Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Endra tepat ketika kalimat terakhirnya terucap.
“Di mana nurani kamu, Kak?! Di mana letak nurani kamu sampai kamu tega berkata seperti itu pada Kak Gina?!”
Itu adiknya. Adik kandung Endra yang masih duduk di bangku kuliah. Anna namanya. Sedari tadi, ia yang baru datang dan langsung disuguhi oleh pertikaian antara kedua kakaknya memutuskan untuk menahan diri agar tidak ikut campur atas urusan yang bukan ranahnya. Namun ketika mendengar kalimat terakhir Endra, Anna rasa manusia seperti kakak satu-satunya ini perlu diberi sedikit pelajaran.
“Aku kakakmu, Ann! Berani sekali kamu menampar kakakmu hanya untuk membela dia yang bukan siapa-siapamu?!”
“Dia juga kakakku! Semenjak dia datang ke rumah, dia sudah menjadi kakakku. Apa yang Kakak bilang tadi sudah sangat keterlaluan. Lagipula, apa partisipasi Kakak dalam merawat keponakanku selama dia di dalam kandungan ibunya? Apa yang Kakak lakukan untuk membantu perkembangannya selama ia tumbuh di dalam perut Kak Gina? Nggak ada! Kakak hanya tahu marah-marah tanpa mau tahu bagaimana sulitnya Kak Gina mengandung anak itu selama ini!” Napas Anna naik turun dengan hebat karena emosi. “Dan sekarang Kakak ingin merebutnya dari Kak Gina setelah apa yang Kak Gina lalui? Sinting, kamu, Kak!”
Endra hanya diam sembari mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Bagaimana pun, sisa kewarasannya masih ada dan ia masih sadar benar bahwa orang yang baru saja berbicara dan bertindak kurang ajar padanya ini adalah adik kandungnya; satu-satunya saudara yang ia miliki.
Melihat keterdiaman Endra, Anna segera beralih pada Gina yang masih berdiri di sana dengan berderai air mata. Ia sungguh tidak paham mengenai hal apa yang menjadi alasan Gina untuk tetap bertahan di dalam pernikahan selayaknya neraka ini. Sungguh, jika Anna yang mengalaminya, tanpa basa-basi ia akan meninggalkan Endra dan mempertimbangkan lelaki lain yang lebih baik.
“Kak, sebaiknya hari ini kak Gina ikut saja dulu Anna ke rumah, ya? Kak Gina bisa istirahat di sana sambil menenangkan diri.”
Gina menghapus jejak air matanya dan menggeleng pelan. “Nggak usah, Ann. Kakak sudah nggak apa-apa.”
“Kak…”
“Kakak bisa istirahat di sini seperti biasa. Si adek juga baik, dia nggak rewel, dia mengerti keadaan orang tuanya. Jadi kamu nggak usah khawatir. Kakak di sini bakalan baik.”
Perkataan Gina barusan tidak serta merta membuat Anna menjadi tenang. Meski selama ini kakaknya tidak pernah melakukan kekerasan fisik kepada Gina, namun perkataan yang akan menyakiti secara verbal juga tidak kalah berbahayanya. Kondisi Gina yang tengah hamil besar membuat Anna benar-benar khawatir. Ia tidak ingin kesalahan sekecil apapun akan mengganggu Gina sehingga membuatnya menjadi stress.
“Sekali ini saja, Kak. Kakak butuh ruang untuk berpikir dan menangkan diri. Anna nggak berpikiran aneh-aneh ke Kak Endra, tapi ini juga demi kesehatan Kakak dan keponakan Anna.”
Gina menggeleng, kekeh dengan pendiriannya. “Kalau Kakak pergi Kakak malah merasa nggak enak sama papa dan mama, nanti mereka tanya yang macam-macam Kakak nggak akan bisa jawab, Ann. Kakak nggak mau bebani pikiran mereka.”
