Langit menguning, matahari sudah mulai mencumbu tanah. Neira menapaki jalanan taman dengan lesu. Bahunya merosot tajam seolah tak ada lagi semangat hidup.
Di bangku besi kosong bawah pohon beringin, akhirnya ia mengistirahatkan diri. Tubuhnya letih, begitupun dengan hatinya. Ia tidak tahu lagi harus pergi ke mana? Apa yang harus ia lakukan esok? Jangankan memikirkan itu semua, malam ini dia bisa tidur di mana? Dia tidak tahu.
Ia menerawang pada bangunan tinggi yang tak jauh dari tempatnya duduk, lebih tepatnya bangunan itu adalah apartemen yang baru saja ia tinggalkan. Ia menggeleng kepala perlahan, mengingat cek seratus juta di depan matanya yang sudah ia tolak mentah-mentah. Harusnya dalam kondisi seperti saat ini, cek itu adalah penyelamat bagi hidupnya. Tapi harga dirinya terasa tersakiti jika ia menerima seratus juta itu. Dia bukan pelacur yang setelah dipakai lalu dibayar dan urusan selesai.
Perlahan, ia membelai perutnya yang sudah sedikit membuncit, walau belum terlihat jelas. Apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia merawat bayi ini kelak? Sedangkan untuk merawat diri sendiri saja ia belum mampu.
Bahunya serasa ditimpa ribuan ton beban. Gadis itu meremas bajunya di dada. Ingin rasanya ia meraung, menangis sekuat tenaga yang ia bisa, berteriak selantang mungkin dan menyumpahi dunia yang tidak adil kepadanya. Tapi ia sadar, di dalam tubuhnya ada yang harus ia jaga.
Neira terus meremas erat baju di dadanya, matanya terpejam rapat, dan mulutnya terus merapal.
"Kita berdua bisa, Sayang. Aku akan menjaga kamu. Kita akan melewati semua dan menertawakan dunia."
***
Tiga bulan lalu.
Langit malam masih setia menjatuhkan buliran airnya ke bumi. Gerimis yang enggan reda, membuat Neira terjebak di gerai fotocopy tempatnya bekerja hingga pukul 22.00 wib. Padahal, jam kerjanya telah selesai sejam yang lalu.
Biasanya, ia akan menumpang teman ataupun memesan ojek online untuk pergi ke terminal, lalu melanjutkan naik angkot hingga ke kontrakannya. Tapi sialnya malam ini gerai sedang lembur, hanya dia seorang diri yang tidak mengambil lembur. Lebih parah lagi saat ini adalah tanggal tua, ia tidak punya dana lebih untuk memesan ojek online.
"Mau gue anterin ke terminal, Nei?" tanya salah seorang teman sejawatnya. Gadis itu hanya menggeleng. Bukan tidak ingin merepotkan, tapi di tengah pekerjaan yang menggunung rasanya tak etis menculik rekannya untuk mengantar dirinya.
"Engga usah, Bang. Bentar lagi reda kayaknya, sisa gerimis kecil doang."
"Naik ojek aja, pakai Gopay gue. Mau gue order sekarang?"
"Engga usah, Bang. Mau jalan kaki aja, mau mampir ke toko depan gang beli titipan bapak." Jawabnya, seraya berjalan keluar melihat langit yang mulai terang dan gerimis yang mulai reda.
Gadis itu tersenyum, akhirnya cuaca bersahabat juga untuk dirinya.
"Tinggal rintik doang. Saya pulang duluan ya."
Neira meninggalkan gerai tempatnya bekerja. Gadis itu menyusuri trotoar yang dingin. Semilir angin malam berbalut bekas hujan, membuat ia berkali-kali menggesek telapak tangannya menahan dingin.
Jalanan sangat sepi malam ini. Ada sedikit rasa takut menyelimuti hati gadis itu. Neira mengetatkan ranselnya, lalu menarik resleting jaket birunya dengan tergesa. Dia harus berjalan cepat untuk mencapai ujung gang dan menemukan keramaian.
Terlalu sibuk memasang earphone untuk mendengarkan musik agar tidak diliputi kecemasan, membuat dirinya menjadi kurang awas dengan langkahnya. Neira tersandung dan tersungkur.
"Aduh .... " Keluhnya, dia terjatuh mendarat dengan lutut. Perlahan gadis itu bangun dan berjongkok. Membersihkan telapak tangannya yang basah dan sedikit sakit. Mulutnya berdesis saat menyibak rok sekolah panjangnya, ternyata lututnya terluka. Dengan meringis kesakitan Neira meniup pelan lukanya.
"Mata kamu buta?"
