Dia terlahir kembali sebagai Felicity "Flick" Ashworth. Sebagai anak ajaib, tingkahnya dianggap aneh. Di usia tiga tahun, tanpa sadar membuat skema hidrolik di pasir. Di usia delapan, membetulkan jam rumit hanya dengan sekilas. Setiap ide baru datang, tubuhnya tegang, matanya kehilangan fokus, seolah dikendalikan kekuatan luar.
Satu-satunya perlindungannya adalah orang tuanya, Count Gregory dan Lady Eleanor. Mereka melihat kelelahan di balik mata Flick yang selalu waspada. "Tenang, sayang. Dunia tidak akan runtuh jika kamu beristirahat," bisik sang Ayah. Pelukannya adalah satu-satunya hal yang bisa meredam desakan di kepala Flick. Namun, musim dingin di usia Flick yang ke-16 membawa wabah mematikan. Pengetahuannya tentang mikrobiologi dan sanitasi modern berteriak dalam pikirannya, menawarkan solusi. Tapi siapa yang akan mendengarkan seorang gadis remaja tentang "bakteri"? Gregory dan Eleanor tertular. Flick berjuang siang-malam di laboratorium pribadinya, mencoba membuat obat dan menyebarkan pemahaman sanitasi. Tapi semuanya terlambat. Di pertengahan musim semi, mereka meninggal, meninggalkan Flick sendirian. Kematian mereka adalah kegagalan pertamanya yang paling menghancurkan. Pengetahuan yang dikiranya bisa menyelamatkan nyawa, ternyata tak berdaya. Cahaya terakhir dalam hidupnya yang terkutuk pun padam. Di pemakaman, yang paling jelas terlihat adalah sosok Lady Evangeline Ashworth, bibinya yang tua. Seorang wanita tegak dengan nilai tradisi dan kehormatan keluarga. Kematian adiknya adalah tragedi, tapi juga peluang. Kini, dialah wali Flick—dan wali dari "jenius" yang mulai menarik perhatian kerajaan. Seminggu setelah pemakaman, Evangeline memasuki kamar Flick. "Cukup berkabung. Kesedihan tidak akan mengembalikan mereka. Yang akan mengembalikan kehormatan keluarga ini adalah tindakan," katanya, suara dingin memotong kesedihan Flick. Dia mengambil sketsa pompa air inovatif Flick. "Ini yang berharga. Raja telah mendengar tentang bakatmu. Pekerjaanmu sekarang adalah untuk kerajaan dan nama keluarga kita. Setiap penemuanmu adalah persembahan untuk mengenang orang tuamu." Kata-kata itu seperti pukulan keji. Dengan menyandera kenangan orang tuanya, Evangeline membungkus rantai "berkah" Flick dengan pita kewajiban dan kesetiaan. Hidup Flick yang sudah terkutuk kini mendapat navigator yang kejam. Lady Evangeline akan memastikan bahwa "si jenius" tidak akan pernah berhenti bekerja. Tiga hari setelah Felicity menyerahkan desain kincir airnya, seorang utusan kerajaan tiba. Jantung Felicity berdebar kencang, sementara bibinya, Lady Evangeline, menyembunyikan kepuasannya. "Rapikan dirimu," bisik Evangeline, "Jangan mempermalukan keluarga kita." Lord Lysander Finchley, Putra Mahkota Kerajaan, berdiri di ambang pintu ruang tamu hijau Kediaman Ashworth. Kehadirannya yang tak terduga membuat suasana berubah dalam sekejap. Felicity mengangkat kepala, bersiap mengenakan topeng Lady Ashworth yang dingin. Tapi yang ia temui adalah sosok yang sama sekali berbeda dari bayangannya. Bukan utusan biasa, melainkan Putra Mahkota sendiri dengan wajah serius penuh penghormatan. "Lady Evangeline, Lady Felicity," sapa Lysander dengan suara berwibawa, "Saya datang atas nama Yang Mulia Raja." Saat matanya bertemu dengan Felicity, ada sesuatu yang terkilir di dalamnya - sebuah pengakuan diam-diam yang membuat Felicity sedikit terkesiap. Seolah-olah dia bisa melihat langsung melalui topeng rapuh yang selama ini ia kenakan. "Desain irigasi House Ashworth telah membuat Yang Mulia terkesan," ujar Lysander, mengulurkan gulungan perkamen berstempel kerajaan. "Namun, Yang Mulia ingin memastikan keaslian karya ini secara langsung. Lady Felicity, keahlian Anda sangat dinantikan di Istana." Lady Evangeline segera mencoba mengambil alih percakapan, suaranya meninggi penuh ambisi. "Tentu, Felicity akan dengan senang—" "Tidak perlu khawatir, Lady Evangeline," sela Lysander dengan halus, tatapannya tetap pada Felicity. "Saya sendiri yang akan