“Secepat itu?”
“Iya, secepat itu.”
Endra merinding mendengarnya. Sebenarnya apa yang Gina lihat darinya sampai wanita itu merasa demikian?
“Perkembangan kasusnya Andika gimana, Mas?”
Mungkin Gina malu untuk terus mengungkit masa lalunya ketika mengenal Endra, jadi ia mengalihkan topik pembicaraannya.
“Aku belum tahu. Itu udah bukan ranahku lagi.”
Kelegaan seketika menghinggapi hati Gina. Jawaban sang suami secara tidak langsung mengatakan bahwa Endra sudah tidak ikut campur lagi dalam masalah Safira yang masih berupaya untuk membebaskan tunangannya.
Keheningan melanda mereka sampai tiba-tiba suara tangis Raka terdengar dan membuat keduanya langsung terburu-buru berlari ke kamar Gina.
“Kenapa? Digigit nyamuk?” tanya Endra saat Gina menggendong tubuh mungil itu.
“Kan udah pakai kelambu, Mas,” jawab Gina aneh. “Kayaknya cuma haus. Popoknya masih kering.”
Tanpa ragu Gina mengeluarkan payudaranya untuk menyus
“Ndra, gue nggak maksud gitu, gue juga nggak tahu kalau Darren bakal –““Iya, memang semuanya salah gue kok, Daf. Lo nggak salah karena yang lo bilang itu memang faktanya.”“Ndra –““Mungkin si Darren nya aja yang terlalu sayang sama Gina sampai dia begitu. Gue nggak nyalahin lo. ini memang salah gue.”Kali ini Daffa diam dan tidak berusaha menyela. Ia merasa sangat bersalah atas kenyataan yang terjadi saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Darren akan sejauh itu. Yang ia pikir Darren hanya akan sedikit menggertak Endra untuk memberikan sahabatnya itu pelajaran.“Lagipula ini juga jadi tantangan buat gue. Proyek itu nilainya nggak main-main. Dan kapan lagi ya kan gue dapat kesempatan buat dapatin tender itu?”Kopi hitam pekat itu Endra seruput dengan nikmat. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut café untuk menghindari sorotan kecewa di matanya. Bagaimanapun hu
Siapapun itu, tolong tenggelamkan Gina sekarang juga.Subuh ini, ia baru keluar dari kamar mandi dekat dapur dengan handuk yang melingkar menutupi rambutnya yang basah. Kamar tidurnya tak memiliki kamar mandi dalam seperti kamar di lantai atas, jadi mau tidak mau ia harus menggunakan kamar mandi dekat dapur.Dan tanpa diduga, saat ia keluar dari sana Irma sudah berdiri di dapur dengan segelas air di tangannya. Beberapa detik mereka lalui dengan keheningan, sebelum Irma menyadari sesuatu dan ia tersenyum menggoda ke arah sang menantu.“Duh, si Endra itu kebangetan, ya. Padahal Mama sama Papa lagi nginep di sini.”Wajah Gina memerah karena malu. Ia berniat berpamitan pada Irma untuk segera kembali ke kamar, namun ucapan Irma belum berhenti. “Baru jam 3 loh, Gin. Padahal nanti aja jam 4 biar bisa langsung sholat subuh.”Gina gelagapan, ia sangat malu.“M-mama kenapa udah bangun?” tanyanya untuk mengalihkan pe
“Bukan akhiran seperti ini yang aku inginkan, mas. Bukan dengan menandatangani surat seperti ini lalu diakhiri dengan pertemuan di ruang sidang.” “Ini keputusanku dan kamu harus mengikutinya! Dua tahun ini sudah cukup aku menuruti semua keinginan kamu dan orangtuaku. Nggak lagi, Gina. Sudah cukup.” “Tapi anak ini-“ “Dia ada karena ulahmu yang menjebakku. Sudah berkali-kali aku bilang sejak dulu, perjodohan ini nggak akan bertahan lama. Tapi kamu bersikeras untuk terus melanjutkannya dengan cara menjual kisah menyedihkanmu itu ke kedua orang tuaku. Untungnya, semua itu nggak mempan buatku.” “Bagaimana pun, janin dalam perutku ini anak kamu, Mas. Dia butuh ayahnya, dia-“ “Benar, dia butuh ayahnya. Jadi aku akan bertanggungjawab penuh atasnya dengan catatan nggak ada lagi hubungan apapun di antara kita. Lupakan aku, dan biarkan dia hidup denganku.”
