ma. Nakal. Jadi El takut."
Aku langsung terkekeh melihat Elysia yang tiba-tiba jadi sedikit merinding karena berbicara soal penjahat.
"El nggak mau jadi Polisi, Ma. Soalnya El takut sama penjahat."
Aku tersenyum semakin bahagia. Melihat tingkah Elysia, aku semakin menyadari bahwa anak-anak dan semua dunia bayangannya memang akan selalu sangat berhasil untuk mengundang kikikan dan juga tawa.
"Terus, El pengin jadi apa?"
"Nanti El pikirin lagi Ma. Kalau Mama, cita-cita Mama pengin jadi apa?"
Mendengar tembakan pertanyaan dari putriku, pikiranku jadi menerawang pada masa kecilku. Dan karena hal itu, bibirku seketika tersenyum mengingat lagi tentang masa-masa aku bermimpi ingin menjadi seseorang yang memakai jas putih dengan stetoskop yang mengalung indah di leherku.
"Dulu, Mama pengin jadi dokter."
"Dokter kaya Tante Shinta?"
Aku langsung menganggukan kepalaku ke arah putriku tercinta. "Iya sayang, dulu, Mama pengin jadi dokter kaya Tante Shinta."
Shinta adalah adik iparku, adik perempuannya Mas Rama.
"Terus kenapa sekarang Mama jadi kerja di toko? Kenapa Mama nggak jadi dokter kaya Tante Shinta?"
Aku tersenyum, lalu mengusap lembut rambut Elysia yang kini sudah mulai memanjang sampai menyentuh punggungnya. "Soalnya dulu, Mbah Kakung sama Mbah Uti di Purwokerto, uangnya nggak banyak. Jadi Mama nggak bisa sekolah jadi dokter."
"Memangnya, sekolah jadi dokter itu mahal ya Ma?"
"Iya sayang. Butuh uang yang cukup banyak supaya bisa lulus jadi dokter."
"Berarti, uangnya Eyang banyak ya Ma? Soalnya sekarang Tante Shinta bisa jadi dokter?"
Aku terkekeh lagi, lalu kembali memberikan anggukan kepalaku pada putri kecilku ini. "Iya sayang. Uangnya Eyang banyak. Karena alhamdulillah, Allah kasih rezeki yang lancar buat Eyang. Jadi Eyang bisa sekolahin Tante Shinta sampai lulus jadi dokter."
"Kalau Mama, Mama uangnya banyak nggak?"
Aku langsung terpaku, karena mendengar pertanyaan tak terduga dari putri kecilku. "Kenapa El tiba-tiba tanya begitu?"
"Mama punya uang banyak nggak buat sekolah El, kalau El pengin jadi dokter?"
"El pengin jadi dokter?"
Elysia kembali memberikan anggukan kepalanya. "Iya Ma. Kalau dulu Mama nggak bisa jadi dokter, nanti El yang terusin jadi dokter. El pengin jadi dokter, biar nanti Mama bisa bangga sama El."
Senyumku semakin terkembang dengan sempurna, setelah mendengar penuturan polos dari putriku tercinta. "InsyaAllah. InsyaAllah nanti El bisa jadi dokter ya sayang."
"Berarti Mama punya uang banyak kaya Eyang? Jadi bisa sekolahin El jadi dokter?"
"Bismillah. InsyaAllah, nanti Mama semangat kerja lagi biar bisa punya banyak uang buat sekolah El. El juga bantu doa sama Allah ya, semoga Allah kasih rezeki yang lancar buat Mama, biar El bisa sekolah jadi dokter."
Elysia langsung menganggukan kepalanya semangat sekali. "Iya Ma. Nanti El doa sama Allah banyak banyak. Habis sholat, nanti El doain Mama biar Allah kasih Mama uang yang banyak."
"Doain Papa juga ya sayang."
"Iya Ma. Doa buat Papa, Mbah Kakung, Mbah Uti, sama Eyang Kakung kan?"
Aku mengangguk kembali. "Iya sayang. El memang anak sholehahnya Mama," ucapku sambil memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah Elysia.
Elysia tertawa geli, "Udah Ma. Nanti mukanya El jadi lengket-lengket."
Aku kembali tertawa dengan begitu bahagia. "Astaga El. Berarti El mau bilang kalau liurnya Mama lengket ya?"
Tak mau menjawab jujur pertanyaan dariku, kini Elysia justru cengengesan ke arahku.
"Ya udah. Sekarang El bobo ya. Soalnya udah malam. Besok kan hari rabu, jadi El masih harus berangkat ke sekolah."