menjamin keamanan dan kenyamanan Lady Felicity." Dalam pertukaran tatapan singkat itu, Felicity menangkap sesuatu yang tak terduga: pengertian. Sebuah pengakuan bahwa mereka berdua memahami permainan yang sama, meski berada di sisi yang berbeda. Saat Lysander pergi, ruang tamu kembali sunyi. Lady Evangeline berbalik dengan wajah menghitung. "Mereka semua ingin sesuatu darimu, Felicity." Tapi untuk pertama kalinya, kata-kata bibinya terasa hampa. Gulungan perkamen di tangan Felicity terasa berat, namun membawa harapan baru. Ini bukan sekadar undangan - ini adalah pengakuan atas identitasnya, dan mungkin, kunci menuju kebebasan. Di antara ambisi bibinya dan tuntutan kerajaan, Felicity mulai melihat jalan ketiga. Sebuah kemungkinan dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar pion dalam permainan kekuasaan. Setelah pintu tertutup, Felicity masih gemetar, gulungan perkamen kerajaan terasa membara di tangannya. Kelelahan yang baru saja reda kembali menyerangnya. Dia hampir terjatuh di kursi, pandangan kosong. "Flick?" Suara lembut itu berasal dari Beatrice Croft, pelayan pribadinya yang sudah seperti saudara. Bea masuk membawa nampan dengan teh chamomile yang harum. Wajahnya yang biasa tenang kini tampak mengkhawatirkan. "Kudengar suara-suara tadi," ucap Bea sambil meletakkan nampan. Matanya yang tajam langsung menangkap kelelahan mendalam di wajah Felicity. Bea berlutut di sampingnya, mengambil gulungan perkamen dari tangan Felicity dengan lembut. "Lepaskan dulu," bisiknya. Dia menuangkan teh hangat dan membungkus tangan Felicity yang dingin dengan tangannya yang hangat dan sedikit kasar. "Bea, aku harus pergi ke Istana," lirih Felicity. "Tapi Istana masih ada di sana besok pagi," jawab Bea praktis. "Malam ini, yang kau butuhkan adalah teh ini dan istirahat." Berbeda dengan bibinya yang memandang Felicity sebagai mesin, Bea mengenalnya sebagai manusia. Dialah satu-satunya yang masih memanggilnya "Flick" - panggilan akrab dari masa kecilnya. Di hadapan Bea, Felicity akhirnya melepaskan tangisnya. Di ruangan yang semakin gelap itu, dengan Bea di sampingnya, dia bukan lagi Lady Ashworth yang terkutuk, melainkan hanya Flick - seorang gadis lelah yang bersyukur masih memiliki seseorang yang memahami. -Bersambung-Setelah bermain di taman dengan Rowan, keringat membasahi pelipis Felicity dan sedikit noda tanah menghiasi ujung gaun sederhananya. Dengan tubuh yang lelah namun hati yang ringan, dia bergegas menuju kamar pribadinya.Mereka memasuki kamar mandi pribadi Felicity, yang merupakan salah satu 'proyek' pertamanya yang berhasil diwujudkan. Ruangan ini adalah oasis modern di tengah dunia kuno. Ubin putih bersih, keran kuningan yang mengalirkan air—baik dingin maupun hangat yang dialirkan dari tangki pemanas di loteng—dan yang paling penting, toilet dengan sistem pembuangan yang efisien.Saat dia berendam di bak mandi, membiarkan air hangat melumerkan ketegangan di pundaknya, pikirannya kembali melayang kepada pertemuan mengerikan dengan The Grey Gentleman. Dia teringat dengan jelas saat itu—baru saja turun dari kereta kuda, hendak menaiki tangga besar menuju istana.Dan di sana, di tengah-tengah keramaian dan kemewahan istana, dia berdiri. Di atas tangga besar,
Sinar mentari musim semi yang keemasan menyapu hamparan rumput hijau di taman kediaman Ashworth, menerangi sebuah pemandangan yang jarang terlihat. Di tengah taman, Felicity Ashworth berlari-lari dengan gaun sederhananya yang berkibar ditiup angin, mengejar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun—Rowan, putra dari kepala tukang kebun. Tawa lepasnya bergema di udara, begitu bebas dan riang, sangat kontras dengan kesan sang "jenius terkutuk" yang melekat padanya. "Tangkapi aku, Rowan!" teriak Felicity, wajahnya bersinar bahagia saat anak itu berhasil menangkapnya dengan pelukan erat. Mereka berdua terjatuh di atas hamparan bunga dandelion, tertawa terbahak-bahak tanpa beban. Beatrice Croft, yang duduk di bangku taman tak jauh dari mereka, tak bisa menyembunyikan senyum lembut di bibirnya. Pelayan setia itu dengan hati-hati menyiapkan lemonade dan roti lapis—sebuah suguhan sederhana yang disukai Felicity. Matanya yang biasanya penuh kehawatiran kini b
