Share

Bab 05. Kembali Pulang

"Lepaskan yang di sana juga!"

Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.

Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.

Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.

Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka.

"Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah dariku.

Aku memandang foto dengan ukuran besar yang terpasang di ruang tamu. Foto pernikahanku dengan Mas Hamish. Di sana Mas Hamish terlihat tampan, mengenakan stelan formal dengan tangan melingkar di perutku. Tak lupa juga tatapannya yang begitu teduh, tampak memancarkan aura kebahagian.

Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kemudian, berusaha menahan nyeri di ulu hati. "Lepaskan semua! Ganti saja dengan foto yang baru."

Foto muda Mas Hamish sengaja aku cetak beberapa untuk mengantikan foto-foto kami yang memang sangat banyak dipasang di berbagai sudut ruangan.

Kini rumah ini tampak berbeda. Tiada lagi pigura pernikahan. Tidak ada lagi fotoku dan Mas Hamish bersama. Semua berubah demi menyambut kedatangan suamiku siang nanti.

Tepat pukul dua belas siang, di saat baru saja aku selesai menyiapkan makan siang untuk menyambut kedatangan Mas Hamish dan kedua mertuaku, terdengar suara bel berbunyi. Buru-buru aku keluar, memasang wajah ceria demi menyambut suami dan mertua.

Mereka datang tepat waktu. Aku menyalami Ayah dan Ibu terlebih dulu, lalu ... Mas Hamish. Seperti yang bisa aku duga, lelaki itu mengabaikan uluran tanganku.

"Ayo, masuk. Silakan!" Walau hati perih, aku harus tetap bersikap baik.

Ayah mendorong kursi roda Mas Hamish, sementara Ibu menghampiriku. "Mengapa foto-foto kalian tidak ada?" Beliau berkata setengah berbisik.

"Aira yang melepaskannya, Bu." Aku menjawab lemah. "Aira takut Mas Hamish kenapa-kenapa saat melihat foto kami. Padahal dia tidak mengingat apa pun tentang kami."

Telapak tangan Ibu mengusap kepalaku. "Semoga Hamish cepat sadar dan mengingat semuanya. Ibu tidak rela jika kamu disakiti oleh dia."

"Amiin." Aku tersenyum lantas mengajak Ibu masuk. "Langsung makan atau salat dulu?"

"Sudah waktunya, ya. Sebaiknya kita salat dulu." Ibu menghampiri Ayah yang baru saja duduk di sofa tamu. "Yah, kita salat jamaah dulu. Hamish juga!" ucap Ibu sambil menatap Mas Hamish.

Kini kami berada di musollah dengan Ayah mertua menjadi imam salat. Biasanya Mas Hamish yang melakukannya saat kedua mertuaku datang, tetapi kali ini digantikan perannya oleh Ayah. Walaupun sikap Mas Hamish masih sangat dingin, tetapi atmosfer ketika salat jamaah berlangsung membuat semuanya berbeda. Tetes demi tetes air mata tak kuasa aku tahan. Aku merindukan beribadah bersama suamiku. Dan saat ini ketika pertama kali dia menjejakkan kaki di rumah ini, keinginanku dikabulkan.

Kalimat salam mengakhiri salat kami. Dan ditutup oleh doa bersama. Aku melihat punggung tegap yang berbalut baju koko itu dengan sayu. Punggung yang biasa mengajakku salat malam sambil bermunajat meminta dikabulkan hajat mendapatkan keturunan. Bibirku tanpa sadar mengulum senyum. Semoga suatu saat aku bisa melihat punggung itu lagi dalam keadaan memimpin salat malam bersamaku.

Mas Hamish mencium punggung tangan Ayah dan Ibu secara bergantian. Aku pun melakukannya, mencium punggung tangan Ibu saja. Aku masih sadar diri untuk tidak mengusik Mas Hamish sama sekali.

***

"Bagaimana, Nak, enak enggak masakannya?" Ibu bertanya saat kami berada di meja makan.

Mas Hamish mengangguk-angguk tanpa menjawab dengan suara. Mulutnya masih penuh dengan makanan. Aku tersenyum senang.

"Aira memang pandai masak. Kamu akan betah kalau setiap hari dimasakin Aira."

Di detik kalimat Ibu selesai diucapkan, Mas Hamish langsung terbatuk-batuk. Aku dengan sigap langsung mengangsurkan air putih untuknya, menepuk-nepuk punggungnya. Namun, dia menepis tangan dan bantuanku.

Mas Hamish menuangkan air pada gelasnya sendiri lalu meminumnya sampai gelasnya kosong. "Nggak enak. Hamish udah kenyang, Bu."

"Loh, kok? Tadi bukannya kamu lahap sekali makannya?"

Mas Hamish menggeleng. "Nggak, biasa aja. Hamish lahap karena lapar. Padahal masakannya biasa aja. Hambar!"

Aku menunduk, berusaha tidak memasukkan kata-kata Mas Hamish ke dalam hati. Bagaimanapun Mas Hamish bukanlah pria jahat. Aku tidak mungkin membencinya karena semua yang dilakukan lelaki itu bukan sepenuhnya kesalahannya.

Aku menggenggam tangan Ibu saat beliau hendak membelaku. Aku gelengkan kepala, berharap Ibu tidak melanjutkan perdebatan.

"Kenapa harus dia sih, Bu? Nggak ada asisten rumah tangga lain apa?" Mas Hamish memprotes saat Ibu memberitahu rencana kami.

Ya, aku mengaku sebagai "pelayan" dan bertugas untuk melayani semua kebutuhan Mas Hamish. Mungkin Mas Hamish memang mencintai Sofie untuk saat ini. Namun, aku berharap dengan selalu berada di sampingnya, aku bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayangnya lagi.

