MasukSinar mentari musim semi yang keemasan menyapu hamparan rumput hijau di taman kediaman Ashworth, menerangi sebuah pemandangan yang jarang terlihat. Di tengah taman, Felicity Ashworth berlari-lari dengan gaun sederhananya yang berkibar ditiup angin, mengejar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun—Rowan, putra dari kepala tukang kebun. Tawa lepasnya bergema di udara, begitu bebas dan riang, sangat kontras dengan kesan sang "jenius terkutuk" yang melekat padanya.
"Tangkapi aku, Rowan!" teriak Felicity, wajahnya bersinar bahagia saat anak itu berhasil menangkapnya dengan pelukan erat. Mereka berdua terjatuh di atas hamparan bunga dandelion, tertawa terbahak-bahak tanpa beban. Beatrice Croft, yang duduk di bangku taman tak jauh dari mereka, tak bisa menyembunyikan senyum lembut di bibirnya. Pelayan setia itu dengan hati-hati menyiapkan lemonade dan roti lapis—sebuah suguhan sederhana yang disukai Felicity. Matanya yang biasanya penuh kehawatiran kini berbinar melihat tuannya, meski hanya untuk sesaat, bisa melupakan segala beban dan kutukan yang menghantuinya. Namun, di balik kaca jendela perpustakaan yang tinggi dan megah, ada sepasang mata tajam yang mengamati setiap gerak-gerik mereka dengan cermat. Theron Blackwood, seorang industrialis yang tak kenal ampun di era Victoria yang sedang mengalami revolusi industri, berdiri dengan tenang seperti predator yang mengintai mangsanya. Sebuah gelas kristal berisi brandy mahal berusia tiga puluh tahun berayun dengan ritme teratur di antara jari-jarinya yang terlatih—tangan yang sama yang tak segan memecat buruh yang menuntut kenaikan upah, atau menghancurkan kompetitor bisnis dengan taktik tak berperikemanusiaan. Pria berusia pertengahan tiga puluhan ini, dengan setelan bisnis abu-abu antrak yang dijahit sempurna oleh penjahit terbaik di London dan tongkat ek yang diukir halus, adalah penguasa tak terbantahkan dari beberapa pabrik tekstil dan jalur kereta api terbesar di kerajaan. Asap hitam dari cerobong pabriknya-lah yang mengotori langit ibukota, dan mesin uapnya-lah yang mendefinisikan zaman baru ini—zaman yang dibangun di atas keringat dan darah para buruh yang bekerja lima belas jam sehari. Majalah The Times menjulukinya "Si Tangan Besi" setelah peristiwa pemogokan buruh kereta api tahun lalu yang berakhir dengan darah. Dia berada di kediaman Ashworth hari ini untuk bertemu dengan Dowager Countess Evangeline—sebuah pertemuan "peluang investasi" yang membahas potensi komersial dari penemuan keponakan perempuannya yang jenius. Namun, pertemuannya sengaja dibuat tertunda oleh sang Countess—sebuah taktik yang membuatnya kesal, namun kini justru memberinya kesempatan emas. Matanya yang berwarna abu-abu baja, biasanya hanya menunjukkan emosi ketika menatap grafik keuntungan yang naik, kini memancarkan kilatan penuh minat. Dia menyaksikan bagaimana Felicity, tanpa beban, membantu Rowan membuat rangkaian bunga dandelion, bagaimana tawanya yang tulus bergema di taman, dan bagaimana dia dengan lancar beralih bahasa antara percakapan rumit tentang mekanika fluida dengan Beatrice dan candaan kekanak-kanakan dengan Rowan. Bagi Theron, yang memandang dunia hanya melalui kacamata efisiensi, produktivitas, dan nilai pemegang saham, pemandangan ini mengungkapkan sesuatu yang sangat berharga. Di sini, jauh dari tekanan istana dan ekspektasi masyarakat, terungkap sebuah celah dalam benteng pertahanan Felicity. Sementara para bangsawan lain—seperti sang Countess dan mungkin sang Pangeran—berusaha mengurungnya dalam sangkar emas tradisi dan kewajiban, Theron melihat sesuatu yang lebih mendasar: sebuah jiwa yang lapar akan kebebasan, jiwa yang sama pemberontaknya dengan mesin uap yang berusaha melepaskan