"Aku ... Mau kita berakhir."
Petir itu datang di pagi buta untuk Agra. What the hell! Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah mereka sedang merayakan hari jadi?
Agra terdiam. Wajah bingung itu tidak bisa Agra sembunyikan. Hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran sebulan ini, bahkan semalam mereka masih beradu kehangatan di atas ranjang, dan sekarang wanita di hadapannya ini mengunginkan____ PUTUS? Setelahnya, Agra tertawa keras seperti orang gila.
"Ya ampun, Sayang. Becanda kamu itu enggak lucu. Sumpah deh, enggak kayak gini kalau mau ngerjain aku." Agra berkata masih dengan sisa-sisa tawanya.
"Aku mau menikah, Gra," lirih suara Larasati yang hampir ia telan sendiri.
Tawa Agra terhenti. Menatap lurus ke arah Larasati.
Aroma petrichor menambah suasana sendu sore itu, mengiringi hati dua orang yang kini sedang berhadapan dengan wajah yang sama murung.Agra dan Neira. Duduk berhadapan dibatasi oleh meja kayu jati panjang di teras belakang. Neira menunduk, matanya kosong menatap secangkir teh dalam genggamannya.Lelaki itu, tiba-tiba saja mengajaknya berbicara empat mata. Neira tahu, ke arah mana pembicaraan mereka akan bermuara. Tak akan jauh dari pengusiran Agra atas kehadirannya di rumah ini."Saya akan menikah. Tentunya bukan dengan kamu, melainkan dengan seseorang yang sudah lama saya cintai. Saya harap kamu cukup tahu diri dan tahu apa yang harusnya kamu lakukan. Saya tidak mau semua jadi rumit hanya karena kamu ada dalam keluarga ini."Kalimat yang terdengar sangat terhormat. Namun, mencabik Neira bagai sampah menjijikkan
Bau cat menyeruak menusuk hidung, ketika Agra memasuki ruang apartemen. Sejenak, ia menatap lengang ruangan ini. Ruang demi ruang yang ia pugar untuk menyambut kedatangan Larasati kembali dalam hidupnya.Dulu, apartemen ini begitu monoton. Hanya ada warna brown, abu, hitam, dan putih. Begitu monokrom dan maskulin. Tapi kini, Agra sengaja merenovasinya agar sedikit lebih manis. Menambah beberapa interior yang sedikit feminim dan juga sentuhan warna-warna cerah.Perlahan, jemarinya menelusuri bantal sofa berbulu warna baby pink. Larasati sendiri yang memilihnya minggu lalu. Agra beranjak, berdiri tertegun di depan bufet besar warna putih tempat home teaternya diletakkan. Berjajar cantik frame foto mereka berdua. Matanya menjelajah pada vas bunga transparan di atas meja berisi setangkai mawar putih kesukaan Larasati, lalu pada hordeng mewah paduan warna putih,
Setiap orang memiliki titik balik dengan hidupnya. Begitupun dengan Neira. Ia tidak boleh terus seperti ini, hidup dengan masa depan yang tidak jelas.Neira memandang pantulan dirinya yang ada di cermin. Titik matanya fokus pada perutnya yang membuncit, ia tersenyum simpul. Sudah banyak yang ia korbankan. Dia ... Telah banyak kehilangan. Kini, jika ada hal yang harus dia korbankan lagi, itu adalah dirinya sendiri. Bukan anaknya. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan, adalah mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Selebur apapun nanti dirinya, ia____ tidak boleh menjadi satu-satunya orang yang tersakiti.Bingkai bibir merahnya mematri senyum penuh kebencian. Dagunya terangkat, tegas memandang pantulan wajahnya yang berada di cermin. Rambut bergelombangnya yang terbiasa terkuncir, kini tergerai indah. Polesan riasan yang selama ini menjadi momok bagi dirinya, mulai saat ini akan menjadi sahabat
Dalam langkah yang tenang dan anggun itu. Sungguh, hatinya sebenarnya remuk redam. "Bayi kamu." Kata yang keluar dari mulut Agra itu memang tidak salah, bayi dalam perutnya ini memang adalah bayinya. Tapi kata-kata itu benar-benar menyakiti hatinya. Kata sederhana untuk sebuah penolakan.Ia mendongak ke langit. Seolah apa yang ia lakukan itu mampu membendung air matanya yang hendak menetes. Hingga satu tarikan pada lengannya menyadarkan Neira, bahwa lelaki berengsek itu sekarang sudah ada di sampingnya.Agra, memojokkan Neira hingga punggung wanita itu membentur pintu mobil."Maksud kamu apa?" tanya Agra pelan, tapi dalam."Dari sisi mananya yang belum jelas?" Neira, tak ragu lagi untuk menatap lurus ke arah manik mata milik Agra."Saya mencoba peduli sama kamu. Dua kali saya beri kamu cek untuk melanjutkan hidup. Kamu menolak._____Sekarang, saya menawarkan kehidupan ya
Semua tak lagi sama. Entah apa yang berbeda, tapi bersama Larasati malam ini sungguh terasa hambar dan kosong. Agra seperti layangan putus, tidak tahu ke mana arah hatinya berlabuh. Bukankah di hadapannya ini adalah wanita yang ia impikan dan idamkan? Wanita yang ia cintai selama ini?Agra hampir tidak paham dengan semua yang diucapkan Larasati, ia hanya bisa tersenyum merespon semuanya. Hatinya, otaknya, fukusnya, entah kini berada di mana."Kamu lagi banyak pikiran?" tanya Larasati yang hanya disambut gelengan dan senyum. Lelaki itu berusaha menghiburnya dengan usapan lembut di pipi Larasati. Tapi tentunya Larasati bukan perempuan bodoh yang bisa dengan mudah dibohongi. Instingnya sebagai perempuan, tahu persis ada yang tidak biasa dari Agra."Kamu dari tadi diem aja, enggak seperti biasanya. Pikiran kamu lagi enggak di sini."
