Share

Chapter 1 - Hanya Bayangan

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Endra tepat ketika kalimat terakhirnya terucap.

“Di mana nurani kamu, Kak?! Di mana letak nurani kamu sampai kamu tega berkata seperti itu pada Kak Gina?!”

Itu adiknya. Adik kandung Endra yang masih duduk di bangku kuliah. Anna namanya. Sedari tadi, ia yang baru datang dan langsung disuguhi oleh pertikaian antara kedua kakaknya memutuskan untuk menahan diri agar tidak ikut campur atas urusan yang bukan ranahnya. Namun ketika mendengar kalimat terakhir Endra, Anna rasa manusia seperti kakak satu-satunya ini perlu diberi sedikit pelajaran.

“Aku kakakmu, Ann! Berani sekali kamu menampar kakakmu hanya untuk membela dia yang bukan siapa-siapamu?!”

“Dia juga kakakku! Semenjak dia datang ke rumah, dia sudah menjadi kakakku. Apa yang Kakak bilang tadi sudah sangat keterlaluan. Lagipula, apa partisipasi Kakak dalam merawat keponakanku selama dia di dalam kandungan ibunya? Apa yang Kakak lakukan untuk membantu perkembangannya selama ia tumbuh di dalam perut Kak Gina? Nggak ada! Kakak hanya tahu marah-marah tanpa mau tahu bagaimana sulitnya Kak Gina mengandung anak itu selama ini!” Napas Anna naik turun dengan hebat karena emosi. “Dan sekarang Kakak ingin merebutnya dari Kak Gina setelah apa yang Kak Gina lalui? Sinting, kamu, Kak!”

Endra hanya diam sembari mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Bagaimana pun, sisa kewarasannya masih ada dan ia masih sadar benar bahwa orang yang baru saja berbicara dan bertindak kurang ajar padanya ini adalah adik kandungnya; satu-satunya saudara yang ia miliki.

Melihat keterdiaman Endra, Anna segera beralih pada Gina yang masih berdiri di sana dengan berderai air mata. Ia sungguh tidak paham mengenai hal apa yang menjadi alasan Gina untuk tetap bertahan di dalam pernikahan selayaknya neraka ini. Sungguh, jika Anna yang mengalaminya, tanpa basa-basi ia akan meninggalkan Endra dan mempertimbangkan lelaki lain yang lebih baik.

“Kak, sebaiknya hari ini kak Gina ikut saja dulu Anna ke rumah, ya? Kak Gina bisa istirahat di sana sambil menenangkan diri.”

Gina menghapus jejak air matanya dan menggeleng pelan. “Nggak usah, Ann. Kakak sudah nggak apa-apa.”

“Kak…”

“Kakak bisa istirahat di sini seperti biasa. Si adek juga baik, dia nggak rewel, dia mengerti keadaan orang tuanya. Jadi kamu nggak usah khawatir. Kakak di sini bakalan baik.”

Perkataan Gina barusan tidak serta merta membuat Anna menjadi tenang. Meski selama ini kakaknya tidak pernah melakukan kekerasan fisik kepada Gina, namun perkataan yang akan menyakiti secara verbal juga tidak kalah berbahayanya. Kondisi Gina yang tengah hamil besar membuat Anna benar-benar khawatir. Ia tidak ingin kesalahan sekecil apapun akan mengganggu Gina sehingga membuatnya menjadi stress.

“Sekali ini saja, Kak. Kakak butuh ruang untuk berpikir dan menangkan diri. Anna nggak berpikiran aneh-aneh ke Kak Endra, tapi ini juga demi kesehatan Kakak dan keponakan Anna.”

Gina menggeleng, kekeh dengan pendiriannya. “Kalau Kakak pergi Kakak malah merasa nggak enak sama papa dan mama, nanti mereka tanya yang macam-macam Kakak nggak akan bisa jawab, Ann. Kakak nggak mau bebani pikiran mereka.”

