LOGINMalam itu, setelah para pelayan selesai membersihkan kamar dan membawa peralatan makan malam, Theron memandang Felicity yang sedang merapikan buku-buku catatan medisnya di atas meja kecil dekat jendela.
"Flick," mulainya dengan suara rendah yang agak serak, "aku telah memutuskan untuk pulang ke kediamanku besok pagi. Ada banyak pekerjaan dan tanggung jawab yang sudah menumpuk dan tidak bisa lagi kutunggu."Felicity mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas, mata hazelnya yang tajam memandang Theron dengan tatapan menilai. "Apakah kau benar-benar yakin dengan kondisi tubuhmu saat ini, Theron? Luka di lenganmu masih membutuhkan perawatan rutin, dan demammu baru saja reda dua hari lalu. Aku tidak yakin ini keputusan yang bijaksana."Theron berpura-pura menggerakkan lengannya yang terluka dengan ekspresi sedikit kesakitan. "Sudah cukup membaik, sungguh. Aku tidak bisa terus menerus mengganggu waktumu dan menjadi beban di sini. Kau sudah terlalu baik merawatku sDi sisi lain, pencarian yang dilakukan para prajurit Rourke berlangsung tanpa hasil. Selama berjam-jam mereka menyisir setiap jengkal tepian sungai, mengorek-ngorek kolam yang tenang, memeriksa setiap tumpukan ranting dan akar yang bisa menjebak tubuh. Suara panggilan mereka yang semula penuh semangat, berubah menjadi teriakan letih yang tenggelam dalam gemuruh air. Kaki mereka tergores batu tajam, seragam basah kuyup memberatkan langkah, dan dinginnya air sungai mulai merasuk ke tulang."Sial, tidak ada apa-apa!" geram salah seorang prajurit, melemparkan tongkat pengaduknya ke air. "Bahkan sehelai kain pun tidak!"Yang lain hanya mengangguk lelah, bersandar di batu besar. Mereka telah mencapai titik pertemuan dua anak sungai, jauh dari lokasi tebing, dan tetap kosong. Anggapan awal bahwa mayat atau orang hidup akan tersangkut di suatu tempat, terbukti salah. Sungai itu seolah menyembunyikan rahasianya dengan amat baik.Kapten Rourke, yang wajahnya semakin
Dengan langkah yang tak membuat batang gandum terkulai sekalipun, The Grey Gentleman melintasi tepian ladang yang mulai disiram cahaya keemasan senja. Rumah petani itu berdiri tegak di tengah ketenangan, bayangannya memanjang menyambutnya. Asap tipis dari cerobongnya membubung lurus ke langit kelabu yang perlahan berubah menjadi lembayung, tanda kehidupan yang sederhana dan berulang. Di ladang seluas beberapa petak itu, sepasang lansia sedang menyelesaikan pekerjaan hari itu. Sang suami, bertopi jerami usang, mencangkul dengan ritme lambat namun pasti, sementara istrinya membungkuk di antara bedengan sayuran, keranjang anyaman di pangkuannya perlahan terisi hijau segar.Kehadiran The Grey Gentleman baru dirasakan ketika ia sudah berada tepat di hadapan mereka, bagai muncul dari bayangan sendiri. Kedua orang tua itu terhenti, mata mereka yang keriput menyipit menatap sosok asing yang tak lazim: pria tinggi dengan pakaian bagus berwarna abu-abu, wajahnya sulit diingat meski b