diri dari tekanan berlebihan. Sebuah rencana mulai terbentuk di pikirannya yang analitis, lebih kompleks dan lebih canggih daripada sekadar negosiasi bisnis biasa. Alih-alih menawarkan kemewahan atau gelar—yang jelas-jelas tidak diinginkan Felicity—mungkin kunci untuk mendapatkan kerja samanya dan mengontrol penemuannya yang berharga adalah dengan menawarkan jalan keluar yang ilusif. Sebuah "laboratorium pribadi" yang jauh dari sorotan dan batasan istana, di mana dia bisa bekerja dengan "kebebasan", namun sebenarnya berada di bawah kendali penuhnya. Imbalannya? Sebagian dari kebebasan liar yang dilihatnya di taman ini—sebuah ilusi yang akan dia ciptakan dengan hati-hati. Saat dia menyaksikan Beatrice dengan penuh kasih membersihkan debu dari pipi Felicity, sebuah senyum tipis dan penuh perhitungan akhirnya muncul di bibir Theron. Permainan ini menjadi jauh lebih menarik daripada yang dia bayangkan. Dia tak lagi hanya berurusan dengan seorang jenius yang terkekang, tetapi dengan seorang gadis muda yang lapar akan kasih sayang dan kebebasan—kombinasi yang sangat berharga. Ketika seorang pelayan akhirnya datang mengumumkan bahwa Dowager Countess siap menerimanya, Theron dengan enggan berbalik dari jendela. Namun, gambaran Felicity yang tertawa bebas, dengan bunga dandelion di rambutnya dan cahaya mentari di wajahnya, telah terpateri dalam benaknya. Itu adalah potret yang akan membentuk setiap strategi, setiap tawaran, dan setiap manipulasi selanjutnya. Bagi Theron Blackwood, memahami kelemahan manusia adalah mata uang yang paling berharga—dan hari ini, dia baru saja menemukan tambang emas.Lysander mendekapnya lebih erat, bingung tapi berusaha menenangkan. "Siapa, Flick? Siapa yang ada di sini?" tanyanya lembut sambil menatap sekeliling ruangan yang kosong."Dia... pria itu... dengan setelan abu-abu..." ucap Felicity tergagap, masih gemetar. "Selama ini... dia menghantuiku..."Sekarang Lysander memahami. Ini bukan sekadar kelelahan atau stres, ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi pada Felicity. Sesuatu yang membuatnya melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain.Pelukan Lysander bagai menjadi dinding kokoh yang menahan semua sisa-sisa badai emosi dalam diri Felicity. Setelah amukannya yang meledak-ledak, setelah tangis histeris yang menguras habis tenaga terakhirnya, tubuhnya yang kelelahan akhirnya menyerah. Getaran di pundaknya perlahan mereda, napasnya yang tersengal-sengal berubah menjadi teratur dan dalam. Di dalam dekapan hangat Lysander, di antara rasa aman yang lama tidak dia rasakan, Felicity akhirnya tertidur lelap. Tid
Dia menyandarkan tubuhnya yang gemetar pada sandaran kursi, kepalanya terasa ringan, tapi matanya membara dengan kombinasi ngeri dan kejengkelan yang mendidih. "Kau sudah mengambil tidurku. Kau sudah mengambil ketenanganku. Apa lagi? Apa lagi yang harus kau ambil sampai kau puas?"The Grey Gentleman berbalik sepenuhnya kini. Senyum tipisnya tidak berubah, tetapi matanya yang abu-abu itu seakan menyipit sedikit, seperti seorang ilmuwan yang mengamati reaksi menarik dari subjek eksperimennya. Dingin dan penuh perhitungan."Menghantui?" ujarnya perlahan, seolah mengeja kata itu dengan rasa penasaran. "Kau menyebutnya 'menghantui', Felicity? Itu adalah istilah yang... dramatis." Dia mengambil satu langkah mendekat, dan aroma besi tua serta debu perpustakaan seolah tergantikan oleh hawa dingin yang dibawanya."Aku hadir dalam mimpimu karena itu adalah bahasa yang paling mudah untuk jiwa yang sedang kebingungan seperti dirimu. Tapi kau, dengan keras kepalamu yan