Kali ini, Anna yang diam. Memang, selama ini yang tahu perlakuan tidak baik Endra terhadap Gina hanya Anna seorang, tidak ada yang lain apalagi kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan. Layaknya anak kebanyakan, mereka tidak ingin kedua orang tuanya yang sudah berumur harus turut memikirkan permasalahan rumah tangga yang pelik seperti ini. Jadi ketika berhadapan dengan kedua orang tuanya, Endra akan berpura-pura untuk menjadi suami baik dan pengertian untuk Gina. Sungguh menyedihkan.
Sementara itu Anna yang tidak enak memaksa, akhirnya mengangguk. “Kalau ada apa-apa, janji ya hubungi Anna?”
“Kakak janji.”
Gina tersenyum dan mengusap lengan atas Anna, mengisyaratkan bahwa ia akan baik-baik saja meski ia sendiri tidak yakin. Terlebih, tatapan Endra masih sama seperti tadi; kaku dan keras. Gina tidak berani menatapnya lama-lama. Mata tajam dan wajah dengan rahang yang tegas itu terlihat menakutkan dalam kondisi marah.
Setelah Anna pergi dan memberinya peringatan lewat tatapan mata, Endra menghampiri Gina dan mencengkram rahang perempuan itu menggunakan satu tangan. Gina terlihat sedikit kesakitan, namun Endra enggan peduli.
“Sampai kapanpun, kamu hanya akan tetap menjadi bayangan. Yang aku inginkan hanya Fira, dari dulu sampai sekarang. Kelancangan kamu masuk ke dalam hidupku sudah cukup buat aku muak, jangan lagi diperparah dengan drama-drama kamu yang sangat sampah!”
Air mata perlahan keluar dari manik coklat terang milik Gina, membuat Endra malah menyunggingkan senyumannya dan semakin mempererat cengkramannya.
“Ingat satu hal ini, Gina: Apapun tentangmu, nggak akan ada artinya buatku. Sampai kapanpun.”
Dan setelahnya Endra pergi dari sana, melepaskan cengkramannya dengan kasar dan segera beranjak ke atas untuk menuju kamarnya sendiri. Lebih tepatnya, mereka tidak tidur dalam satu kamar. Kamar Gina sendiri terletak di lantai satu dekat ruang tamu.
Sepeninggal sang suami, Gina hanya bisa diam dan kembali tergugu dalam tangisnya. Ia menopang tubuhnya pada teralis tangga sehingga tubuh yang tengah dihuni janin 8 bulan itu tidak merosot ke lantai.
Dalam tangisnya, Gina selalu teringat akan ibu dan ayahnya yang telah tiada. Ia tidak lagi memiliki topangan hidup yang bisa meringankan beban hidupnya. Ia tidak lagi memiliki rumah untuk dijadikan tempat berpulang dan beristirahat dari jahatnya dunia luar yang menyakitinya. Ia tidak lagi bisa merasakan usapan-usapan tangan lembut sang ibu di kepalanya, juga tidak bisa mendengarkan nasihat-nasihat singkat sang ayah yang selalu terdengar sedikit kejam namun bermakna di telinganya. Dan kini ia merindukannya. Amat sangat merindukan mereka sampai-sampai untuk mencari pengalihan pun sangat mustahil rasanya.
Berumah tangga bersama Endra nyatanya hanya menambah kepedihan, membuat harapan Gina untuk kembali merasakan kasih sayang dari orang yang dicintai telah kandas tanpa harapan. Endra telah berhasil membakar hatinya hingga menjadi abu, dan kemudian lelaki itu meniup abunya hingga hampir habis tak bersisa. Puing-puing abu itu bertebaran di udara, melayang-layang tanpa arah dan semakin terberai sampai tak lagi terlihat eksistensinya.
Meski begitu, perasaannya terlanjur jatuh, kasih sayangnya terlanjur tumpah, dan cintanya terlanjur tak terbendung hingga membuatnya menjadi manusia bodoh tak tertolong.
Sayang sekali.
