Share

Bab 06. Sifat yang Berbeda

"Maaf, aku hanya cemas."

Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya.

"Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."

Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"

Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana.

"Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah.

"Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?"

"Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya keluar dari kamar mandi.

"Hei, aku tidak menyuruhmu mebawaku ke sini."

Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan olehnya. Menghentikan gerakan kursi roda di dekat lemari pakaian, aku mengambil satu stel baju santai milik Mas Hamish, lantas meletakkannya di atas ranjang.

"Sekarang lepas pakaianmu!"

"Jangan mengaturku! Ingat, kau hanya pelayan."

"Ganti pakaian, atau aku akan berada di sini mengawasimu dua puluh empat jam." Aku mengancamnya.

"Ckk, wanita gila! Aku akan menyuruh Ibu untuk memecatmu."

"Silakan! Aku tidak takut."

"Kau!"

"Mau sampai kapan memberontak seperti anak kecil?"

"Aku bukan anak kecil. Jaga ucapanmu!"

"Lalu apa?" Aku sengaja menginterupsi setiap kata yang diucapkan Mas Hamish. "Kamu nggak malu sama Ibu, merepotkan beliau terus?" Okey, jika cara halus tidak bisa. Mungkin aku akan menggunakan cara yang sedikit keras. "Kamu udah dewasa, Mas! Bukan remaja lagi. Jangan bersikap kekanak-kanakan dengan selalu bertindak semaunya. Apa yang kamu lakukan sangat tidak sesuai dengan usiamu yang sudah kepala tiga."

Terlihat tak terima, Mas Hamish seperti ingin menyergah kalimatku. "Kepala ... tiga?" Namun, hanya itu yang akhirnya keluar dari bibirnya.

"Saat kamu tak sadarkan diri selama tujuh hari, Ibu terus-menerus menangisimu. Ibu tidak pernah lelah menjagamu, mendoakanmu, melakukan banyak hal agar kamu bisa sembuh. Termasuk ... memintaku mengurusmu."

"Tapi aku tidak menyukaimu!" Kalimat itu akhirnya terucap begitu ringan dari bibir suamiku. Kalimat yang tentunya sangat menyakiti perasaanku. Andai dia hanya melupakanku, aku masih bisa menolerirnya. Namun, dia sampai tega mengatakan tidak menyukaiku, padahal sebelum ini selalu menyanjungku cukup menurunkan kepercayaan diriku.

"Aku tahu," kataku lirih. Tak ingin mendebatkan masalah perasaan yang nantinya hanya akan menambah rasa sakit di hatiku.

Strata sosial kami cukup senjang. Mas Hamish memiliki orang tua berada, dan dia juga memiliki usaha Coffe shop yang tersebar diberbagai kota. Sementara aku hanyalah seorang mantan tour guide yang tidak memiliki apa-apa.

Aku memang tidak menemani Mas Hamsh merintis usahanya dari nol, tetapi selama ini aku ikut andil dalam menjalankan usaha itu sehingnga setelah tahun kedua pernikahan kami, coffe shop Mas Hamish berkembang pesat dan memiliki cabang di berbagai kota, dan semuanya ramai.

"Siapa sebenarnya kau, Aira? Mengapa Ibu percaya sekali padamu?"

Hampir saja aku mengaku andai aku tak memikirkan kesehatan suamiku. "Aku sudah dianggap Ibu anak sendiri."

"Menganggapmu sebagai anak?" Mas Hamish tertawa mengejek. "Pasti kau sengaja mendekati ibuku, kan? Apa orang tuamu mengajarimu begitu?"

Aku tak percaya Mas Hamish mengatakan hal seperti itu.

"Aku yatim piatu," kataku menegaskan. "Aku ... berasal dari panti asuhan."

Mas Hamish terdiam. Saat dia menatapku, aku memalingkan muka, menyembunyikan mata yang sudah berembun, tak tahan untuk mengalirkan buliran jernih yang sudah nyaris memenuhi kelopak mata.