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Endra tepat ketika kalimat terakhirnya terucap. “Di mana nurani kamu, Kak?! Di mana letak nurani kamu sampai kamu tega berkata seperti itu pada Kak Gina?!” Itu adiknya. Adik kandung Endra yang masih duduk di bangku kuliah. Anna namanya. Sedari tadi, ia yang baru datang dan langsung disuguhi oleh pertikaian antara kedua kakaknya memutuskan untuk menahan diri agar tidak ikut campur atas urusan yang bukan ranahnya. Namun ketika mendengar kalimat terakhir Endra, Anna rasa manusia seperti kakak satu-satunya ini perlu diberi sedikit pelajaran. “Aku kakakmu, Ann! Berani sekali kamu menampar kakakmu hanya untuk membela dia yang bukan siapa-siapamu?!” “Dia juga kakakku! Semenjak dia datang ke rumah, dia sudah menjadi kakakku. Apa yang Kakak bilang tadi sudah sangat keterlaluan. Lagipula, apa partisipasi Kakak dalam merawat keponakanku selama dia di dalam kandungan ibunya? Apa yang Kakak lakukan untuk membantu perkembangannya selama ia tumbuh di d
“Sarapan dulu, Mas.” Endra yang baru turun dari tangga sama sekali tidak ingin menanggapi tawaran Gina. Lelaki berperawakan tinggi itu hanya melengos dan terus berjalan menuju pintu untuk segera pergi bekerja. Meski sudah terbiasa, terkadang Gina selalu merasa sedih ketika harus kembali makan seorang diri di meja makan yang bisa diisi 6 orang itu. Endra sama sekali tidak ingin memakan masakannya atau sekadar makan bersamanya; dari awal mereka menikah hingga detik ini. Kecuali jika mereka sedang berada di kediaman orang tua Endra. Itu lain cerita. Sementara itu, makanan jatah Endra yang tidak pernah dilirik sama sekali oleh si empunya, akan Gina berikan kepada orang yang kekurangan. Jadi, masakannya tidak pernah mubadzir karena dibuang atau menjadi basi karena dibiarkan terlalu lama. “Di mana sepatuku?” Gina hampir menyemburkan kembali makanan yang ada di dalam mulutnya ketika Endra tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan bertanya padanya. Mungkin, pikirannya sempat tidak berada d
Malam hari akan menjadi saat-saat paling dingin nan sunyi untuk Gina. Tak terkecuali juga malam ini; malam di mana ia akan menyambut detik-detik peringatan hari kelahirannya ke dunia ini 24 tahun silam. Hari di mana telah terlahir sesosok bayi cantik yang mungil, yang tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa nasib dari bayi tersebut tidak akan sesuai dengan doa-doa dan harapan-harapan yang mereka panjatkan dulu. Bahkan dalam menyambut hari spesial tersebut, ia hanya sendirian. Terduduk dalam sepi di salah satu kursi meja makan dengan sepotong kue dan lilin yang terhidang di atas meja di hadapannya. Sementara waktu terus berjalan, Gina hanya termenung. Memikirkan banyaknya kejadian yang telah dialaminya selama ini. Tak ia sangka, 24 tahun terasa begitu singkat. Meski ada beberapa saat ketika ia merasa waktu berjalan dengan sangat lambat. Contohnya, ketika Endra selalu memberikan tatapan tajam dan dingin padanya. Ia benci saat-saat seperti itu dan ingin segera mempercepat wakt
Padatnya rutinitas di ibukota pada pagi hari menjadi salah satu kendala yang cukup serius bagi beberapa orang. Salah satunya adalah Endra. Beberapa kali terjebak macet di beberapa titik yang berbeda membuat waktunya harus terbuang percuma dan mengorbankan janjinya yang sudah ia buat kemarin siang bersama sang client.“Iya, Pak. Sudah saya sampaikan kepada beliau bahwa anda kemungkinan akan terlambat karena terjebak macet. Beliau maklum dan merasa tidak keberatan jika harus menunggu sedikit lebih lama.”Helaan napas lega langsung saja terdengar. “Syukur kalau begitu. Saya pastikan akan sampai dalam 15 menit.”“Baik, Pak. Saya sampaikan kembali kepada beliau.”“Terima kasih, Ji.”“Dengan senang hati, pak.”Endra menutup panggilannya dan kembali fokus pada jalanan. Jika bukan karena terlalu banyak merenung setelah mendengar ucapan Gina, ia tidak akan terlambat pergi ke kantor. Juga, sebenarnya ia sedikit menyesal dengan pilihannya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sebab kini pikiran da
“Kamu sudah makan, sayang? Maaf, ya, tadi pagi aku buru-buru jadi nggak sempat sarapan bareng kamu.”Gina yang tadinya berpikir bahwa ia hanya tinggal bersandiwara seperti biasa, kini menjadi sedikit canggung dan sulit mengontrol diri. Pasalnya Safira masih duduk tak jauh darinya, sembari memilah berkas yang tadi dipegang oleh Endra.“Oh, em, i-iya mas nggak apa-apa. I-ini aku bawa makanannya ke sini biar kita bisa makan sama-sama.”“Wah, kalau gini sih ngerepotin.”“Nggak kok, mas.”“Makasih, ya, sayangku.”Mata Gina sudah memerah ketika Endra yang duduk di sampingnya tiba-tiba mengecup keningnya dengan lembut. Disaksikan oleh Irma dan Safira, ini adalah kecupan pertamanya dari Endra.“Setelah ini, kalau mau ada pertemuan pagi-pagi ya bangunnya harus lebih pagi juga. Mag kamu kan sudah parah, kalau sampai asam lambungnya naik pas lagi ketemu client gimana?”Tabiat seorang ibu memang sering mengomeli anaknya, namun Endra sendiri adalah tipe anak yang justru menikmati omelan tersebut.