Dunia kembali dengan gemuruh yang redup dan sensasi dingin yang meresap.The Grey Gentleman berdiri di tepian sungai yang berbatu, air deras menyentuh ujung sepatunya yang elegan namun tak membasahinya. Di lengannya, Felicity terbaring tak berdaya, tubuhnya yang ringan terasa seperti rangkaian burung yang patah. Gaunnya yang basah dan compang-camping melekat pada kulit pucatnya, rambutnya yang seperti sutra gelap menutupi sebagian wajahnya yang seperti porselen retak.Dengan gerakan yang hampir ritualistik, ia menurunkan tubuh gadis itu ke sebuah hamparan lumut tebal dan datar, terlindung oleh akar-akar besar pohon tumbang. Proses jatuhnya telah dimanipulasi dengan kekuatannya; momentum mematikan telah diubah menjadi luncuran terkendali, benturan dengan air didistribusikan, dan arus dibelokkan untuk membawa mereka ke tepian yang relatif tenang ini. Tak ada patah tulang yang fatal, tak ada luka dalam yang menganga. Secara fisik, dia selamat secara ajaib. Tapi tubuhn
Rourke terdiam membatu di tepi jurang. Tangannya masih terulur, seolah ingin meraih sesuatu dari udara kosong tempat Felicity Ashworth baru saja menghilang. Angin menyapu teriakannya yang panik, "TIDAK!", meninggalkan hanya kesenyapan yang diselingi deru sungai di bawah.Wajahnya yang biasanya penuh kalkulasi dingin kini memucat, bukan karena kesedihan, tetapi karena ketakutan murni. Buruannya telah lolos. Bukan melarikan diri, tetapi menghilang sama sekali. Dan dia tahu, dengan kepastian yang membekukan tulang. Lord Septimus mengharuskan hasil. Selalu."Kapten...?" salah satu prajuritnya mendekat, suaranya ragu, melihat ekspresi atasan mereka yang seperti orang yang telah menerima vonis mati.Rourke berbalik. Ketakutan di matanya cepat tersamar oleh amarah yang meluap. Amarah terhadap situasi, terhadap gadis itu, dan terutama terhadap dirinya sendiri yang telah salah perhitungan. "BODOH!" hardiknya, tapi sia-sianya tidak jelas ditujukan kepada siapa. "Dia
Teriakan Rourke yang panik, "TIDAK!" baru saja meledak di udara, tapi dunia di sekitar Felicity berubah.Angin yang mencabik-cabik gaunnya tiba-tiba seolah mengental. Waktu melambat hingga merangkak. Suara gemuruh sungai berubah menjadi deru rendah yang terdistorsi. Dalam keadaan setengah sadar, Felicity merasa dirinya bukan lagi jatuh bebas, tetapi seperti melayang di dalam madu kental.Lalu, sebuah bayangan menghalangi cahaya langit kelabu di atasnya.The Grey Gentleman ada di sana, entah bagaimana sudah berpindah dari bukit yang jauh ke udara di sampingnya. Jasnya tidak berkibar; ia seolah-olah menjadi bagian dari ruang yang melengkung itu sendiri. Wajahnya tetap sulit dibaca, tetapi ada intensitas baru di matanya yang abu-abu. Tangan panjangnya meraih lengan Felicity yang terkulai.Sentuhannya dingin, tetapi kuat dan pasti. Sebelum kesadaran sepenuhnya hilang, Felicity menangkap siluet itu, mengira dirinya sudah mati dan dijemput oleh malaikat
Udara dingin menusuk tulang ketika Felicity dipaksa turun dari kereta. Tubuhnya menggigil, tetapi di balik kelemahan itu, sesuatu yang lain menggelegak. Sebuah letusan terakhir dari keinginan untuk hidup, dipicu oleh adrenalin murni dan keputusasaan."Jangan sentuh dia dengan kasar!" Dokter Aris membentak ketika seorang prajurit menarik lengan Felicity. Suaranya memancarkan otoritas yang membuat prajurit itu sedikit mundur.Perawat Clara segera menyangga tubuh Felicity yang limbung. Di bawah napas yang pendek, dia berbisik, "Lady, pada hitungan ketiga, saya akan menjatuhkan obat pengabur pandangan ini. Lari ke arah hutan di sebelah kiri. Jangan lihat ke belakang."Felicity menganggak hampir tak terlihat, jantungnya berdebar kencang bagai genderang perang. Tenaga terakhirnya terkumpul."SATU... DUA..." bisik Sister Clara, tangannya meraih sesuatu dari sakunya.Pada hitungan ketiga, Clara melemparkan kapsul kecil ke tanah yang pecah dan men