Gumaman tidak jelas itu mampir di telinga Neira. Gadis itu menoleh ke belakang. Dan dia langsung menutup mulutnya.
"Astaga ... Manusia?"
Ke mana saja gadis ini, hingga baru sadar yang dia injak tadi adalah manusia?
Neira langsung bangkit dan mendekat. "Maaf." Ucapnya tergesa. Namun, tak ada jawaban.
Alisnya mengkerut saat mengamati dengan jelas siapa pria yang tergeletak di trotoar ini.
Neira memang tidak mengenal pria ini, tapi Neira sering melihat pria di hadapannya ini berkumpul dengan anak jalanan di ujung gang sana. Dulu, dia pernah berpikir pria ini adalah bandar anak jalanan, karena penampilannya yang selalu rapi dan bersih kontras dengan penampilan anak-anak jalanan yang mengerumuninya. Sampai suatu ketika pikiran buruk hilang oleh penjelasan kakek tua yang berjualan gorengan di sekitar situ.
"Dia orang baik kok, Neng. Suka borong gorengan di sini sama nasi di warteg ujung buat dibagiin ke bocah-bocah"
Pertanyaannya, sedang apa lelaki ini tidur di trotoar? Lebih tepatnya, duduk di trotoar dengan bersandar pada mobilnya. Kenapa tidak tidur di dalam mobil saja? Apa sengaja bermain hujan-hujanan?
Neira menggeleng perlahan, lalu berjongkok dan mendekatkan wajahnya.
"Iiuuuhhh .... " Gadis itu langsung mengipas tangannya di depan wajah saat mencium bau alkohol yang menyengat dari pria itu. "Mabuk?"
Gadis ini melongok ke kanan dan kiri, tidak ada seorang pun di jalan ini. Lalu dia harus meminta bantuan ke siapa?
Neira berinisiatif ke apartemen yang hanya lima ratus meter jaraknya dari tempatnya sekarang, dan meminta tolong pada siapapun yang ada di sana. Tapi baru beberapa langkah gadis itu kembali.
Ia memeriksa saku pria ini, berharap menemukan kunci mobil dan memasukkan pria ini ke dalam mobil. Paling tidak, itu lebih aman bagi si pria dari pada berada di luar mobil dengan keadaan basah kuyup. Pikir gadis itu. Tapi yang dia temukan justru cart key apartemen.
"Ck ... Dasar bego." Maki Neira. Gadis itu berkacak pinggang jengkel. Bagaimana tidak, jika yang dia temukan ternyata cart key apartemen yang akan dia tuju. Apartemen pria ini ada di dekat situ, lalu untuk apa dia malah tidur di trotoar bukanya pulang?
"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!"
Gadis itu melangkah meninggalkan tempat itu. "Bego. Memangnya orang mabuk ngerti diajak ngomong." Neira memukul kepalanya sendiri. Kenapa dia jadi ikutan bego?
________________________________________FUNFACT : Aku suka banget sama bau tanah sesaat sebelum hujan. Neira juga :) cung yang sealiran sama kita. Berpelukaaan.Pelukan hangat lima manusia itu hadir seolah perpisahan mereka begitu lama. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat kepada Ethan atas wisudanya, Agra memilih untuk mendorong kursi roda ayahnya dan berjalan di sisi ibunya. Seakan dirinya memberikan ruang bagi Neira dan Ethan untuk meluapkan kerinduan. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas tindakan cerobohnya tadi di dalam mobil. Dari sudut matanya, Agra bisa melihat jelas bagaimana dua manusia itu saling mendekap erat, atas nama kerinduan. Mendesah pasrah, Agra rela tak rela meninggalkan mereka Ethan dan Neira. Walau sejenak dapat hatinya terbersit sebuah tanya. Apakah mungkin secepat itu cinta hadir antara Ethan dan Neira? Wajah-wajah bahagia tampak jelas di sana. Ethan yang berbinar di sepanjang bercerita dengan Neira. Pun wanita itu yang selalu terlihat bersemu sejak dari bandara hingga kini mereka sudah akan tiba di rumah. Ayah dan ibu tak jauh berbeda, sesekali tergelak menimpali cerita Ethan dan Neira. Hanya Agra yang just
Langit cerah hari ini, secerah wajah Neira yang sudah tidak sabar bertemu dengan Ethan. Kini dirinya sedang berada di dapur, menyiapkan beberapa hidangan sarapan untuk diletakkan di atas piring. Entah kenapa, hatinya berbunga saat semalam Ethan mengabarkan hari ini mereka akan pulang. Mungkin karena