Setelah bermain di taman dengan Rowan, keringat membasahi pelipis Felicity dan sedikit noda tanah menghiasi ujung gaun sederhananya. Dengan tubuh yang lelah namun hati yang ringan, dia bergegas menuju kamar pribadinya.
Mereka memasuki kamar mandi pribadi Felicity, yang merupakan salah satu 'proyek' pertamanya yang berhasil diwujudkan. Ruangan ini adalah oasis modern di tengah dunia kuno. Ubin putih bersih, keran kuningan yang mengalirkan air—baik dingin maupun hangat yang dialirkan dari tangki pemanas di loteng—dan yang paling penting, toilet dengan sistem pembuangan yang efisien. Saat dia berendam di bak mandi, membiarkan air hangat melumerkan ketegangan di pundaknya, pikirannya kembali melayang kepada pertemuan mengerikan dengan The Grey Gentleman. Dia teringat dengan jelas saat itu—baru saja turun dari kereta kuda, hendak menaiki tangga besar menuju istana. Dan di sana, di tengah-tengah keramaian dan kemewahan istana, dia berdiri. Di atas tangga besar, bersandar pada sebuah pilar marmer dengan santainya yang mengganggu. Pakaiannya yang abu-abu silver tampak ganjil di antara warna-warna cerah pakaian kerajaan. Tidak ada seorang pun yang tampak memperhatikannya. Lysander, yang masih memegang lengannya, berbicara sesuatu tentang jadwal pertemuan, tetapi suaranya seperti berasal dari ujung terowongan yang panjang. Seluruh perhatian Felicity tertuju pada sosok itu. Saat mereka hampir sejajar, bibirnya bergerak. "Lihatlah baik-baik, Felicity Ashworth. Takdirmu yang sebenarnya dimulai dari sini. Panggung telah disiapkan. Sekarang, menarilah." Kemudian, secepat munculnya, sosok itu menghilang seperti kabut yang tersapu angin. Felicity menyelam sebentar ke dalam air, berusaha menenggelamkan kenangan itu. Tapi kata-kata "Sekarang, menarilah" itu tetap melekat dalam pikirannya, seperti kutukan yang tak bisa dihilangkan. Setelah mandi, dia mengenakan gaun tidur katun lavender yang longgar dan nyaman—hadiah dari Beatrice. Sambil menyisir rambutnya yang masih basah, Felicity memandangi gaun bola yang tergantung angkuh di sudut kamar. Pakaian mewah itu adalah persiapan bibinya untuk acara-acara resmi berikutnya, pengingat bahwa "tarian" yang dipaksakan The Grey Gentleman akan segera dimulai lagi. Dia menghela napas panjang, merasakan kenyamanan gaun tidurnya yang sederhana sambil membayangkan pertempuran berikutnya yang harus dihadapi. Setidaknya untuk malam ini, dia bisa beristirahat dari semua tuntutan itu. --------------- Lima hari. Seratus dua puluh jam kedamaian yang berharga. Felicity duduk di gazebo, cangkir teh chamomile hangat terasa seperti jimat di tangannya. Dia menyaksikan kupu-kupu hinggap di bunga lavender, dan untuk pertama kalinya, pikirannya benar-benar hening. Tidak ada desakan untuk mencipta, hanya kehadiran yang tenang. Ketenangan itu pecah dengan derap langkah tegas yang terlalu familiar menyusuri jalan setapak. Dowager Duchess Evangeline mendekat, wajahnya mencoba menampilkan senyum hangat, tetapi matanya tetap tajam dan penuh perhitungan. "Felicity, sayang. Senang melihatmu sudah tampak lebih segar," ujarnya, duduk tanpa diminta. "Bibi," sapa Felicity, nada datar. Dia tidak mempercayai kemunculan mendadak ini. "Kesehatanmu adalah prioritas utama, tentu saja," lanjut Evangeline, menyikat lipatan gaunnya yang sempurna. "Tapi, kabar baik tentang kesuksesanmu di Istana telah menyebar. Seorang pengusaha muda yang sangat berbakat, sangat visioner, ingin bertemu denganmu. Dia memiliki proposal untuk mengembangkan industri tekstil baru yang katanya akan merevolusi kerajaan." Felicity menempatkan cangkirnya di atas nampan dengan bunyi 'klik' yang halus. Dia bisa merasakan jerat itu kembali dijalin. "Seorang pengusaha? Atau seorang kapitalis yang mencium aroma uang?" Evangeline tersenyum tipis. "Dia seorang yang punya visi, Felicity. Seperti kamu. Bayangkan, kolaborasi seperti itu—" "Bibi," potong Felicity, suaranya lembut seperti sutra, tapi mematikan. Dia menatap langsung ke mata bibinya, dan untuk pertama kalinya, tatapannya tidak mengandung