Share

Aku Akan Menjagamu

Fred telah membawa mobil sampai ke depan rumah. Ken segera keluar sambil menggendong Jani. Bi Inah berlari menghampiri dengan rasa khawatir. Ken membawa tubuh Jani ke kamarnya dan membaringkannya dengan pelan.

"Non Jani, bangunlah,” bisik Bi Inah dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Jani.

Ken melangkah mundur agar Jani tak melihatnya memasuki kamarnya saat sadar. Terlihat Fred dengan cepat membawakan minuman hangat dan meletakkannya di nakas.

Perlahan Jani membuka matanya. Ken yang melihatnya langsung bernafas lega. Dengan cepat dia pergi dari kamar Jani menuju kamarnya.

“Bibi, apa yang terjadi? Kenapa aku sudah berada di kamarku?” tanya Jani dengan lemah.

“Tenanglah. Yang penting Nona Jani baik-baik saja.” Bi Inah membelai kepala Jani.

“Tadi ada makhluk yang menyerangku. Sangat menyeramkan. Tapi tiba-tiba ada yang membantuku menghadangnya.”

“Tuan Ken menyelamatkan anda, Nona,” jawab Fred.

“Ken? tapi ....” Jani segera duduk dan menatap sekitarnya.

“Apa dia yang membawaku kesini?”

“Nona, sebaiknya anda beristirahat sejenak. Satu jam lagi makan malam akan siap. Anda ingin saya membawakan makan malam disini?” Fred mencoba mengalihkan pikiran Jani.

“Iya, Fred. Aku ingin tidur sebentar.” Bi Inah dan Fred segera meninggalkan Jani sendiri di kamarnya. Jani segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Ken.

“Hei, apa kau yang membawaku ke kamar?”

Ken begitu senang saat mendapatkan pesan dari Jani. Dia tidak menyangka gadis yang disukainya secara diam-diam itu memiliki nomer ponselnya.

“Dari mana kau dapat nomer ponselku?” jawaban pesan dari Ken.

“Apa kau lupa kalau aku adalah asisten guru kita? Tentu saja aku tahu semua nomer ponsel seluruh teman satu kelas kita.”

“Oh, terus kalau aku yang membawamu ke kamar kenapa?” balas Ken kembali dengan senyum-senyum sendiri di kamarnya.

Jani merasa kesal dan melempar ponselnya ke ranjang. Dia keluar dari kamarnya dan berteriak memanggil Ken.

“Ken, keluarlah!”

Ken dengan santai keluar dari kamarnya. Dia bersandar di pintu dengan satu tangannya dimasukan ke saku celana jeansnya.

“Tidak perlu berteriak. Katakan apa maumu,” ucap Ken dengan nada santai.

“Kau sudah melanggar perjanjian kita dengan memasuki kamarku. Sekarang kau harus menanggung konsekuensinya.” Jani berkacak pinggang menantang Ken.

“Melanggar apanya ... asal kamu tahu aku terpaksa melakukannya,” jawab Ken dengan gugup.

“Katakan saja kau sangat menikmati saat menggendongku, bukan? Kenapa kau tidak mengaku kalah saja?” ucap Jani dengan pandangan ciri khasnya yang meremehkan Ken. Entah kenapa Ken malah merasa senang dengan pandangan itu, seolah pandangan itu hanya ditujukan untuknya.

“Jika aku tidak menggendongmu, lalu siapa yang akan melakukannya? Apa kau tidak kasihan jika Fred yang sudah tua itu melakukannnya? Kamu itu sangat gendut, dia tidak akan sanggup membawamu hingga ke kamar,” jawab Ken yang matanya mengarah ke tubuh Jani.

Jani sangat kaget dengan ucapan Ken hingga tidak sadar melihat tubuhnya sendiri. Ken yang tahu kepanikan di wajah gadis yang ada di depannya, membuatnya semakin ingin menggodanya.

“Hah, tanganku menjadi sangat pegal menggendongmu. Kau harus mulai menjaga makanmu.”

Kalimat yang barusan terucap dari bibir Ken membuat Jani membelalak dengan kesal.

“Aku tidak segemuk itu, Ken. Kau benar-benar ....” Jani segera masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Ken ikut masuk ke kamarnya sendiri.