"Kamu mau minum apa? Air putih atau air mineral?"Pertanyaan macam apa itu? Apa bedanya air putih dengan air mineral? Neira memutar bola matanya. Agra yang bertanya, jadi menghentikan aktivitas catat mencatat menu orderan makan siang karena yang ditanya hanya diam. Lalu bertopang dagu melihat ke perempuan yang ada di depannya ini."Pertanyaan macam apa itu? Senormalnya orang itu bertanya yang beda rasa. Mau es teh atau es jeruk? Mau jus atau air mineral?" ____ Neira berceloteh tanpa peduli tatapan gemas Agra. Tangan kanan dan kirinya bergantian memperagakan pilihan antara es teh dan es jeruk, jus dan air mineral, dan berbagai merk minuman yang ia sebutkan.____"Kalau air putih dan air mineral, apa beda rasanya coba?" Neira mengedikkan dagu sebagai protes."Bedanya ..." Agra menopang kedua tangannya pada meja_____"Air putih bisa saja hangat. Kalau air mineral sudah pasti dingin. Jadi mau yang mana?""Es teh.""Enggak boleh!""Ih ... Tadi nanya, sekarang dijawab malah enggak boleh. Terus
"Kamu sama mas Agra tuh, sebenarnya ada apa sih?" tanya mak Oni pada Neira yang sedang rebahan di saung belakang rumah. "Ada apa memangnya, Mak?" Alih-alih menjawab, Neira justru bertanya balik. Ia bangkit duduk, menoleh pada mak Oni yang sedang membersihkan kolam ikan. "Mak memang sudah enggak muda. Tapi justru karena Mak udah tua, jadi banyak makan asam garam. Mak juga pernah muda, tahulah urusan anak muda bagaimana.""Asem sama garam kalau dicampur memang enak sih, Mak. Seger. Kayak asinan.""Ih, kamu ini. Mak serius lho, Nei." Mak Oni melotot ke arah Neira yang masih cengengesan di atas saung. "Walau keluarga Bagaskara baik sama kita, tapi kita tetap harus bisa tahu diri. Mak cuma takut kamu salah paham sama mas Agra dan berharap lebih." Neira rasanya tertohok. "Mas Agra memang baik, dia enggak akan mempermainkan wanita. Tapi kamu tahu sendiri, mas Agra sudah punya mbak Laras. Jadi jangan sampai kamu baper," kata Mak Oni mengakhiri ceramah siangnya. Ia meletakkan serok ikan, l
"Kamu ngapain ke sini?" sembur Ratih saat melihat anaknya datang."Papah yang telepon Agra. Minta Agra jemput Mami, takut bawa belanjaannya banyak. Lagian kenapa engga bawa mobil sih, Mi?"Agra menyerobot duduk di bangku depan Neira. Agra belum tahu jika bangku kosong di sebelahnya adalah milik Larasati. Wanita itu sedang ke toilet."Mami belum ganti kaca mata, udah burem."Agra hanya mengangguk."Kamu mau makan?"Agra menggeleng. "Mami masih makan? Kalau sudah selesai pulang, yuk.""Bentar, yang punya bangku di samping kamu belum balik. Lagi ke toilet." Agra melongok ke sebelah, kenapa dia baru sadar ada piring makan milik orang di sebelahnya."Siapa, Mi?""Aku," jawab Larasati di belakang Agra. Sontak Agra menoleh. Dia tidak tahu bahwa Larasati dengan maminya akan bertemu. Larasati mengambil duduknya kembali."Wahhh ... Kok Agra engga tahu ya, Mami janjian sama Larasati ketemuan." Agra melirik ke arah Ratih penuh curiga."Lho ... Laras yang mengajak Mami bertemu, iya, kan Laras?""Iy