kelelahan, tetapi ketegangan baja yang dingin. "Lima hari ini adalah lima hari terakhir yang benar-benar tenang dalam hidup saya selama bertahun-tahun. Saya belum siap untuk 'revolusi' apa pun." "Tapi, Felicity—" "Dua hari lagi," ucap Felicity, memotongnya lagi. "Dua hari di mana satu-satunya 'industri' yang akan saya pikirkan adalah industri tidur siang saya. Dan industri mematikan semua gangguan." Wajah Evangeline berkerut. "Kau tidak bisa terus menerus menyendiri. Kewajibanmu—" "Kewajiban saya," sela Felicity, dengan penekanan yang dalam, "adalah untuk tetap waras. Dan saya yakin, baik Raja maupun siapapun yang berkepentingan, akan lebih menghargai seorang 'jenius' yang waras daripada seorang yang kelelahan dan menghasilkan karya yang ceroboh karena dipaksa sebelum waktunya." Dia sedikit membungkuk ke depan, dan suaranya berubah menjadi bisikan yang tegas dan berbahaya. "Kecelakaan... sangat mudah terjadi ketika pikiran sedang lelah, bukan begitu, Bibi? Sebuah kesalahan perhitungan kecil saja bisa menghancurkan segalanya." Dia tidak mengancam secara fisik. Itu lebih halus, lebih cerdik. Dia mengancam dengan kegagalan. Dengan sengaja merusak nilai dirinya sebagai "aset" jika dipaksa terlalu jauh. Evangeline membeku. Dia mendengar ancaman yang terselubung dengan sempurna itu. Matanya membelalak, marah sekaligus terkesan oleh kelicikan keponakannya yang tiba-tiba ini. Dia menyadari bahwa Felicity tidak lagi menjadi korban yang pasif. Dia telah belajar bermain game mereka. Keheningan yang tegang tergantung di antara mereka, hanya diputuskan oleh kicauan burung. Akhirnya, Evangeline berdiri, wajahnya dingin. "Dua hari," dia menyetujui, suaranya datar. "Manfaatkanlah dengan baik. Karena setelah itu, dunia tidak akan menunggu lagi." Dia berbalik dan pergi, langkahnya berderap marah. Felicity mengambil cangkir tehnya lagi. Tangannya tidak gemetar. Sebaliknya, ada rasa kepuasan yang aneh. Dia baru saja memenangkan dua hari lagi. Dia telah menggunakan nilai dirinya sebagai senjata, dan itu berhasil. Dia melihat ke arah manor, di mana bibinya pasti sedang merencanakan balasannya. Pertempuran kecil ini dimenangkan, tetapi perangnya masih panjang. Namun, untuk saat ini, dia akan menikmati kemenangan kecilnya dengan secangkir teh dan kesunyian yang telah diperjuangkannya. Dua hari lagi. Itu adalah kekayaan yang tak ternilai harganya.Setelah bermain di taman dengan Rowan, keringat membasahi pelipis Felicity dan sedikit noda tanah menghiasi ujung gaun sederhananya. Dengan tubuh yang lelah namun hati yang ringan, dia bergegas menuju kamar pribadinya.Mereka memasuki kamar mandi pribadi Felicity, yang merupakan salah satu 'proyek' pertamanya yang berhasil diwujudkan. Ruangan ini adalah oasis modern di tengah dunia kuno. Ubin putih bersih, keran kuningan yang mengalirkan air—baik dingin maupun hangat yang dialirkan dari tangki pemanas di loteng—dan yang paling penting, toilet dengan sistem pembuangan yang efisien.Saat dia berendam di bak mandi, membiarkan air hangat melumerkan ketegangan di pundaknya, pikirannya kembali melayang kepada pertemuan mengerikan dengan The Grey Gentleman. Dia teringat dengan jelas saat itu—baru saja turun dari kereta kuda, hendak menaiki tangga besar menuju istana.Dan di sana, di tengah-tengah keramaian dan kemewahan istana, dia berdiri. Di atas tangga besar,
Sinar mentari musim semi yang keemasan menyapu hamparan rumput hijau di taman kediaman Ashworth, menerangi sebuah pemandangan yang jarang terlihat. Di tengah taman, Felicity Ashworth berlari-lari dengan gaun sederhananya yang berkibar ditiup angin, mengejar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun—Rowan, putra dari kepala tukang kebun. Tawa lepasnya bergema di udara, begitu bebas dan riang, sangat kontras dengan kesan sang "jenius terkutuk" yang melekat padanya. "Tangkapi aku, Rowan!" teriak Felicity, wajahnya bersinar bahagia saat anak itu berhasil menangkapnya dengan pelukan erat. Mereka berdua terjatuh di atas hamparan bunga dandelion, tertawa terbahak-bahak tanpa beban. Beatrice Croft, yang duduk di bangku taman tak jauh dari mereka, tak bisa menyembunyikan senyum lembut di bibirnya. Pelayan setia itu dengan hati-hati menyiapkan lemonade dan roti lapis—sebuah suguhan sederhana yang disukai Felicity. Matanya yang biasanya penuh kehawatiran kini b
