Mag-log inSetelah badai di ruang pertemuan reda, keheningan menyelimuti koridor istana saat Felicity dipandu Lysander berjalan menuju ruang singgasana. Getaran kemarahan yang membawanya melalui presentasi mulai mereda, digantikan kelelahan yang terasa seperti beban di tulangnya.
Lysander melemparkan pandangan khawatir. "Tadi... Anda luar biasa," bisiknya. "Saya belum pernah melihat Profesor Sterling terdiam seperti itu." Felicity mengangguk lemah. "Mereka hanya membutuhkan data, bukan kata-kata kosong." Yang tak diucapkannya adalah bahwa setiap kata terasa menyedot sedikit nyawanya. Saat pintu terbuka, Raja Edmund duduk di singgasananya. Yang mengejutkan, di sampingnya berdiri Lady Evangeline. Bibinya yang ternyata menyusul tersenyum puas, tapi matanya menyampaikan pesan jelas: Jangan gagal. "Lady Felicity Ashworth," sambut Raja Edmund. "Profesor Sterling mengirim pesan bahwa kami telah menyaksikan kelahiran seorang jenius." Felicity membungkuk rendah. "Yang Mulia terlalu baik. Saya hanya melakukan apa yang perlu dilakukan." "Desain Anda tidak hanya brilian, tetapi visioner." Raja berdiri mendekati Felicity. "Kerajaan berhutang budi pada Anda." Di balik bahu raja, Felicity melihat bibinya membusungkan dada. Namun yang membuatnya nyaris tersedak adalah penampakan di sudut ruangan - sosok pria berjas abu-abu yang hanya bisa dilihatnya, dengan senyum puas yang mengutuk. Sosok yang sama yang muncul pertama kali saat Flick menaiki tangga istana sebelum pertemuan penting ini. Kini dia hadir lagi, menyaksikan setiap detik dengan mata yang mengetahui segalanya. "Harmoni yang indah," bisik suara itu langsung dalam pikirannya, sebuah "berkah" sekaligus kutukan yang melekat sejak kelahirannya kembali di dunia ini. Hanya Felicity yang bisa melihat dan mendengar dewa yang mengutuknya ini, sebuah pengingat akan takdirnya yang tak terelakkan: terus mencipta tanpa henti. Felicity berusaha keras untuk tidak bereaksi. Pujian raja yang seharusnya menjadi kehormatan, justru terasa seperti rantai yang semakin mengencang di pergelangannya. "Ada satu hal lagi," lanjut Raja. "Saya ingin menawarkan posisi sebagai Penasihat Teknis Kerajaan. Anda akan memiliki sumber daya untuk mewujudkan ide-ide Anda." Tawaran itu mengguncangnya. Mimpi bagi siapa pun, tapi mimpi buruk baginya. Sebelum Felicity menjawab, Lysander dengan halus mencuri perhatian. "Yang Mulia, mungkin keputusan ini bisa dipertimbangkan lebih lanjut? Lady Ashworth tampak sangat lelah." Raja mengangguk bijak. "Pertimbangkan tawaran ini, Lady Ashworth." Pintu ruang singgasana tertutup dengan bunyi gemeratak yang lembut, meninggalkan Felicity dan Lysander sendirian di koridor yang sunyi. Felicity menghela napas panjang, bahunya sedikit turun. Keangkuhan yang ditunjukkannya di dalam ruangan tiba-tiba memudar, meninggalkan kelelahan yang mendalam. Dia menutup matanya sebentar, mencoba mengusir bayangan senyum sang dewa. "Lady Felicity," ucap Lysander dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, memecah kesunyian. "Apakah Anda baik-baik saja?" Felicity membuka matanya dan menemukan tatapan Lysander yang penuh perhatian. Bukan tatapan penilaian atau ekspektasi seperti kebanyakan bangsawan, tapi sebuah ketulusan yang membuatnya sedikit lengah. "Beban seorang 'jenius' ternyata cukup berat, Lord Finchley," jawabnya, berusaha