Share

Chapter 2 - Sarapan dan Pernikahan

“Sarapan dulu, Mas.”

Endra yang baru turun dari tangga sama sekali tidak ingin menanggapi tawaran Gina. Lelaki berperawakan tinggi itu hanya melengos dan terus berjalan menuju pintu untuk segera pergi bekerja.

Meski sudah terbiasa, terkadang Gina selalu merasa sedih ketika harus kembali makan seorang diri di meja makan yang bisa diisi 6 orang itu. Endra sama sekali tidak ingin memakan masakannya atau sekadar makan bersamanya; dari awal mereka menikah hingga detik ini. Kecuali jika mereka sedang berada di kediaman orang tua Endra. Itu lain cerita.

Sementara itu, makanan jatah Endra yang tidak pernah dilirik sama sekali oleh si empunya, akan Gina berikan kepada orang yang kekurangan. Jadi, masakannya tidak pernah mubadzir karena dibuang atau menjadi basi karena dibiarkan terlalu lama.

“Di mana sepatuku?”

Gina hampir menyemburkan kembali makanan yang ada di dalam mulutnya ketika Endra tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan bertanya padanya. Mungkin, pikirannya sempat tidak berada di tempat selama beberapa saat.

“S-sepatu yang mana?” tanya Gina sembari berdiri dan menatap Endra takut-takut.

Endra mendecak sebal, “Sepatu hitam dari Fira.”

Nama itu. Nama yang selalu membuat Gina iri karena seringkali keluar dari mulut sang suami. “Kemarin aku cuci. A-akan aku ambilkan sekarang.”

Dengan langkah yang sengaja dipercepat, Gina lekas-lekas melangkah menaiki tangga menuju tempat jemuran yang biasa dipakai untuk menjemur baju. Ia masih membiarkannya di sana karena terlalu lelah untuk naik turun melewati tangga. Kakinya mudah merasa pegal dan tubuhnya yang semakin berat membuatnya sedikit menjadi pemalas.

Namun ketika kembali ke meja makan, ia tidak menemukan Endra di mana pun. Pintu rumah juga sudah kembali tertutup, bersamaan dengan terdengarnya suara mobil yang semakin mengecil.

“Mas Endra?” panggilnya. Khawatir sang suami tengah menunggunya yang bisa terbilang lama hanya untuk mengambil sepatu saja.

Ketika tidak mendapat sahutan, Gina melangkah menuju pintu dan memeriksa garasi yang ternyata mobil Endra sudah tidak ada di sana. Artinya, Endra sudah pergi, dan ia hanya bisa menghela napas kecewa sembari menenteng sepatu hitam yang sempat ia semir sebentar agar terlihat mengkilap.

Namun, hal mengejutkan kembali Gina dapati ketika ia kembali masuk untuk melanjutkan sarapannya. Makanan di atas piring yang sengaja ia siapkan untuk Endra telah kosong, hanya tersisa beberapa butir nasi dan tulang ayam serta air di dalam gelas yang tersisa setengah.

Tanpa berpikir keras, Gina langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan; menahan pekikan senang atas kejutan yang ia dapat di pagi hari.

***

“Pak Endra, maaf, client meminta izin untuk memajukan jadwal meeting. Jadi, meetingnya akan dimulai sekitar satu jam lagi.”

Memang pada dasarnya banyak hal yang sedang dipikirkan, jadi Endra sama sekali tidak mendengar ucapan anak magang itu. Bahkan kehadirannya pun belum Endra sadari.

“Pak Endra?”

Belum ada respon.

“Pak Endra? Maaf pak, anda mendengar saya?”

Masih sama. Hingga-

“Pak-“

“Astaga!”

Anak magang itu tak kalah terkejutnya dari Endra. Ia hanya menyentuh bahu Endra omong-omong, namun reaksi yang Endra berikan seolah ia tengah melakukan sesuatu yang berlebihan.

“Ma-maaf, pak, s-saya minta maaf.”

Ketika detak jantungnya berangsur normal, Endra menghela napas panjang kemudian berkata, “maafkan saya juga, Lin. Kamu udah lama di sini? Ada yang ingin disampaikan?”