"Ganti pakaianmu!" Tanpa melihatnya aku bicara. "Dan di sana--" Aku menunjuk tablet dan air minum yang sempat kubawa. "--setelah selesai ganti baju, minum obatnya. Aku tidak mengganggu lagi."

Tak lagi menunggu jawaban dari Mas Hamish, aku langsung pergi meningalkannya. Di saat kaki menapak lantai di luar kamar, air mataku menetes tanpa bisa dicegah.

Sebelumnya hatiku cukup terluka dengan Mas Hamish yang tidak mengenaliku, tetapi justru menginginkan Sofi. Dan sekarang dia mempertanyakan attitude orang tuaku padahal aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka. Aku memang tidak mengenal ibu yang telah melahirkanku. Beliau meninggal setelah melahirkanku. Sementara Ayah menghadap Yang Kuasa saat aku masih berada dalam kandungan.

Apa salah jika aku terlahir tanpa orang tua? Itu semua bukan kesalahan dan keinginanku, bukan?

***

Pagi itu, rasanya perutku mendadak mual tak bisa menahan gejolak aneh yang berada di dalam lambung. Memang secara umum, wanita yang tengah hamil muda sering mengalami morning sickness, dan hal itu adalah wajar. Selama ini, aku belum pernah mengalaminya. Namun, berbeda dengan pagi ini, hal itu terjadi padaku.

"Non, Biar Bibi saja yang mengurus Tuan. Non pucat sekali hari ini. Lebih baik istirahat saja dulu."

Aku memillih duduk dengan menggeret barstool, meminta Bi Rumi untuk membuatkan minuman hangat untukku. "Istirahat sebentar, ya, Bi! Nanti kalau sudah mendingan Mas Hamish biar Aira yang ngurus."

Segelas wedang jahe diletakkan di atas meja bar, tepat di depanku. "Istirahat yang lama juga nggak papa kok, Non. Tuan nanti biar Bibi yang ngatasi."

Senyuman tipis tersungging di bibirku demi menghargai bantuan Bi Rumi. "Makasih, Bi!"

Aku membawa wedang jahe itu ke kamar tamu, yang mana saat ini menjadi kamar pribadiku. Aku merebahkan tubuh sebentar untuk melepaskan rasa pusing serta menenangkan lambung yang sejak tadi bergejolak setelah mengeluarkan semua isinya. Baru saja mataku hendak memejam, ponselku berbunyi. Aku segera menjawab panggilan usai melihat siapa yang sedang menghubungiku.

"Assalamualaikum, Ibu."

Terdengar jawaban salam dari seberang sana. Ibu mertua yang menghubungiku. "Aira, Ibu sudah mencarikan suster untuk membantumu merawat Hamish. Nanti Ibu kirimkan data dirinya biar kamu yang pilih."

"Tapi, Bu. Aira masih bisa mengurus Mas Hamish sendiri. Hanya ini yang bisa Aira lakukan agar Mas Hamish tetep dekat dengan saya dan calon ananya." Sejak awal aku bertekad mengurus Mas Hamish sendiri. Aku tidak ada pilihan lain, bagaimana cara agar Mas Hamish bisa mengenalku lebih jauh, mau berinteraksi denganku. Aku masih sangat yakin jika cintanya yang dulu untukku masih ada. Tidak mungkin semudah itu hilang berganti kebencian yang tidak mendasar.

"Aira, tadi Ibu sempat menghubungi Bi Rumi. Bi Rumi bilang kamu sedang sakit. Kamu habis muntah-muntah sejak pagi. Ibu hanya tidak ingin kamu terlalu lelah mengurus Hamish, lalu melupakan kondisi kandunganmu saat ini."

Aku mengeusap perutku yang belum kentara. Bukan aku tidak menyayangi anakku. Tentu saja dia adalah hartaku yang paling berharga. Namun, usahaku ini juga untuk masa depan anak yang berada dalam kandunganku, agar papanya mengingat dan menyayanginya.

