“Ma…” Endra memanggil sang ibu yang masih betah duduk di samping hospital bed yang Gina tempati sejak setengah jam yang lalu. Sementara sang ayah tengah pergi membeli sarapan untuk istrinya. Tidak ada jawaban dari Irma. Maka dari itu, tanpa pikir panjang Endra langsung berlutut dan menundukkan wajahnya yang sudah memerah menahan tangis sedari tadi. Irma jelas terkejut. Seumur-umur baru kali ini anaknya bersikap merendah hingga berlutut seperti sekarang. “Maaf…” ucap Endra. Bahkan kini ia tak kuasa menahan tangisnya. “Maafkan Endra, Ma. Maaf, karena Endra ceroboh dan nggak dengarkan nasehat Mama dan Papa. Endra lakukan kesalahan fatal yang buat istri dan anak Endra dalam bahaya. Endra belum bisa jadi anak dan suami yang baik buat Mama dan Gina. Ha-harusnya… Harusnya Endra nggak ngelakuin ini semua. Maafkan Endra, Ma, maaf…” Hati ibu mana yang tidak luluh dengan pemandangan seperti itu. Jelas Irma adalah salah satunya. Jadi dengan berurai air mata, ia membantu Endra untuk berdiri dan
Endra hampir terlonjak dari tempat duduknya ketika mendengar panggilan lirih itu. Terlalu larut dalam lamunan membuat Endra luput akan kesadaran sang istri. “Gi-gina?” “Air…” lirihnya lagi. Lekas-lekas Endra menekan tombol di atas kepala ranjang sebelum membantu sang istri untuk minum melalui botol yang telah diberi sedotan. Irma sudah menyiapkan semuanya, omong-omong. Setelah selesai minum, Gina kembali ke posisinya tadi dan memejamkan matanya untuk beberapa saat. Efek bius masih melekat padanya, alhasil kepalanya sedikit pusing dan ia merasa bahwa tubuhnya tengah melayang-layang di udara. “Ada lagi yang kamu butuhin?” Gina hanya menggeleng lemah. Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Gina yang masih seperti orang linglung. Setelah selesai, dokter itu mengernyit melihat Endra yang terlihat pucat. Jadi ia berkata, “Pak, sebaiknya Anda istirahat. Jangan terlalu khawatir, sekarang keadaan Bu Gina sudah be
Irma sungguh tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi pada anak dan menantunya pagi ini? Ketika ia datang, keduanya hanya saling berdiam diri, terlihat canggung dan sedikit kikuk.Jadi setelah bertanya pada Gina tentang bagaimana keadaannya, dan memastikan semuanya baik, Irma mulai menelisik gerak-gerik kedua anak itu.“Kenapa? Kalian bertengkar?” tanya Irma to the point.Pertanyaan itu langsung dijawab gelengan oleh keduanya.“Jangan bohong. Pasti kalian bertengkar soal malam itu, kan?” tanyanya lagi. “Endra, Gina marah, kan, sama kamu gara-gara malam itu? Sudah Mama bilang kamu itu keterlaluan, seharusnya kamu –“Usapan tangan sang suami pada punggungnya membuat kalimat Irma terhenti seketika. Ia menoleh pada Ardi yang duduk di sampingnya. Suaminya itu memberi kode padanya untuk tak melanjutkan ucapannya yang terkesan mencampuri urusan rumah tangga sang anak. Beruntung Irma adalah tipe yang penurut.“Maaf, Mama nggak bermaksud mencampuri urusan rumah tangga kalian. Mama hanya kha
Gina menatap Endra yang tengah berdiri membelakanginya sembari berbicara melalui telepon di dekat jendela ruangan yang mereka tempati. Suaminya itu tiba-tiba mendapat telepon sesaat sebelum pembicaraan mereka dimulai.Sebetulnya Gina paham apa yang akan Endra bicarakan. Ia hanya belum sanggup untuk kembali menampung semua beban hidupnya di saat-saat yang tak memungkinkan seperti ini. Bahkan segala bentuk perhatian dan perubahan sikap yang Endra tunjukkan padanya sama sekali tak sampai ke dalam hatinya. Ia tahu Endra hanya merasa bersalah, bukan menyesal apalagi merasa khawatir layaknya suami lain ketika istrinya yang tengah hamil berada dalam situasi berbahaya.Gina tahu. Tapi, biarkan ia untuk menikmati perhatian Endra yang masih palsu ini.“Maaf, barusan ada telepon dari kantor.”Anggukan Gina berikan sembari tersenyum tipis. “Diselesaikan saja dulu, Mas.”“Sudah selesai,” jawab Endra. “Bisa kita mulai bicara?”Gina tak memberikan jawaban, sekadar menggeleng atau mengangguk pun tak