rindu pada ibu dan bapak, atau mungkin juga dirinya merasa kembali terlindungi saat Ethan sudah berada di dekatnya. "Hari ini bapak sama ibu pulang ya, Mas?" tanya Mak Oni ketika menata sarapan di meja makan. Ada Agra di sana, duduk sendirian sedang membaca koran menanti sarapan siap. "Iya, nanti sore. Mak kok tau? Mami ngabarin?" Agra menurunkan korannya. "Bukan, Neira tadi kasih tau. Katanya semalam Mas Ethan ngabarin mau pulang.""Oh, Neira. Mak mau ikut saya jemput ke bandara?" Agra tersenyum melihat Mak Oni yang kegirangan atas penawarannya. "Duh, pengen banget Mas, tapi kerjaan Mak Oni masih banyak. Beresin kamar ibu, Mas Ethan, duh masih numpuk pokoknya. Nanti oleh-olehnya aja y
Agra susah payah menggendong Neira memasuki rumah. Wanita itu tertidur pulas saat perjalanan pulang. Dengan berat badan Neira yang berbadan dua, dan kondisi cidera Agra yang sebenarnya belum sepenuhnya pulih, lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak tenaga. Jarak kamar Neira yang jauh di rumah bagian belakang dan harus melewati dapur, membuat Agra enggan mengantar wanita itu ke sana. Mau tak mau ia merebahkan wanita itu di kamar miliknya. Toh, wanita itu sudah pernah tidur di kamarnya, harusnya tak masalah dan tak akan marah saat nanti ia terbangun. Berpeluh keringat dan napas ngos-ngosan. Agra menghirup oksigen banyak-banyak setelah beban di lengannya itu hilang. Sumpah demi apa pun, lengannya benar-benar kebas sekarang. Setelah mengatur suhu AC, Agra menyelimuti Neira. Entah kenapa, wajah pulas Neira yang begitu polos membuat sudut bibir Agra tertarik ke atas dengan sendirinya. Menutup pintu perlahan, Agra meninggalkan Neira. Ia butuh minum! Namun, yang tidak Agra tahu, setelah
Gambar layar bergerak beraturan, menunjukan sesosok bayi cantik di sana. Bahkan sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya. Baru kali ini Agra melihat langsung USG 4 dimensi kandungan Neira. Tak dapat dipungkiri, hatinya terenyuh. Bahkan saat suara detak jantung si kecil itu mulai terdengar di audio ruang periksa, jantung Agra berdetak berkali lipat kencangnya. Pelupuk matanya sempat panas dan berkaca, saat senyum si kecil mengembang jelas. Hidung, bibir, dagu, terlihat sama persis dengan milik Agra. "Wah, ini cetakan bapaknya ya. Ibunya tidak kebagian," canda dokter kandungan yang masih dengan telatennya menelusuri perut Neira dengan alat USG. Neira tersenyum kikuk, begitupun dengan Agra. Bagaimanapun mereka bukan sepasang suami istri yang sedang dengan gembira menanti si calon buah hati. Jadi jangan harap akan ada reaksi hangat dan suka cita yang berlebihan, apalagi mesra, saat melihat si kecil ada di sana. "Sehat kan, Dok?" tanya Agra, memecah kekakuan di antara mereka. "Seha
Pagi menyingsing. Mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Namun, sejak selesai subuh tadi Agra sudah bergegas pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Berbekal naik sepeda kayuh yang biasa Mak Oni pakai, Agra menikmati paginya dengan penuh suka cita. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak menikmati aktivitas semacam ini. Sendal jepit, celana pendek selutut, kaos putih polos presbody, tak lupa topi hitam kesayangannya dulu waktu masih berkuliah, menjadi outfit ternyaman yang ia kenakan. Agra tidak terlihat kikuk sama sekali. Beberapa pedagang justru masih mengenali Agra yang dulu acap kali ikut berbelanja bersama Ratih. Tak lupa, ia mampir ke tempat bubur kacang hijau langganannya sewaktu dulu. "Mang, sehat?" sapanya ketika baru memarkirkan sepeda di dekat gerobak bubur yang biasa mangkal di depan pasar itu. "Weh, Mas Agra. Lama tidak kelihatan." "Iya, Mang. Bubur satu ya, Mang." Agra berbegas mengambil kursi untuknya duduk. Menghirup udara pagi dalam-dalam,