santai, tapi nada kecutnya tak sepenuhnya berhasil disembunyikan. Lysander tersenyum kecil. "Saya bisa membayangkannya. Ayah saya... Raja, tidak mudah memberikan pujian seperti itu. Tapi dia benar. Apa yang Anda tunjukkan tadi sungguh luar biasa." Dia memandangnya sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Dan, jika saya boleh jujur, sedikit menakutkan." "Menakutkan?" tanya Felicity, alisnya naik. "Ya," akunya dengan jujur. "Melihat seseorang dengan kecerdasan seperti Anda bisa membuat orang seperti saya merasa... tidak cukup. Tapi juga, membuat saya ingin belajar lebih banyak." Ini adalah sisi baru dari Putra Mahkota. Di pesta-pesta kerajaan sebelumnya, interaksi mereka tidak pernah melebihi salam formal dan obrolan ringan tentang cuaca atau acara sosial. Dia selalu tampak sempurna, terjaga, dan sedikit jauh. Kini, di koridor yang sepi, dia justru menunjukkan kerendahan hati dan rasa ingin tahu yang tulus. Felicity merasa pertahanannya sedikit meleleh. "Saya yakin Anda hanya berbasa-basi, Lord Finchley. Seorang Putra Mahkota tidak perlu merasa 'tidak cukup' di hadapan siapa pun." "Justru karena saya seorang Putra Mahkota, saya tahu betapa pentingnya mengelilingi diri dengan orang-orang yang lebih pintar dari saya," bantahnya dengan serius. "Kekuasaan tanpa kebijaksanaan dan pengetahuan hanyalah tirani yang menunggu waktu." Kalimat itu menyentuh sesuatu dalam diri Felicity. Ini adalah perspektif yang jarang didengarnya dari kalangan bangsawan, yang kebanyakan hanya peduli pada kekuasaan dan warisan. "Sebuah pernyataan yang sangat bijaksana," ujarnya, dan kali ini, nada sarkasme itu benar-benar hilang dari suaranya. Lysander menawarkan lengannya. "Izinkan saya mengantar Anda ke taman, Lady Felicity. cuaca hari ini sedang bagus, dan saya rasa Anda bisa menggunakan sedikit udara segar sebelum kembali menghadapi... segala sesuatu ini." Felicity ragu sejenak. Menerima tawaran ini berarti memperpanjang interaksi mereka, membiarkan dinding yang selama ini dia bangun antara dirinya dan dunia perlahan-lahan retak. Tapi kelelahan dan keinginan untuk menghirup udara bebas, bahkan untuk sesaat, terlalu kuat. Dia meletakkan tangannya dengan ringan di lengan Lysander. "Terima kasih, Lord Finchley. Itu... Hal yang saya butuhkan." Saat mereka berjalan menyusuri koridor menuju taman, percakapan mereka mengalir dengan mudah. Lysander bertanya tentang proses pemikirannya merancang kincir air, bukan dengan rasa ingin tahu yang sembrono, tapi dengan pertanyaan mendalam yang menunjukkan dia benar-benar mendengarkan presentasinya. Felicity, yang biasanya enggan membagikan pemikiran terdalamnya, merasa nyaman untuk menjawab. Sebaliknya, Felicity menemukan diriinya bertanya tentang visi Lysander untuk pertanian kerajaan, dan terkejut mendengar pengetahuannya yang luas tentang tantangan yang dihadapi petani biasa—sesuatu yang tidak dia duga dari seorang pangeran. "Kadang, duduk di balik tembok istana membuat kita lupa bagaimana bau tanah setelah hujan," ucap Lysander suatu kali, membuat Felicity tersenyum untuk pertama kalinya sejak tiba di istana. Itu adalah senyum yang tulus, kecil, dan sedikit malu, tapi cukup untuk membuat Lysander terdiam sejenak, memandanginya dengan ekspresi lembut yang membuat pipi Felicity memerah. Di taman, untuk sesaat yang