Malam-malam itu adalah siksaan yang tiada henti. Beatrice tidak pernah meninggalkan sisi ranjang Felicity. Dia menyaksikan bagaimana wanita muda yang biasanya begitu tangguh itu terpelintir dalam selimut keringat dingin, matanya terpejam rapat namun bola matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak, mengejar sesuatu yang tidak bisa Bea lihat.Felicity tidak lagi berteriak. Tenaganya habis. Yang tersisa adalah tangisan yang nyaris tanpa suara. Desisan napas tersendat dan tetesan air mata yang membasahi bantal. Tubuhnya gemetar, tetapi jeritannya tertahan di dalam, seolah bahkan suara pun telah dikhianati oleh pikirannya sendiri. Tidur terlama yang berhasil diraihnya tidak lebih dari tiga jam, dan itu pun dipenuhi oleh kegelisahan yang membuatnya bangun lebih lelah daripada ketika ia memejamkan mata."Sudah, Flick, sudah... aku di sini," bisik Beatrice berulang kali, menepuk punggung Felicity dengan gerakan lembut dan stabil, sebuah jangkar di tengah badai yang tak
- DI RUANG KERJA PUTRA MAHKOTA -Lysander memegang erat laporan yang baru saja diterimanya, jari-jemarinya hampir membuat kertas itu kusut. "Chamomile Kaisar milik Lady Felicity mengalami kelayuan tanpa sebab yang jelas," ucapnya keras-keras. Suaranya rendah, mengandung rasa rindu dan kekhawatiran yang dalam. "Oh, Flick..."Dia berjalan ke jendela dan memandang taman pribadinya, seolah mencari jawaban di antara hamparan bunga. "Chamomile Kaisar... bunga yang kupilih khusus untuknya. Karena kelopaknya yang putih dan sederhana, tapi memiliki ketahanan dan kekuatan penyembuh yang luar biasa. Persis seperti dia."Seorang ajudan yang setia berdiri di dekat pintu, memberanikan diri bertanya, "Apakah Yang Mulia sedang mengenang sesuatu?"Wajah Lysander berbinar dengan kenangan manis yang sekaligus terasa pedih. "Ya. Aku masih ingat betul ekspresinya saat pertama kali kuberikan benih itu. Dia tertawa ringan, lalu berkata, 'Lysander, kau tahu aku tidak pan
Bea dengan sabar menuntun Felicity berjalan-jalan di taman, berharap udara pagi yang segar bisa sedikit menyegarkan pikiran gadis itu. Felicity berjalan dengan langkah lambat, matanya masih redup, tapi setidaknya dia mau mengikuti ajakan Bea."Lihat, Flick," ucap Bea sambil menunjuk ke arah bunga mawar yang baru mekar, "Bunga-bunga mulai bermekaran. Musim semi benar-benar tiba."Felicity hanya mengangguk lemah, tidak merespons lebih dari itu. Namun, saat mereka melewati sudut taman di mana Rowan sedang bekerja, sesuatu menarik perhatian Felicity."Rowan, apa yang kau lakukan?" tanya Bea, memperhatikan Rowan yang sedang berlutut dengan wajah khawatir.Rowan mengangkat kepalanya, wajahnya tampak frustrasi. "Aku mencoba menyelamatkan tanaman chamomile Kaisar dari Yang Mulia Putra Mahkota, tapi lihat..." Dia menunjuk tanaman yang mulai layu. "Mereka semakin lemah tanpa alasan yang jelas. Padahal aku sudah merawatnya dengan sangat hati-hati."
Bea telah menyiapkan segala sesuatu dengan penuh perhatian. Teh chamomile yang diseduh dengan madu, bantal-bantal disusun nyaman, minyak lavender diteteskan di setiap sudut ruangan, bahkan dia telah mengganti seprai dengan yang terbaru dan terlembut. Ruangan yang biasanya dipenuhi sketsa mesin dan diagram teknik kini berubah menjadi semacam kapsul pelindung, sebuah benteng melawan teror malam."Minum ini dulu," ucap Bea sambil menyuapi Felicity teh hangat seperti menyuapi anak kecil. Tangannya yang gemetar membuat sendok sedikit bergetar.Felicity patuh membuka mulutnya, menyeruput teh dengan gerakan mekanis. Matanya yang biasanya berbinar penuh kecerdasan kini bagai kolam yang keruh, memantulkan bayangan ketakutan yang tak terucapkan.Setelah memastikan Felicity sudah mengenakan gaun tidur yang nyaman, Bea dengan hati-hati membimbingnya ke tempat tidur. Prosesi ini terasa seperti ritual suci, setiap gerakan penuh dengan makna dan doa."Kau lihat