Ketenangan itu terasa nyata, hampir seperti mimpi. Setelah berhasil lolos dari kewajiban sosial selama satu hari penuh, Felicity merasa sedikit lebih berani. Bea, dengan efisiensi seorang jenderal yang melindungi bentengnya, telah berhasil menangkis semua upaya bibinya untuk mengganggu. Hari ini, Felicity tidak ingin sekadar bersembunyi di balik tirai kamarnya. Dia butuh sesuatu yang lebih. Dia butuh langit. Dengan novel yang dibawanya—lebih sebagai tameng dari dunia daripada untuk dibaca—dia menyelinap ke taman belakang. Di bawah naungan pohon oak besar yang daunnya berbisik lembut ditiup angin, dia menemukan tempat yang sempurna. Rumputnya lembut dan bersih, dirawat dengan sempurna oleh tangan-tangan yang dia tahu pemiliknya. Dia berbaring, meletakkan novelnya terbuka di atas wajahnya, menghalangi cahaya matahari yang terlalu cerah untuk suasana hatinya yang ingin merana. Aroma tanah dan bunga memenuhi indranya. Desiran angin sepoi-sepo
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar di udara. Biasanya, sinar ini akan menjadi alarm alami yang tidak diinginkan bagi Felicity, penanda dimulainya hari baru yang akan diisi dengan tuntutan dan desakan di kepalanya.Tapi hari ini berbeda.Hari ini, Felicity membuka mata dan dengan sengaja memalingkan wajahnya ke bantal. Tubuhnya terasa seperti dikeruk hingga habis. Otaknya, yang biasanya sudah berderak dengan ide-ide sejak dia terjaga, terasa kosong dan peka, seperti luka terbuka. Presentasi di istana kemarin bukan hanya menghabiskan tenaganya; itu seperti menguras satu tahun tenaganya hanya untuk satu hari. Bahkan bayangan pertemuan dengan Lysander di taman, yang semestinya menyenangkan, tak mampu mengusir kelelahan mendalam yang menyelimuti seluruh keberadaannya.Dia mendengar ketukan halus di pintu, diikuti dengan suara Bea yang tenang. "Flick? Sudah bangun?""Tidak," gerutnya, suaranya parau, sam
-Ruang Kerja Raja-Beberapa jam kemudian, Lady Evangeline memasuki ruang kerja raja dengan langkah anggun."Yang Mulia, semoga saya tidak mengganggu.""Tidak sama sekali," jawab Raja Edmund. "Saya sedang memikirkan keponakan perempuan Anda yang luar biasa.""Sebagai walinya, kekhawatiran saya sering mengalahkan kebanggaan," ujar Evangeline dengan senyum tipis. "Felicity adalah jiwa yang spesial. Jeniusnya datang dengan kepekaan yang luar biasa. Dia mudah kewalahan."Dia maju sedikit, suaranya lebih intim. "Hari ini, saya melihat sesuatu yang memberi harapan. Saya melihat bagaimana Lord Lysander memperhatikannya. Bukan sebagai jenius, tapi sebagai wanita."Raja Edmund terlihat tertarik. "Lysander?""Ya, Yang Mulia." Evangeline tersenyum penuh perhitungan. "Bukankah menarik? Persatuan antara House Ashworth dan kerajaan. Felicity akan mendapat pelindung seumur hidup. Dan bakatnya tetap dalam pelukan kerajaan."Dia
Setelah badai di ruang pertemuan reda, keheningan menyelimuti koridor istana saat Felicity dipandu Lysander berjalan menuju ruang singgasana. Getaran kemarahan yang membawanya melalui presentasi mulai mereda, digantikan kelelahan yang terasa seperti beban di tulangnya.Lysander melemparkan pandangan khawatir. "Tadi... Anda luar biasa," bisiknya. "Saya belum pernah melihat Profesor Sterling terdiam seperti itu."Felicity mengangguk lemah. "Mereka hanya membutuhkan data, bukan kata-kata kosong." Yang tak diucapkannya adalah bahwa setiap kata terasa menyedot sedikit nyawanya.Saat pintu terbuka, Raja Edmund duduk di singgasananya. Yang mengejutkan, di sampingnya berdiri Lady Evangeline. Bibinya yang ternyata menyusul tersenyum puas, tapi matanya menyampaikan pesan jelas: Jangan gagal."Lady Felicity Ashworth," sambut Raja Edmund. "Profesor Sterling mengirim pesan bahwa kami telah menyaksikan kelahiran seorang jenius."Felicity membungkuk ren