***
“Sarapan dulu, Mas.” Endra yang baru turun dari tangga sama sekali tidak ingin menanggapi tawaran Gina. Lelaki berperawakan tinggi itu hanya melengos dan terus berjalan menuju pintu untuk segera pergi bekerja. Meski sudah terbiasa, terkadang Gina selalu merasa sedih ketika harus kembali makan seorang diri di meja makan yang bisa diisi 6 orang itu. Endra sama sekali tidak ingin memakan masakannya atau sekadar makan bersamanya; dari awal mereka menikah hingga detik ini. Kecuali jika mereka sedang berada di kediaman orang tua Endra. Itu lain cerita. Sementara itu, makanan jatah Endra yang tidak pernah dilirik sama sekali oleh si empunya, akan Gina berikan kepada orang yang kekurangan. Jadi, masakannya tidak pernah mubadzir karena dibuang atau menjadi basi karena dibiarkan terlalu lama. “Di mana sepatuku?” Gina hampir menyemburkan kembali makanan yang ada di dalam mulutnya ketika Endra tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan bertanya padanya. Mungkin, pikirannya sempat tidak berada d
Malam hari akan menjadi saat-saat paling dingin nan sunyi untuk Gina. Tak terkecuali juga malam ini; malam di mana ia akan menyambut detik-detik peringatan hari kelahirannya ke dunia ini 24 tahun silam. Hari di mana telah terlahir sesosok bayi cantik yang mungil, yang tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa nasib dari bayi tersebut tidak akan sesuai dengan doa-doa dan harapan-harapan yang mereka panjatkan dulu. Bahkan dalam menyambut hari spesial tersebut, ia hanya sendirian. Terduduk dalam sepi di salah satu kursi meja makan dengan sepotong kue dan lilin yang terhidang di atas meja di hadapannya. Sementara waktu terus berjalan, Gina hanya termenung. Memikirkan banyaknya kejadian yang telah dialaminya selama ini. Tak ia sangka, 24 tahun terasa begitu singkat. Meski ada beberapa saat ketika ia merasa waktu berjalan dengan sangat lambat. Contohnya, ketika Endra selalu memberikan tatapan tajam dan dingin padanya. Ia benci saat-saat seperti itu dan ingin segera mempercepat wakt
Padatnya rutinitas di ibukota pada pagi hari menjadi salah satu kendala yang cukup serius bagi beberapa orang. Salah satunya adalah Endra. Beberapa kali terjebak macet di beberapa titik yang berbeda membuat waktunya harus terbuang percuma dan mengorbankan janjinya yang sudah ia buat kemarin siang bersama sang client.“Iya, Pak. Sudah saya sampaikan kepada beliau bahwa anda kemungkinan akan terlambat karena terjebak macet. Beliau maklum dan merasa tidak keberatan jika harus menunggu sedikit lebih lama.”Helaan napas lega langsung saja terdengar. “Syukur kalau begitu. Saya pastikan akan sampai dalam 15 menit.”“Baik, Pak. Saya sampaikan kembali kepada beliau.”“Terima kasih, Ji.”“Dengan senang hati, pak.”Endra menutup panggilannya dan kembali fokus pada jalanan. Jika bukan karena terlalu banyak merenung setelah mendengar ucapan Gina, ia tidak akan terlambat pergi ke kantor. Juga, sebenarnya ia sedikit menyesal dengan pilihannya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sebab kini pikiran da
“Kamu sudah makan, sayang? Maaf, ya, tadi pagi aku buru-buru jadi nggak sempat sarapan bareng kamu.”Gina yang tadinya berpikir bahwa ia hanya tinggal bersandiwara seperti biasa, kini menjadi sedikit canggung dan sulit mengontrol diri. Pasalnya Safira masih duduk tak jauh darinya, sembari memilah berkas yang tadi dipegang oleh Endra.“Oh, em, i-iya mas nggak apa-apa. I-ini aku bawa makanannya ke sini biar kita bisa makan sama-sama.”“Wah, kalau gini sih ngerepotin.”“Nggak kok, mas.”“Makasih, ya, sayangku.”Mata Gina sudah memerah ketika Endra yang duduk di sampingnya tiba-tiba mengecup keningnya dengan lembut. Disaksikan oleh Irma dan Safira, ini adalah kecupan pertamanya dari Endra.“Setelah ini, kalau mau ada pertemuan pagi-pagi ya bangunnya harus lebih pagi juga. Mag kamu kan sudah parah, kalau sampai asam lambungnya naik pas lagi ketemu client gimana?”Tabiat seorang ibu memang sering mengomeli anaknya, namun Endra sendiri adalah tipe anak yang justru menikmati omelan tersebut.
“Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”Hari di mana Endra mengantarkan Gina pulang sampai ke rumah sudah satu minggu yang lalu, dan semenjak itu pula perlakuan Endra kembali kasar dan dingin padanya.Seperti malam ini. Lelaki itu pulang dengan wajah merah menahan amarah. Hal ini membuat Gina sebenarnya enggan untuk bertanya, namun ia juga tidak nyaman jika harus diam dan membiarkan Endra dalam keadaan yang seperti itu.“Mas-““Kamu tahu, kan, kalau kamu ini hanya benalu? Cukup dengan statusmu yang seperti itu, jangan buat aku semakin muak sama kamu.”“Tapi aku khawatir, aku takut kamu ada masalah dan-““Masalahku itu kamu, Sialan! Sampai kapanpun selama kamu masih ada di sini, masalahku nggak akan pernah hilang dan justru makin bertambah!”Ada banyak perasaan yang Gina rasakan setiap kali Endra berteriak dan memakinya tanpa alasan, salah satunya adalah perasaan tertekan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.“Berapa kali aku bilang, cukup urusi urusanmu dan jangan ingin tahu uru
Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”***“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”“Siapa namanya?”“Apa?”“Manusia ini. Siapa namanya?”“Andika.”Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan i
Di kamarnya, tubuh Gina mendadak lemas dan ia jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian Endra datang dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sedikit panik cenderung penasaran.“Kenapa?”Kata itu keluar begitu saja dari mulut Endra ketika ia melihat pecahan gelas di bawah kaki Gina.Sementara yang ditanyai hanya menatap Endra dengan heran, kemudian dengan polos berkata, “tadi ada cicak di dekat nakas. Aku kaget, jadi gelasnya nggak sengaja kesenggol.”Andai kloset di kamar mandi bisa menghanyutkan manusia, mungkin Endra akan bergegas ke kamar mandi dan menghanyutkan tubuhnya sendiri di sana. Sekarang, di mana ia harus menyembunyikan wajahnya?“Kamu… kenapa, Mas?”Pertanyaan itu tidak Endra hiraukan. Ia melihat pecahan kaca yang sedikit tergenangi air, lalu kembali menatap Gina dengan wajah yang kembali dingin. “Kamu bisa bereskan?”Gina melihat pecahan itu sekilas kemudian mengangguk. “Bisa, Mas.”Akhirnya tanpa menunggu lama lagi Endra keluar dari kamar itu, kembali ber
Keterdiaman Endra membuat Gina yakin bahwa sang suami amat sangat membencinya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Endra tidak pernah bersikap seperti suami kebanyakan pada umumnya.“Nggak apa, Mas, nggak usah-““Kamu cinta aku?”Diberi pertanyaan seperti itu Gina mengangguk dengan antusias. Tak terhitung lagi seberapa besar ia mencintai dan menyayangi Endra, bahkan semenjak mereka baru beberapa kali bertemu.Namun perkataan Endra selanjutnya membuat Gina terhempas dari awan yang membawanya terbang, membuatnya terjatuh dengan keras menuju dasar jurang yang curam nan dalam.“Kalau begitu, seharusnya dulu kamu ikhlaskan aku untuk bersama dengan pilihanku. Bukan malah memohon kepada kedua orang tuaku dengan mengungkit perbuatan baik yang sudah orang tua mu lakukan terhadap keluargaku. Aku tahu, kamu hanya sendiri tanpa sanak saudara setelah kehilangan orang tua dan kakakmu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya tanpa memikirkan orang lain.” Endra melepaskan tangan Gina yang s