"Nggak papa, kok, Bu. Aira baik-baik saja. Hanya mual sedikit. Masih ada Bi Rumi yang membantu mengurus Mas Hamish saat Aira sakit. Jadi, suster itu menurut Aira tidak perlu."

Mungkin aku memang terlihat keras kepala. Tenagaku memang tidak sekuat saat aku belum hamil. Sekarang rasanya untuk berdiri saja pusing sekali, tetapi aku tidak boleh membuang kesempatan untuk menjaga Mas Hamish.

"Kamu yakin?"

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih sudah mau mengerti."

Aku dengan jelas mendengar embusan napas Ibu dari seberang sana. "Baiklah, Ibu tidak memaksa. Tapi jika kamu butuh bantuan, segera hubungi Ibu. Ibu nggak mau terjadi sesuatu terhadap kalian."

Panggilan berakhir. Aku menghela napas sekali. Seharusnya masalahnya tidak akan serumit ini andai aku bisa langsung berterus terang kepada Mas Hamish mengenai hubungan kami. Akan tetapi, melihat bagaimana dia begitu tidak menyukaiku, dan bahkan tidak segan melukai perasaanku, aku yakin dia akan semakin membenciku, juga anak yang berada dalam kandunganku jika mengetahui semuanya.

"Bi, siapa sih yang masak? Apa Aira? Mengapa rasanya begini?"

Entah sudah berapa lama aku tertidur, sayup-sayup mendengar suara teriakan Mas Hamish. Tidak biasanya suamiku itu marah-marah soal makanan. Apalagi aku rasa masakan Bi Rumi juga tidak buruk, sangat layak dimakan. Aku memang sempat mencicipinya tadi sebelum beristirahat. Pagi ini aku benar-benar tidak bisa melakukan tugasku dengan baik seperti hari biasanya.

"Maaf, Tuan. Ini tadi Bibi yang masak. Non Aira sedang sakit."

"Sakit gimana? Semalam dia baik-baik saja. Kalau dia sudah nggak mau kerja di sini, mending pergi sekalian."

Kalimat itu rasanya langsung menerjang di ulu hati. Tega sekali Mas Hamish bicara seperti itu. Aku sampai tidak bisa mengenali suamiku yang sekarang. Perangainya sangat jauh berbeda saat kami pertama kali bertemu dulu. Apa sebelumnya Mas Hamish memang memiliki sifat yang buruk sebelum kecelakaan lima tahun lalu, sehingga Ibu mengatakan Mas Hamish menjadi pribadi yang baru setelah mengalami kecelakaan itu?

Rasa pusing di kepalaku sedikit lebih baik. Mengambil kerudung instan, aku keluar dari kamar untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.

Mereka sedang berada di meja makan. Padahal jarak meja makan dengan kamarku cukup jauh, tetapi suara Mas Hamish terdengar menggelegar sampai ke dalam. Aku yakin jika lelaki itu sengaja melakukannya agar aku mendengar semua pembicarannya.

"Ada apa, Bi? Apa Mas Hamish tidak mau makan?"

Bi Rumi yang melihatku langsung mengangguk. Aku melangkah mendekatinya, melihat piring Mas Hamish yang seperti sengaja dijauhkan dari hadapan lelaki itu.

"Mengapa tidak makan?" Tanpa basa-basi aku menanyai suamiku langsung.

"Tidak enak masakannya."

Aku menghela napas, berusaha bersabar. Lalu mencoba mencicipi masakan itu sekali lagi. Tidak ada masalah, Semuanya baik. "Baunya tidak enak. Bikin mual." Mas Hamish melanjutkan kalimatnya.

"Apa?"

Aku semakin bingung dengan perkataannya. "Coba rasakan sekali lagi! Kalian berdua bisa masak yang benar nggak, sih? Masakannya masih mentah. Masih bau bawang putih. Bikin mual saja!"

Aku dan Bi Rumi saling pandang. Sejak kapan Mas Hamish tidak menyukai bau bawang putih dalam masakan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status