“M-mas, a-aku –““Nggak apa-apa, santai saja. Maaf juga kalau aku lancang.”Kedua suster tadi sudah pergi beberapa menit lalu. Dan mereka yang tinggal bertiga di dalam ruangan itu, termasuk bayinya, hanya bisa berdehem canggung atas yang tengah terjadi.Sekadar info, kegiatan tadi masih berlangsung. Dan Gina luar biasa gugup dibuatnya.“Kayaknya udah cukup, Mas, ASI-nya udah keluar sedikit.”Endra seolah tersadarkan dari lamunannya, jadi ia sedikit terkejut. “O-oh, iya.”Pompa ASI itu Endra lepaskan dari payudara sang istri. Lantas ia menaruhnya di atas meja sesuai dengan instruksi suster tadi.Benar saja, kini anaknya tidak lagi menolak disusuinya. Bahkan mata anak itu terbuka, tanpa menangis atau merengek. Hanya diam menatap Gina meskipun Gina tahu penglihatan mata anaknya belum berfungsi normal.Mata Gina berkaca-kaca, menatap sang buah hati yang selama ini ia perjuangkan keberadaan dan kesehatannya. Bahkan setelah semua yang dilakukan Endra, setelah semua pesakitannya baik secara
“Nggak apa-apa, kok, Pak. Pengaruh bius dan obat pereda sakitnya sudah hilang, jadi rasa sakitnya sangat terasa. Setelah ini, ibu makan, lalu diminum lagi obatnya, ya, Bu. Nanti akan dibantu oleh suster.”Endra mengucapkan terima kasih pada dokter itu, kemudian kembali duduk di samping ranjang dan menatap Gina sebentar sebelum berinisiatif untuk menyodorkan air mineral pada sang istri.“Minum dulu.”Gina menurut lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap Endra dengan sendu seolah merasa bersalah. “Maaf jadi repotin Mas.”Entah mengapa hati Endra terasa diremas ketika mendengarnya. “Aku nggak merasa direpotin.”Senyuman tipis Gina selalu Endra lihat akhir-akhir ini. Ia jadi penasaran, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan Gina ketika tersenyum dengan cara seperti itu?Tak lama suster datang, memberikan makan malam untuk Gina lengkap dengan obat yang sudah disiapkan.Setelah semua s
Gina masih menunggu hal yang akan Endra lakukan setelahnya. Karena sedari tadi sang suami masih diam, mematung sembari menggenggam sepasang baju yang akan dikenakannya.Akhirnya Gina sadar bahwa ia terlalu lancang mengatakan hal itu. Mungkin saat ini Endra tengah memikirkan sesuatu seperti betapa menjijikannya ia karena meminta hal seperti itu pada lelaki yang tak peduli padanya.“Maaf, Mas, aku lancang, aku –“Ucapannya terhenti ketika Endra tiba-tiba berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang masih setengah berbaring di tempat tidur. Gina jelas terkejut, namun rasa haru dan sedih lebih mendominasi ketika dengan jelas ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar pada tubuhnya.Maka dari itu ia langsung membalas pelukan sang suami. Pelukan pertama yang mereka lakukan tanpa paksaan keadaan, tanpa sandiwara yang biasa mereka lakukan. Meski Gina terkesan mengemis untuk mendapatkan ini, tapi sejatinya ia telah kehilangan harga dirinya dari semenjak Endra sering memperlakukannya dengan se
“Sudah?” tanya Endra dari luar.“Sudah, Mas.”Endra kembali masuk dan membantu Gina untuk kembali berjalan ke tempat tidur. Tubuh istrinya itu terbilang cukup kecil untuk seseorang yang baru saja melahirkan. Jadi Endra tak merasa kesulitan sedikit pun untuk memapahnya, bahkan untuk menggendongnya pun Endra rasa masih bisa ia lakukan.“Aku mau lanjut kerja, tinggal sedikit lagi. Habis itu aku kupasin buah buat kamu.”“Makasih, Mas.”Senyum manis Gina yang jarang ia lihat kini terpampang jelas di hadapannya. Sangat manis dan cantik. Endra tidak munafik, ia juga lelaki normal yang punya ketertarikan pada keindahan lawan jenis.“Sama-sama.”***Beberapa hari berlalu dan Gina beserta anaknya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Raut kebahagiaan tercetak jelas di wajah keluarganya, apalagi Anna yang tak henti memekik setiap melihat sang keponakan yang sangat lucu.“Adudududuhhh… Ponakannya aunty…”“Udah, dong. Dia takut sama kamu.”Ujaran ketus dari sang kakak tak kalah dibalas ketu