Ketenangan itu terasa nyata, hampir seperti mimpi. Setelah berhasil lolos dari kewajiban sosial selama satu hari penuh, Felicity merasa sedikit lebih berani. Bea, dengan efisiensi seorang jenderal yang melindungi bentengnya, telah berhasil menangkis semua upaya bibinya untuk mengganggu. Hari ini, Felicity tidak ingin sekadar bersembunyi di balik tirai kamarnya. Dia butuh sesuatu yang lebih. Dia butuh langit. Dengan novel yang dibawanya—lebih sebagai tameng dari dunia daripada untuk dibaca—dia menyelinap ke taman belakang. Di bawah naungan pohon oak besar yang daunnya berbisik lembut ditiup angin, dia menemukan tempat yang sempurna. Rumputnya lembut dan bersih, dirawat dengan sempurna oleh tangan-tangan yang dia tahu pemiliknya. Dia berbaring, meletakkan novelnya terbuka di atas wajahnya, menghalangi cahaya matahari yang terlalu cerah untuk suasana hatinya yang ingin merana. Aroma tanah dan bunga memenuhi indranya. Desiran angin sepoi-sepo
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar di udara. Biasanya, sinar ini akan menjadi alarm alami yang tidak diinginkan bagi Felicity, penanda dimulainya hari baru yang akan diisi dengan tuntutan dan desakan di kepalanya.Tapi hari ini berbeda.Hari ini, Felicity membuka mata dan dengan sengaja memalingkan wajahnya ke bantal. Tubuhnya terasa seperti dikeruk hingga habis. Otaknya, yang biasanya sudah berderak dengan ide-ide sejak dia terjaga, terasa kosong dan peka, seperti luka terbuka. Presentasi di istana kemarin bukan hanya menghabiskan tenaganya; itu seperti menguras satu tahun tenaganya hanya untuk satu hari. Bahkan bayangan pertemuan dengan Lysander di taman, yang semestinya menyenangkan, tak mampu mengusir kelelahan mendalam yang menyelimuti seluruh keberadaannya.Dia mendengar ketukan halus di pintu, diikuti dengan suara Bea yang tenang. "Flick? Sudah bangun?""Tidak," gerutnya, suaranya parau, sam
-Ruang Kerja Raja-Beberapa jam kemudian, Lady Evangeline memasuki ruang kerja raja dengan langkah anggun."Yang Mulia, semoga saya tidak mengganggu.""Tidak sama sekali," jawab Raja Edmund. "Saya sedang memikirkan keponakan perempuan Anda yang luar biasa.""Sebagai walinya, kekhawatiran saya sering mengalahkan kebanggaan," ujar Evangeline dengan senyum tipis. "Felicity adalah jiwa yang spesial. Jeniusnya datang dengan kepekaan yang luar biasa. Dia mudah kewalahan."Dia maju sedikit, suaranya lebih intim. "Hari ini, saya melihat sesuatu yang memberi harapan. Saya melihat bagaimana Lord Lysander memperhatikannya. Bukan sebagai jenius, tapi sebagai wanita."Raja Edmund terlihat tertarik. "Lysander?""Ya, Yang Mulia." Evangeline tersenyum penuh perhitungan. "Bukankah menarik? Persatuan antara House Ashworth dan kerajaan. Felicity akan mendapat pelindung seumur hidup. Dan bakatnya tetap dalam pelukan kerajaan."Dia
Setelah badai di ruang pertemuan reda, keheningan menyelimuti koridor istana saat Felicity dipandu Lysander berjalan menuju ruang singgasana. Getaran kemarahan yang membawanya melalui presentasi mulai mereda, digantikan kelelahan yang terasa seperti beban di tulangnya.Lysander melemparkan pandangan khawatir. "Tadi... Anda luar biasa," bisiknya. "Saya belum pernah melihat Profesor Sterling terdiam seperti itu."Felicity mengangguk lemah. "Mereka hanya membutuhkan data, bukan kata-kata kosong." Yang tak diucapkannya adalah bahwa setiap kata terasa menyedot sedikit nyawanya.Saat pintu terbuka, Raja Edmund duduk di singgasananya. Yang mengejutkan, di sampingnya berdiri Lady Evangeline. Bibinya yang ternyata menyusul tersenyum puas, tapi matanya menyampaikan pesan jelas: Jangan gagal."Lady Felicity Ashworth," sambut Raja Edmund. "Profesor Sterling mengirim pesan bahwa kami telah menyaksikan kelahiran seorang jenius."Felicity membungkuk ren