Lagi, Elysia langsung mengangguk dengan patuh sekali. "Iya Mama. El mau doa dulu buat Papa."
Senyumku senantiasa merekah saat melihat bagaimana cara Elysia yang kini sedang mengangkat kedua tangannya untuk berdoa.
Melihat hal itu, aku langsung bersyukur di dalam hati. Karena sungguh, bagiku, sikap putriku ini manis sekali.
"Aamiin," ucap Elysia sambil mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah kecilnya.
"Sudah berdoanya?" tanyaku sambil memberikan usapan lembut di puncak kepala Elysia.
"Udah Ma."
"El udah mau bobo?"
Dan Elysia kembali menganggukan kepalanya. "Iya Mama."
"Oke. Sekarang kita bobo yuk," ajakku.
Elysia tersenyum, lalu mulai merapatkan tubuhnya ke arahku. Sedangkan aku, jelas langsung memeluk tubuh kecil putriku, dan menepuk-nepuk pelan punggung sempitnya di dalam dekapanku.
Menundukan kepalaku, aku tersenyum penuh haru. Lalu mulai bergumam lagi di dalam hati, sebab mengingat suami yang paling ku kasihi. "Mas Rama, anak kita sudah besar Mas."
*****
Thanks to the release of this footage, the public's opinion of Zachary improved. Some thought he had merely been hoodwinked by Gigi. They even considered him a fellow victim.I saw their comments, and they made me laugh.I didn't know if Zachary was purposely trying to achieve something. Nevertheless, neither John nor I—not even Marie—would forgive him.Gigi was deplorable, but Zachary was far more reprehensible. He was part of our family. He should've been on our side, but he wasn't. There was no way for such hurt to ever be forgotten.No one showed up on the day of Zachary's sentencing. It served as a kind of punishment for him as well. Later on, I heard from John that Zachary took his own life while in prison. With his dying breath, he continued to apologize to Marie, John, and me.Once I heard that he was dead, the last of my anger dissipated. I still resented him, of course. How could I not? I resented him for betraying me and our marriage, for not trusting me, and for indire
Someone went online and posted about the incident at the courthouse entrance. The news was quickly shared by many accounts with massive followings.In today's society, a shocking headline would certainly get a lot of attention, and this one about a lawyer who helped his mother's killer get acquitted undoubtedly fitted the bill.Soon, many people in the comments had unearthed information about Zachary and Gigi. Just like what happened at the courthouse, everyone piled onto the two of them.Gigi remained as arrogant and indifferent as ever, probably because she assumed that Zachary had done away with all the evidence that could've incriminated her. As the news went viral, she even started a livestream."Yes, I was driving the car, but who's to say I hit her? She was just trying to scam me by faking an accident and claiming compensation from me! How can you say such things about me without any evidence?"I was just speeding and driving while drunk. The only punishment I got was havin
Zachary went home in despondence, but awaiting him there was the "surprise" I left for him. Not for a second did I ever intend to forgive his arrogance, mistrust, and mockery of me so easily.As soon as he opened the door and turned on the lights, he saw the familiar-looking jar I left on the dining table. It was the one Marie brought from her place. I even left a note on it."These are the pickles Mom made and brought over immediately after you mentioned them during your call with her. Do you think she would've died if she hadn't come over to deliver this that day?"Zachary fell to his knees. Tears streamed uncontrollably. He looked like an anguished beast, howling in despair."Mom! Mom! It's all my fault! I know I did a terrible thing. I'm to blame for everything!"I witnessed the whole thing through the security footage from my phone, and I sneered at his reaction. What was the use of regretting everything now? There was no way to bring Marie back.Once Zachary calmed down som
The more John said, the more choked up he got from his emotions."In order to get custody of you, Marie didn't take a single thing from your cheating father in the divorce settlement. You know very well all the hardships she went through! But what did you do when she passed away? You didn't even bother attending her funeral!"You helped Gigi get away with her crime, didn't you? It was you, right?"John had gone red with fury. I was worried he would get a heart attack, so I quickly approached him and said, "Calm down, Uncle John. Don't waste your anger on someone like him. I'll file an appeal."After slowly composing himself, John sighed and patted my shoulder. "Thank goodness we have you around, Annie. Even after you've divorced Zachary, I'll still consider you my niece."Smiling, I agreed to that. Meanwhile, Zachary looked utterly dazed. He kept mumbling, "How could it have been my mother? How could it have been Mom?"Gigi carefully walked over to try and comfort him, but she ba






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
reviews