Kali ini, Anna yang diam. Memang, selama ini yang tahu perlakuan tidak baik Endra terhadap Gina hanya Anna seorang, tidak ada yang lain apalagi kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan. Layaknya anak kebanyakan, mereka tidak ingin kedua orang tuanya yang sudah berumur harus turut memikirkan permasalahan rumah tangga yang pelik seperti ini. Jadi ketika berhadapan dengan kedua orang tuanya, Endra akan berpura-pura untuk menjadi suami baik dan pengertian untuk Gina. Sungguh menyedihkan.

Sementara itu Anna yang tidak enak memaksa, akhirnya mengangguk. “Kalau ada apa-apa, janji ya hubungi Anna?”

“Kakak janji.”

Gina tersenyum dan mengusap lengan atas Anna, mengisyaratkan bahwa ia akan baik-baik saja meski ia sendiri tidak yakin. Terlebih, tatapan Endra masih sama seperti tadi; kaku dan keras. Gina tidak berani menatapnya lama-lama. Mata tajam dan wajah dengan rahang yang tegas itu terlihat menakutkan dalam kondisi marah.

Setelah Anna pergi dan memberinya peringatan lewat tatapan mata, Endra menghampiri Gina dan mencengkram rahang perempuan itu menggunakan satu tangan. Gina terlihat sedikit kesakitan, namun Endra enggan peduli.

“Sampai kapanpun, kamu hanya akan tetap menjadi bayangan. Yang aku inginkan hanya Fira, dari dulu sampai sekarang. Kelancangan kamu masuk ke dalam hidupku sudah cukup buat aku muak, jangan lagi diperparah dengan drama-drama kamu yang sangat sampah!”

Air mata perlahan keluar dari manik coklat terang milik Gina, membuat Endra malah menyunggingkan senyumannya dan semakin mempererat cengkramannya.

“Ingat satu hal ini, Gina: Apapun tentangmu, nggak akan ada artinya buatku. Sampai kapanpun.”

Dan setelahnya Endra pergi dari sana, melepaskan cengkramannya dengan kasar dan segera beranjak ke atas untuk menuju kamarnya sendiri. Lebih tepatnya, mereka tidak tidur dalam satu kamar. Kamar Gina sendiri terletak di lantai satu dekat ruang tamu.

Sepeninggal sang suami, Gina hanya bisa diam dan kembali tergugu dalam tangisnya. Ia menopang tubuhnya pada teralis tangga sehingga tubuh yang tengah dihuni janin 8 bulan itu tidak merosot ke lantai.

Dalam tangisnya, Gina selalu teringat akan ibu dan ayahnya yang telah tiada. Ia tidak lagi memiliki topangan hidup yang bisa meringankan beban hidupnya. Ia tidak lagi memiliki rumah untuk dijadikan tempat berpulang dan beristirahat dari jahatnya dunia luar yang menyakitinya. Ia tidak lagi bisa merasakan usapan-usapan tangan lembut sang ibu di kepalanya, juga tidak bisa mendengarkan nasihat-nasihat singkat sang ayah yang selalu terdengar sedikit kejam namun bermakna di telinganya. Dan kini ia merindukannya. Amat sangat merindukan mereka sampai-sampai untuk mencari pengalihan pun sangat mustahil rasanya.

Berumah tangga bersama Endra nyatanya hanya menambah kepedihan, membuat harapan Gina untuk kembali merasakan kasih sayang dari orang yang dicintai telah kandas tanpa harapan. Endra telah berhasil membakar hatinya hingga menjadi abu, dan kemudian lelaki itu meniup abunya hingga hampir habis tak bersisa. Puing-puing abu itu bertebaran di udara, melayang-layang tanpa arah dan semakin terberai sampai tak lagi terlihat eksistensinya.

Meski begitu, perasaannya terlanjur jatuh, kasih sayangnya terlanjur tumpah, dan cintanya terlanjur tak terbendung hingga membuatnya menjadi manusia bodoh tak tertolong.

Sayang sekali.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status