"Kamu baik-baik aja di rumah?" Suara di seberang sana tampak sedikit lesu. "Hemm ...." Neira menjawabnya dengan bergumam. Matanya lelah dan ia sedikit lagi sudah akan terlelap. "Jangan capek-capek ya. Tidak ada Mak Oni di rumah, bukan berarti kamu harus kerjain semua hal sendiri." "Iya. Engga diforsir kok, Kak." "Agra tidak bikin ulah, kan? Larasati pernah datang?" ... Ada jeda, entah mengapa Neira justru terdiam saat Ethan bertanya tentang Agra. Ulah? Neira sedikit ambigu mencerna kata itu. "Kok diam? Kalian tidak terlibat pertengkaran lagi, kan?"______"Nei?" "Ah, iya. Apa, Kak? Maaf, Nei ketiduran." Neira tergagap. Alasan klise yang sedikit geli untuk di dengarkan, bahkan oleh dirinya sendiri. "Udah mau tidur ya? Padahal aku masih kangen mau ngobrol." "Kangen?" Pertanyaan yang entah Neira lontarkan untuk dirinya sendiri atau untuk Ethan. Dan seolah Ethan sadar, bahwa ia telah kelepasan bicara. "Eh, engga. Maksud Kakak, masih mau ngobrol sama kamu tanya keadaan. Waktunya US
"Tidak perlu khawatir. Bukan cidera parah, tapi memang butuh istirahat yang cukup." "Kemarin sempat demam lho, Dok," ucap Neira saat mengantarkan Dokter Arifin menuju teras rumah. Ia sengaja memanggil dokter pribadi keluarga Bagaskara itu hari ini untuk memeriksa keadaan Agra. Walau sebenarnya yang sakit menolak, tapi Neira tidak ingin tiap malam deg-degan karena tidak tahu separah apa kondisi Agra sebenarnya. Dokter Arifin tersenyum. "Wajar kok, Nei. Memang tidak bisa dikatakan cidera ringan, tapi juga bukan cidera berat. Demam biasanya terjadi karena tubuh Agra mengalami trauma pasca kecelakaan. Pastikan saja Agra cukup istirahat dan menghabiskan obatnya. Nah, yang satu ini kamu harus sedikit berusaha lebih keras. Agra sulit kalau disuruh minum obat. Oh, iya. Perbannya jangan lupa diganti ya, dua hari sekali jika tidak basah." Dokter Arifin menghentikan langkahnya, ia sudah sampai di ujung teras. "Neira usahakan, Dok. Sekali lagi terima kasih. Benar kan, Dok saya tidak perlu mem
Gerimis mendera malam ini. Sudah pukul sebelas malam, tapi Neira masih terjaga. Ia berbaring miring dengan gelisah, entah kenapa hatinya ingin sekali melihat Agra. Walau akal sehatnya berkata 'Jangan!'. Ia jengah dengan kegelisahan dan akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia jadi begitu peduli yang berlebihan pada Agra? Neira mengembuskan napas sebal. Membelai perutnya yang buncit, mungkinkah efek bawaan bayi? Tak mau larut dalam kegelisahan yang berujung tidak dapat tidur nyenyak, Neira meraih sweeter hitam tipis miliknya untuk membalut daster yang ia kenakan. Peduli setan dengan harga diri, ia akan menemui Agra. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan kamarnya, keraguan itu mendera. Neira meraih ponsel di saku dasternya, membuka kembali pesan yang tadi sore ia dapatkan dari Ethan. Jelas Ethan menuliskan di sana agar Neira menjaga jarak dengan Agra. Namun, sekarang kondisinya tidak sama. Haruskah ia tidak peduli pada Agra yang sedang tert
"Mak ... " Neira merengek di hadapan mak Oni yang kini sedang bersiap packing di kamarnya. "Masa Nei harus berdua aja di rumah sama mas Agra, Mak?"Mak Oni membuang napas berat, menatap iba pada Neira. "Mak juga kalau bisa engga pulang kampung, Nei. Rencananya kan nanti setelah ibu pulang, baru Mak pulang kampung, tapi cucu Mak udah brojol duluan gini mau bagaimana?" Mak Oni menarik resleting tasnya. Packing telah usai. "Mantu Mak yatim piatu, engga punya keluarga sama seperti kamu. Anak Mak baru bisa pulang tiga hari lagi, kan kasian menantu Emak, Nei. Sekarang di rumah sakit, cuma ditunggu sama tetangga." Mak Oni menggeser tubuhnya mendekat pada Neira. Wanita tua itu menyampirkan helaian rambut Neira yang terjatuh dekat mata, lalu menggenggam erat tangan Neira. "Mak udah cerita, kan? Cucu Mak yang pertama baru umur 4 empat tahun, pasti kamu bisa bayangin gimana paniknya menantu emak. Anaknya di rumah sendiri sama tetangga, dia sendiri bangun saja susah karena melahirkan Caesar. Mas