singkat, Felicity melupakan kutukannya, melupakan tuntutan bibinya, dan melupakan bayangan pria berjas abu-abu. Dia hanya dua orang muda yang saling menemukan kesamaan dalam ketidakcocokan mereka dengan dunia yang menjebak mereka. Saat mereka harus berpisah, Lysander berkata, "Tolong pertimbangkan tawaran Ayah, Lady Felicity. Kerajaan membutuhkan pikiran seperti Anda. Dan... saya harap kita bisa berbicara lagi seperti ini." "Begitu juga dengan saya, Lord Finchley," balas Felicity dengan suara lembut, dan dia menyadari bahwa itu bukanlah basa-basi. Benih ketertarikan telah tertanam. Bukan hanya karena penampilan atau status, tapi karena saling pengertian dan rasa hormat terhadap pikiran satu sama lain. Di tengah semua tekanan dan kutukan, sebuah kemungkinan baru yang tak terduga mulai tumbuh.Lysander mendekapnya lebih erat, bingung tapi berusaha menenangkan. "Siapa, Flick? Siapa yang ada di sini?" tanyanya lembut sambil menatap sekeliling ruangan yang kosong."Dia... pria itu... dengan setelan abu-abu..." ucap Felicity tergagap, masih gemetar. "Selama ini... dia menghantuiku..."Sekarang Lysander memahami. Ini bukan sekadar kelelahan atau stres, ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi pada Felicity. Sesuatu yang membuatnya melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain.Pelukan Lysander bagai menjadi dinding kokoh yang menahan semua sisa-sisa badai emosi dalam diri Felicity. Setelah amukannya yang meledak-ledak, setelah tangis histeris yang menguras habis tenaga terakhirnya, tubuhnya yang kelelahan akhirnya menyerah. Getaran di pundaknya perlahan mereda, napasnya yang tersengal-sengal berubah menjadi teratur dan dalam. Di dalam dekapan hangat Lysander, di antara rasa aman yang lama tidak dia rasakan, Felicity akhirnya tertidur lelap. Tid
Dia menyandarkan tubuhnya yang gemetar pada sandaran kursi, kepalanya terasa ringan, tapi matanya membara dengan kombinasi ngeri dan kejengkelan yang mendidih. "Kau sudah mengambil tidurku. Kau sudah mengambil ketenanganku. Apa lagi? Apa lagi yang harus kau ambil sampai kau puas?"The Grey Gentleman berbalik sepenuhnya kini. Senyum tipisnya tidak berubah, tetapi matanya yang abu-abu itu seakan menyipit sedikit, seperti seorang ilmuwan yang mengamati reaksi menarik dari subjek eksperimennya. Dingin dan penuh perhitungan."Menghantui?" ujarnya perlahan, seolah mengeja kata itu dengan rasa penasaran. "Kau menyebutnya 'menghantui', Felicity? Itu adalah istilah yang... dramatis." Dia mengambil satu langkah mendekat, dan aroma besi tua serta debu perpustakaan seolah tergantikan oleh hawa dingin yang dibawanya."Aku hadir dalam mimpimu karena itu adalah bahasa yang paling mudah untuk jiwa yang sedang kebingungan seperti dirimu. Tapi kau, dengan keras kepalamu yan
Malam-malam itu adalah siksaan yang tiada henti. Beatrice tidak pernah meninggalkan sisi ranjang Felicity. Dia menyaksikan bagaimana wanita muda yang biasanya begitu tangguh itu terpelintir dalam selimut keringat dingin, matanya terpejam rapat namun bola matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak, mengejar sesuatu yang tidak bisa Bea lihat.Felicity tidak lagi berteriak. Tenaganya habis. Yang tersisa adalah tangisan yang nyaris tanpa suara. Desisan napas tersendat dan tetesan air mata yang membasahi bantal. Tubuhnya gemetar, tetapi jeritannya tertahan di dalam, seolah bahkan suara pun telah dikhianati oleh pikirannya sendiri. Tidur terlama yang berhasil diraihnya tidak lebih dari tiga jam, dan itu pun dipenuhi oleh kegelisahan yang membuatnya bangun lebih lelah daripada ketika ia memejamkan mata."Sudah, Flick, sudah... aku di sini," bisik Beatrice berulang kali, menepuk punggung Felicity dengan gerakan lembut dan stabil, sebuah jangkar di tengah badai yang tak