Di dalam kamar, Jani langsung memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Tubuhnya sangat ramping dan seksi, bahkan berat badannya masih di bawah angka normal.

“Dasar Ken menyebalkan. Di membohongiku. Mana mungkin aku gemuk.”

Ken turun ke lantai bawah untuk menemui Bi Inah yang sedang berada di ruang makan. Bi Inah sedang sbuk menata peralatan makan dia atas meja.

“Bibi, makhluk yang menyerang Jani di sekolah adalah makhluk yang sama yang menyerang ayah dan ibu Jani. Katakan Makhluk apa itu!” Ken menarik Bi Inah dan mengambilkan kursi untuknya. Mereka duduk saling berhadapan.

“Kau benar, Tuan Ken. Itu adalah makhluk yang sama. Dia adalah salah satu pengikut ratu Ania yang bertugas mencari sang pewaris dan juga pelindungnya. Dulu Jenifer pernah berhadapan dengannya. Namun, kekuatan sihir Jen hanya bisa membuatnya menjauh tanpa mengalahkannya.” Bi Inah telah mendengar semua kejadian di sekolah dari Fred.

“Apa maksud, Bibi? Apa makhluk itu memang tidak bisa dikalahkan? Dia bahkan ketakutan saat melihat belati ini.” Ken menunjukkan belati di balik bajunya.

“Tentu saja bisa. Kau bersama belati ini akan mengalahkannya. Tapi jika Nona Jani sudah bisa menguasai kekuatan dari magic book. Kalian berdua akan dengan mudah mengalahkannya. Itu yang tidak dimiliki oleh Jenifer namun dimiliki oleh Nona Jani.”

“Apa yang tidak dimiliki oleh Jenifer?” Ken semakin penasaran.

“Kau,” ucap Bi Inah dengan senyuman khas nya. Ken yang masih tidak mengerti hanya terdiam dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Jenifer tidak mempunyai pelindung sejati seperti Nona Jani memilikimu. Kakak angkat Jenifer mewarisi belati itu tapi dia bukan sang pelindung. Mereka hanya menyimpan dan menjaganya sampai titisan Ben sejati muncul ke dunia. Dan itu adalah dirimu. Karena itu kau begitu terikat dengan Jani, bahkan kau diam-diam mencintainya dan selalu ingin menjaganya.”

Ken tersentak mendengar ucapan Bi Inah. Selama ini dia tidak pernah mengatakan bagaimana perasaannya terhadap jani kepada siapapun. Bahkan Ken selalu membuat Jani kesal agar dia bisa menyimpan rapat-rapat apa yang dirasakannya kepada gadis yang selalu dijaganya.

Pintu ruang makan terbuka. Jani masuk ke dalam untuk makan malam. Fred segera menarikkan kursi untuknya. Bi Inah hanya tersenyum lalu segera berjalan mendekatinya. Ken memilih diam karena tidak ingin pembicaraan terakhirnya dengan Bi Inah di dengar oleh Jani.

“Rupanya Nona sudah merasa baikan sehingga tidak jadi makan malam di kamar.”

“Iya, Bi. Aku merasa bosan di kamar,” jawab Jani. Bi Inah memanggil pelayan untuk segera menyiapkan makan malam yang belum tersaji karena kedua tuan mereka datang ke ruang makan sebelum jam makan malam dimulai.

Fred mengambilkan dua botol garam kemudian diletakkan di kedua bagian meja. Ken mulai menikmati makan malam yang disajikan dengan pandangannya yang menatap Jani hingga membuat Jani salah tingkah.

“Apa maksud Bi Inah bahwa aku memang ditakdirkan untuk menjaganya? Apa perasaan ini muncul karena memang kami adalah pasangan sejati? Tapi bagaimana jika ternyata dia membenciku? Ahh ... bodohnya aku yang tak bisa membuatnya menyukaiku.” Batin Ken sambil mengunyah makanannya dengan pelan. Pikirannya melayang ke semua ucapan Bi Inah terhadapnya.

“Sudah kukatakan jangan menatapku terus, Ken. Atau kau akan bertekuk lutut kepadaku nantinya.”

Jani meletakkan pisau dan garpunya menandakan dia sudah selesai dengan makanan utamanya. Terlihat sekali dia mengurangi porsi makannya karena biasanya Jani selalu menghabiskan steak yang menjadi kesukaannya.