Lina, yang baru magang sekitar 3 minggu itu kembali berkata dengan takut-takut. “Emm… T-tadi client dari PT. ERI ingin meminta izin anda untuk memajukan jadwal meeting-nya.”

“Dimajukan berapa lama?”

“Satu jam. Jadi, meeting­-nya akan dimulai sekitar satu jam lagi. Jika anda keberatan, akan saya sampaikan kepada mereka.”

“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Lagipula saya sedang senggang.”

“Baik, pak. Kalau begitu saya permisi. Sekali lagi saya minta maaf.”

Ketika pintu tertutup, Endra menghela napas panjang kemudian memijat pangkal atas hidungnya untuk menghilangkan pening dari sana.

Hari masih terhitung pagi, tapi pikirannya sudah tidak fokus dan tidak bisa berhenti memikirkan suatu hal yang juga menjadi alasan mengapa semalam ia sangat sulit tertidur.

Gina.

Iya, istrinya. Sedikitnya, ia merasa bersalah karena telah melakukan sedikit kekerasan dengan cara mencengkram rahang Gina kemarin sore. Bagaimanapun, itu adalah tindakan terjauhnya. Selama ini ia hanya mencerca Gina melalui perkataannya yang cenderung jahat, tidak pernah sekalipun menyentuh Gina dalam artian menyakitinya secara langsung.

Maka dari itu, ia menebus rasa bersalahnya dengan mencoba memakan masakan Gina untuk yang pertama kalinya. Meski terlihat sedikit memalukan karena harus dengan mengalihkan perhatian anak itu terlebih dahulu pada sepatunya, Endra tetap merasa puas karena berhasil memakan makanan itu dengan cepat tanpa harus duduk berdua dengan istrinya di sana.

Sampai kapanpun, ia tidak ingin. Maaf-maaf saja, Endra masih dendam pada Gina yang terus bersikeras melanjutkan perjodohan dengannya dua tahun lalu. Padahal, saat itu semua orang tahu bahwa ia masih memiliki kekasih, termasuk Gina. Dan itulah mengapa sampai detik ini Endra sangat membenci istrinya. Karena Gina, Fira memutuskan hubungan mereka dan kini hubungan keduanya tidak lebih dari teman. Tapi perasaan Endra masih sama besarnya seperti dulu, jadi ia tetap mendekati Fira meski perempuan itu terus menolaknya berkali-kali.

Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka tanpa permisi atau izin. Endra sudah akan marah namun yang datang ternyata sahabat karibnya –Daffa.

“Eettt… Tenang dulu, bro.” Daffa mengangkat jari telunjuknya ke hadapan Endra ketika ia melihat lelaki itu sudah akan membuka mulut untuk mengomeli ketidaksopanannya.

Seperti biasa.

“Gue mau kasih ini.”

Daffa menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna merah marun yang tampak simpel namun terlihat elegan. Sekilas, Endra bisa melihat namanya dan Gina di kolom nama tamu, tepat di bawah inisial nama kedua calon mempelai.

“Dih, nikahan lo?” Endra terkekeh seolah mengejeknya, namun yang keluar dari mulut Daffa sungguh di luar dugaan.

“Iya, dong. Bujangan terus capek, nggak ada yang urus. Memangnya lo doang yang mau dilayani istri? Gue juga mau kali.”

Meski hanya kalimat singkat, Endra sempat terdiam sesaat karenanya.

“Bisa aja lo.”

“Tapi gue serius, Ndra. Semenjak nikah lo makin keurus. Lihat baju lo, nggak pernah gue liat baju lo kusut lecek lagi semenjak nikah. Licin terus macam perosotan TK. Padahal lo nggak pakai jasa ART, kan?”

Perbincangan mengenai pernikahan tidak lagi menarik untuk Endra. Ucapan yang dilontarkan oleh Daffa juga membuat Endra merasa sedikit tidak nyaman dan gelisah. Padahal seharusnya ia merasa biasa saja. Toh, ia pun tetap menafkahi Gina di samping ketidaksukaannya pada perempuan itu.

“Omong-omong, acaranya minggu depan. Lo sama Gina bisa datang, kan?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status