- DI RUANG KERJA PUTRA MAHKOTA -Lysander memegang erat laporan yang baru saja diterimanya, jari-jemarinya hampir membuat kertas itu kusut. "Chamomile Kaisar milik Lady Felicity mengalami kelayuan tanpa sebab yang jelas," ucapnya keras-keras. Suaranya rendah, mengandung rasa rindu dan kekhawatiran yang dalam. "Oh, Flick..."Dia berjalan ke jendela dan memandang taman pribadinya, seolah mencari jawaban di antara hamparan bunga. "Chamomile Kaisar... bunga yang kupilih khusus untuknya. Karena kelopaknya yang putih dan sederhana, tapi memiliki ketahanan dan kekuatan penyembuh yang luar biasa. Persis seperti dia."Seorang ajudan yang setia berdiri di dekat pintu, memberanikan diri bertanya, "Apakah Yang Mulia sedang mengenang sesuatu?"Wajah Lysander berbinar dengan kenangan manis yang sekaligus terasa pedih. "Ya. Aku masih ingat betul ekspresinya saat pertama kali kuberikan benih itu. Dia tertawa ringan, lalu berkata, 'Lysander, kau tahu aku tidak pan
Bea dengan sabar menuntun Felicity berjalan-jalan di taman, berharap udara pagi yang segar bisa sedikit menyegarkan pikiran gadis itu. Felicity berjalan dengan langkah lambat, matanya masih redup, tapi setidaknya dia mau mengikuti ajakan Bea."Lihat, Flick," ucap Bea sambil menunjuk ke arah bunga mawar yang baru mekar, "Bunga-bunga mulai bermekaran. Musim semi benar-benar tiba."Felicity hanya mengangguk lemah, tidak merespons lebih dari itu. Namun, saat mereka melewati sudut taman di mana Rowan sedang bekerja, sesuatu menarik perhatian Felicity."Rowan, apa yang kau lakukan?" tanya Bea, memperhatikan Rowan yang sedang berlutut dengan wajah khawatir.Rowan mengangkat kepalanya, wajahnya tampak frustrasi. "Aku mencoba menyelamatkan tanaman chamomile Kaisar dari Yang Mulia Putra Mahkota, tapi lihat..." Dia menunjuk tanaman yang mulai layu. "Mereka semakin lemah tanpa alasan yang jelas. Padahal aku sudah merawatnya dengan sangat hati-hati."
Bea telah menyiapkan segala sesuatu dengan penuh perhatian. Teh chamomile yang diseduh dengan madu, bantal-bantal disusun nyaman, minyak lavender diteteskan di setiap sudut ruangan, bahkan dia telah mengganti seprai dengan yang terbaru dan terlembut. Ruangan yang biasanya dipenuhi sketsa mesin dan diagram teknik kini berubah menjadi semacam kapsul pelindung, sebuah benteng melawan teror malam."Minum ini dulu," ucap Bea sambil menyuapi Felicity teh hangat seperti menyuapi anak kecil. Tangannya yang gemetar membuat sendok sedikit bergetar.Felicity patuh membuka mulutnya, menyeruput teh dengan gerakan mekanis. Matanya yang biasanya berbinar penuh kecerdasan kini bagai kolam yang keruh, memantulkan bayangan ketakutan yang tak terucapkan.Setelah memastikan Felicity sudah mengenakan gaun tidur yang nyaman, Bea dengan hati-hati membimbingnya ke tempat tidur. Prosesi ini terasa seperti ritual suci, setiap gerakan penuh dengan makna dan doa."Kau lihat