Fred segera mengambil piring kotornya dan menggantikan dengan piring baru untuk menikmati hidangan penutup. Bi Inah segera meletakkan sepotong puding coklat lezat ke piring Jani.

“Sesuai permintaanmu, Nona. Saya membuatkan puding lezat untukmu.”

“Terimakasih, Bi. Setelah malam ini, aku akan mengurangi makanan manis karena aku tidak mau menjadi gendut,” ucap Jani yang mengagetkan Bi Inah. Jani mempunyai tubuh yang langsing walaupun gemar sekali makan. Terutama makanan manis.

“Kenapa seperti itu, Nona? Bukankan tubuhmu sangat kurus?” tanya Bi Inah.

“Karena aku tidak mau membuat siapapun merasa berat saat menggendong tubuhku jika pingsan,” jawab Jani ketus menatap Ken yang asyik menghabiskan pudingnya.

“Itu sangat bagus, Jani. Dengan begitu bagianku menjadi lebih banyak,” jawab Ken dengan mengedipkan salah satu matanya.

“Terserah kau saja, Nona. Setelah makan malam, kalian harus ikut ke ruangan berlatih. Makhluk yang menyerang anda pasti akan datang lagi. Kini saatnya anda harus berlatih mempertahankan diri. Tuan Ken akan membantu anda,” ucap Bi Inah.

“Dia ... apa yang dia bisa?” tanya Jani kembali meremehkan Ken.

“Tuan Ken adalah juara hampir semua seni bela diri. Dia adalah master pedang. Apa anda tidak tahu apapun tentangnya?” Fred mencoba menjelaskan kepada Jani.

“Haha, tidak mungkin,” tawa Jani.

“Tunjukkan padaku dimana ruangannya, Fred!” Ken berdiri mengikuti Fred. Bi Inah menarik tangan Jani agar ikut ke ruang berlatih.

Ruangan itu terpisah dari rumah utama. Mereka harus melewati kolam renang yang terlihat modern.

“Tak kusangka rumah mewah setua ini memiliki kolam renang yang sangat indah,” ucap Jani yang pertama kali melihat kolam renang mewah di belakang rumah barunya. Mereka baru sehari menempati rumah itu dan belum sempat mengelilingi rumah.

“Karena kolam ini memang termasuk baru dan tidak setua rumah ini. Kakekmu yang membangunnya karena dia suka sekali berenang sekaligus merenovasi hampir seluruh bagian,” jawab Bi Inah.

Mereka telah sampai di ruang berlatih. Ruangan itu sangat luas dengan matras besar di samping ring tinju. Berbagai senjata tajam terpasang di salah satu sisi tembok. Tidak ada benang pembatas di ruangn itu.

“Nona Jani, ini adalah ruangan netral. Jadi kalian berdua bisa menggunakannya bersama-sama tanpa ada pembatas,” ucap Bi Inah. Jani memutar bola matanya seakan dengan terpaksa menerima ucapan Bi Inah.

Fred mengambil pedang dan memberikannya kepada Ken.

“Ini pedang anda, Tuan. Aku mengambilnya saat anda meninggalkannya di mobil lalu menyimpannya disini untuk anda berlatih.”

“Terima kasih, Fred.” Ken mengambilnya lalu meletakkannya di atas meja.

“Sepertinya latihan pertama tidak perlu memakai senjata. Kau harus berlatih melindungi diri dengan tangan kosong dulu. Dengan begitu kau bisa melindungi dirimu dari lelaki seperti Dave.” Ken memasukkan kedua tangan ke saku celananya dengan menatap jani dari dekat.

“Aku tidak mau berlatih sekarang. Aku lelah dan ingin ke kamar. Kau bisa berlatih sendiri,” jawab Jani  ketus.

Dia hendak berjalan meninggalkan ruangan. Tapi, Ken dengan cepat mencegahnya. Ken mendahului Jani dan berdiri di depannya.

“Kau akan ke kamar setelah bisa menangkisku. Atau kau takut berdekatan denganku tanpa pembatas?” Ken semakin mendekat kepada Jani hingga hanya beberapa centi. Fred dan BI Inah segera meninggalkan mereka dan menutup pintu.