"Sudahlah, Nak! Aira itu yang terbaik. Dia pandai masak. Pandai berberes. Pokoknya Ibu nggak menemukan kandidat lain yang lebih bagus dari Aira."

Mas Hamish menggeleng. Tetap tidak setuju. "Tapi, Bu, ini kan rumah Hamish. Masak Hamish harus tinggal berdua dengan dia. Bukan mukhrim, Bu."

"Kalian memang tinggal di rumah yang sama, tapi tidak sekamar. Lagian juga masih ada pelayan lain di sini seperti Bi Rumi, dan Pak Priyo. Udahlah, nggak usah banyak protes kamu. Masak kamu tega nyuruh Ibu yang sudah tua ini ngurusin kamu?" Ibu justru memarahi Mas Hamish. Aku hanya bisa menatap perdebatan antara ibu dan anak itu.

"Tapi nggak harus dia," ucap Mas Hamish lesu.

"Sudahlah, Bu!" Ayah mertua menengahi perdebatan. "Sebaiknya kita pulang. Lagi pula Hamish sudah ada yang mengurus. Nak Aira, Ayah pulang dulu."

Aku mengangguk, lalu menghampiri kedua mertua, mencium punggung tangan mereka secara bergantian. Mas Hamish tampak tidak rela melihat kedua orang tuanya pergi dan meninggakannya di rumah ini bersamaku.

"Nggak usah sok akrab sama orang tuaku!" Mas Hamish berkata sembari menggulirkan kursi rodanya menjauh.

Aku mengikutinya. Kamar utama berada di lantai satu; kamarku dan Mas Hamish. Namun, kali ini hanya dipakainya sendiri. Aku tidur di kamar tamu selisih dua ruangan dengan kamar utama.

"Di sini, Mas, kamarnya!" Aku membantunya membuka pintu kamar, tetapi tanggapannya sangat ketus.

"Aku bisa sendiri. Lagi pula ini rumahku. Jangan berlagak seperti kamu yang punya rumah."

"Aku hanya membantu."

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu! Jangan pikir karena kedua orang tuaku menyukaimu, jadi kamu bisa berlagak seperti majikan. Ingat, ya! Kau akan segera pergi dari rumah ini karena aku akan mencari pelayan baru, yang lebih profesional darimu."

"Aku akan tetap di sini," kataku tegas.

Ini adalah caraku mempertahankan suamiku. Tidak mungkin aku membiarkan orang lain, terutama seorang wanita yang akan merawatnya, dekat dengannya. Anggap saja aku posesif, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menyelamatkan rumah tanggaku agar tetap utuh seperti sedia kala.

"Ini rumahku," kata Mas Hamish. "Dan aku berhak mengusir siapa pun yang aku inginkan! Termasuk kau!"

Aku tidak tahu mengapa Mas Hamish begitu membenciku. Sejak pertama membuka mata, Mas Hamish tidak pernah menatapku dengan lembut. Sangat berkebalikan dengan Mas Hamish yang dulu.

"Aku akan pergi tanpa kamu minta. Asalkan dalam dua puluh empat jam ini, kamu bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun," ujarku kemudian tanpa peduli sorot mata penuh kebencian di matanya.

Mas Hamish tersenyum sinis. "Aku pastikan kau akan keluar dari rumah ini sebelum dua puluh empat jam itu." Dia masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintunya.

Aku sempat tersentak saat mukaku hampir tertabrak pintu yang ditutup dengan gerakan sedikit membanting. Lagi-lagi aku mengembuskan napas kasar, berusaha bersabar menghadapi tingkah laku suamiku.

Setelah makan siang, seharusnya Mas Hamish meminum obat, bukan? Aku memutuskan menemuinya setelah menyiapkan tablet dan minuman di tangan. Walaupun hubungan kami tidak baik, tetapi memang tugasku untuk melayaninya di sini, terutama mengingatkan ketika waktu minum obat telah tiba.

Mengetuk pintu tiga kali, tidak ada jawaban dari dalam. Aku memutuskan maasuk tanpa menunggu persetujuan dari Mas Hamish. Melihat sekeliling, aku tidak menemukan suamiku itu. Hingga kemudian, suara teriakan terdengar dari kamar mandi membuat perhatianku teralihkan.

Sebelum memeriksa apa yang terjadi, aku meletakkan tablet dan air putih yang sejak tadi kubawa ke atas nakas, lalu mengayunkan langkah sedikit cepat ke arah kamar mandi.

"Mas, Mas Hamish, kamu nggak papa?" kataku seraya mengetuk pintu kamar mandi. Sangat jelas tadi aku mendengar suara orang jatuh dan teriakan dari dalam. Aku yakin Mas Hamish sedang dalam masalah. Dua kali ketukan di pintu aku lakukan, tetapi tak ada jawaban maupun sahutan. Aku semakin merasa panik. Jangan-jangan Mas Hamish terpeleset di kamar mandi, lalu pingsan.

Segera tangan ini memutar kenop pintu kamar mandi, lalu membukanya lebar sembari mencari keberadaan Mas Hamish.

"Ra, jangan masuk! Aku belum pakai celana!"

Mataku membeliak dan langsung membalikkan badan.

Mas Hamish memang terjatuh dengan posisi miring. Kursi rodanya pun oleng. Namun, yang membuatku tak bisa menolehkan kepala adalah Mas Hamish berusaha menutup bagian bawah mililk pribadinya dengan kedua tangan karena belum sempat menaikkan celana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status