Jani perlahan-lahan melangkah mundur. Kakinya menyentuh martras.

“Jangan dekat-dekat, Ken! Atau aku akan berbuat kasar kepadamu,” ancam jani yang membuat Ken tersenyum.

“Coba saja,” tantang Ken. Jani hendak menendang Ken. Dengan cepat, Ken menangkap kaki Jani lalu mendorongnya hingga Jani terjatuh.

Tak terima dengan perlakuan Ken, Jani segera berdiri dan kembali menyerangnya. Tentu saja Ken dengan mudah mengalahkannya. Ken mendekap Jani dengan sangat erat hingga keduanya saling pandang dengan jarak yang minim.

Mata Jani yang indah dengan bulu matanya yang lentik membuat Ken terpesona. Jani mendekatkan tubuhnya hingga membuat dekapan Ken mengendur. Bibir Jani mendekat hingga kurang satu inci menempel ke bibir Ken. Tentu saja membuat Ken mendesah hingga kewaspadaannya menghilang.

Saat itulah Jani melancarkan serangannya dengan menendang perut Ken dan mendorongnya hingga terjatuh.

Buk!"

Jani mendekati Ken dengan tersenyum puas.

“Sudah kukatakan jangan memandangiku, atau kau akan bertekuk lutut padaku.” Jani melangkahi tubuh Ken. Dia berjalan ke arah pintu meninggalkan ruang latihan. Ken menatapnya dengan tersenyum.

“Aku hampir saja menciumnya. Sepertinya aku harus lebih waspada dengan gadis itu, hehe.” Ken menyentuh jantungnya yang berdetak kencang. Dia berdiri mengambil pedangnya. Ken membuka pintu ruangan dan kembali di kamarnya.

 Seperti malam sebelumnya, Ken memasuki kamar Jani setelah gadis itu terlelap. Dia duduk di kursi yang terletak di sudut ruangan yang gelap. Terlihat belati emas berada di tangannya. Ken memeriksa jendela untuk memastikan semua aman.

Wajah Jani begitu menenangkan hati Ken. Dia mendekati Jani untuk bisa memandang wajahnya dari dekat.

“Bagaimana dia bisa tidur dengan pulas setelah makhluk menyeramkan menyerangnya. Bahkan dia tidak menanyakan apapun tentang kejadian tadi. Kau gadis yang sangat aneh, Jani. Tapi aku menyukainya.”

Tangan Ken hendak menyentuh wajah Jani namun diurungkan. Dia memilih untuk duduk kembali dikursinya. Pandangannya mengarah ke tubuh gadis yang terbaring dengan nyenyak didepannya.

Jani sangat terlelap, namun dia bermimpi membawa magic book di salah satu ruangan. Dia membuka buku itu lalu terlihat tulisan kuno seperti saat pertama kali membukannya. Jani membacanya dengan keras.

Tanpa diduga, tubuh Jani melayang ke udara. Seluruh tubuhnya mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Angin berputar-putar mengelilinginya seakan melindunginya.

Namum itu bukan hanya mimpi, Ken sangat terkejut melihat tubuh Jani yang melayang di atas ranjangnya dengan bersinar. Ken mendekatinya namun tidak bisa meraihnya. Sinar dari tubuh Jani seolah melarang siapapun yang mendekat.

“Jani, apa yang terjadi padamu? Bangun, Jani!” Ken berteriak membuat Bi Inah dan Fred masuk ke dalam kamarnya.

“Tuan Ken, sepertinya dia sedang berkomunikasi dengan magic book. Nona Jani telah mulai mendapatkan kekuatannya.” Bi Inah menarik tubuh Ken yang mendekat dan menjelaskannya.

Tidak lama sinar itu mulai memudar. Tubuh Jani perlahan kebawah. Ken segera menangkap dan meletakkan kembali ke ranjang dengan lembut.

“Dia tidak akan sadar untuk beberapa waktu. Sebaiknya anda tetap menjaganya sampai fajar.” Bi Inah menepuk pundak Ken lalu meninggalkan mereka berdua diikuti Fred.

Ken memegang tangan Jani dengan erat.

“Aku akan menjagamu selamanya. Kau tidak akan sendiri menghadapi semua ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status