LOGIN"Aku pulang!"
Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan ibunya pergi ke dapur. Riyan mandi lalu berganti pakaian, setelah itu ia pergi ke dapur. Di dapur sang ibu tengah menyiapkan makanan untuk ia dan anaknya. "Nahh... pas banget, kamu sampai sini, eh makanan udah siap." Ucap sang ibu yang melihat Riyan telah hadir. "Hmmm... masak apa bu? kok wangi banget." Riyan mencium aroma masakan yang sangat ia sukai. "Opor ayam, lah." Jawab ibu sembari menyajikan makanan. "Wah, asyik banget. Pasti enak, nih." "Jelas... Siapa, dulu yang masak. Ayo makan." Ucap ibu sembari memberikan piring milk Riyan. Riyan lantas memakan masakan ibunya dengan lahap. Rasanya memang seenak itu. Melihat anaknya sangat menikmati masakannya, sang ibu tersenyum. "Lahap banget, sih." "Laper, Bu." Jawab Riyan tetap lahap menyantap makanannya. "Riyan, kamu kan udah lulus tes masuk, kan, terus kamu milih yang mana, yang ngelawan monster atau yang nyelametin manusia?" Tanya sang ibu tentang pilihan anaknya. "Ee... yang ngelawan monster bu, kan sekalian , bisa nyelametin manusia juga." "Iya juga. Oh iya kamu udah dapet temen belum?" Tanya Bu Cantika ingin tahu lebih banyak dari anaknya. "Udah kok bu, dia satu sekolah sama aku dulu, orangnya asik juga." "Emmm, syukur deh. Terus tadi udah disuruh ngapain aja?" "Tadi Riyan disuruh ngelawan monster gitu. Tapi harus masuk mode virtual dulu." Jawab Riyan menceritakan tes masuk tim khusus. "Bisa ngelawan nya gak?" "Bisa kok bu, malah yang bisa bunuh monsternya cuma aku sama temenku doang." "Wow, jago banget, kamu. Belajar berantem dimana?" Tanya Bu Cantika kagum dengan kemampuan anaknya. "Pake insting dong." Jawab Riyan sambil menyentuh kepala dengan telunjuk. "Oh iya bu, Besok aku udah berangkat pagi, gapapa kan." "Gapapa kok. Tenang, ibu akan menyiapkan semua kebutuhan kamu." Jawab Bu Cantika tersenyum. "Maaf ya, Bu, kalo gak bisa bantu." "Gak usah minta maaf, aku kan Ibu kamu." Ucap Bu Cantika dengan tulus. Riyan tersenyum melihat tanggapan ibunya. "Habisin, gih." Riyan mengangguk. Ia dan Bu Cantika melanjutkan santapan mereka dengan perasaan senang. Riyan sangat bersyukur memiliki ibu sebaik Bu Cantika _______ Hari pun berganti. Sebelum jam 7 tiba, Riyan sudah sampai di gedung dengan monumen bertuliskan 'PRIORITY' didepannya. Di lobby sebelum masuk lift, tersedia alat fingerprint untuk presensi. Sebagai anggota resmi tim inti, sidik jari Riyan jelas sudah terdaftar di sana. Ia menyentuh fingerprint untuk melakukan absen. Tiba-tiba, bahunya ditepuk. "Oyy!" Anton tersenyum. "Wah jam berapa nih Ton? Perasaan belum ada jam 7." Ucap Riyan menyindir orang yang semasa sekolah sering datang terlambat. "Udah, gausah bercanda. Ini bukan sekolah, tau." Balas Anton jengkel. Riyan tertawa kecil. Anton lalu melakukan hal yang sama. Monitor yang tersambung dengan fingerprint menampilkan bukti absensi Anton. "Yuk, naik." Ajak Anton. Mereka lantas memasuki lift lalu naik menuju ke lantai kemarin. Merekapun sampai di ruang Komando. Disana sudah berkumpul semua anggota tim untuk apel pagi. Melihat kedatangan Riyan dan Anton, semua orang menyambut mereka dengan ramah—kecuali Luna yang hanya melirik sekilas tanpa berkata apa-apa. Ternyata anggota tim khusus cukup terbuka terhadap orang baru. Tak lama kemudian, jam menunjukkan lewat pukul tujuh. Pak Roger datang. Waktunya apel pagi. Semua anggota langsung berbaris rapi. Duta, orang yang dipercaya untuk memimpin barisan maju ke depan, mengambil posisi sebagai kapten. Ia menyiapkan barisan, lalu memimpin penghormatan kepada sang jenderal. Pak Roger pun membuka amanatnya. "Selamat pagi, semua." "Pagi!" serempak mereka menjawab. "Hari ini belum ada misi yang masuk," lanjutnya. "Jadi kalian cukup latihan wajib minimal tiga jam. Setelah itu bebas, terserah mau ngapain. Tapi ingat, kalau ada misi masuk dari saya, kalian harus siap kapan pun." Ia berhenti sejenak, lalu menoleh pada dua wajah baru. "Oh iya, selamat datang juga buat Anton dan Riyan. Semoga betah dan bisa bertahan lama di sini." Beberapa orang melirik Riyan dan Anton sambil tersenyum. "Untuk latihan nanti akan saya atur. Sekarang kalian bisa pilih loker dulu, ya." Ia menganggukkan kepala ke arah Duta, dan Duta langsung membubarkan apel. Barisan pun berpencar, masing-masing menuju tugasnya. Pak Roger menghampiri Riyan dan Anton. "Kalian berdua ikut Albert dulu, nanti sekitar jam delapan temui saya kantor saya. Oke?" "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Pak Roger pun melangkah menuju kantornya. "Nah, sekarang giliran gua yang urus kalian. Yuk, kita ke locker room," kata Albert sambil memberi isyarat agar mereka mengikutinya. "Ngapain ke sana, mau ngumpet ya? Hayoo..." goda Anton. "Dih, apaan sih. Kalo mau ngumpet mah ke ruang Polaris aja, aman. Pak Roger juga jarang masuk situ," jawab Albert sambil membuka pintu keluar. "Eh, kemarin kan kita udah ke sana? Ngapain balik lagi?" tanya Anton sambil menyusul langkah Albert. "Hehe, gue lupa kasih loker ke kalian. Nanti semua barang pribadi kalian simpan di sana aja, ya." "Oke," jawab Riyan. Mereka pun sampai di depan dua ruangan yang pintunya bersebelahan: locker room milik laki-laki dan perempuan. Tanpa banyak basa-basi, mereka masuk ke locker room laki-laki. "Nah, pilih aja loker yang masih kosong," kata Albert sambil membuka beberapa loker tak terkunci—belum ada penggunanya. Riyan dan Anton memilih loker yang saling berdekatan. Albert memberikan kunci untuk masing-masing, lalu mereka pun menyimpan tas dan barang bawaan di dalamnya. Setelah beres, Albert mengajak mereka keluar lagi. "Hehe, gue penasaran deh. Loker cewek isinya apa, ya?" gumamnya sambil melirik ke arah pintu locker room perempuan. "Masuk aja, Bert. Tapi siap-siap pulang dalam keadaan koma kalau dihajar Luna," celetuk Anton dengan senyum menyeringai. Riyan ikut tertawa. "Ratu es? Tinggal dilawan lah," balas Albert santai. "Hah? Kamu bisa lawan Luna?" tanya Riyan. "Bisa. Bisa kalah," jawab Albert sambil nyengir. "Kirain bisa menang." Mereka pun tertawa bersama dan pergi ke kantor Pak Roger.Riyan melesat. Rintangan pertama: tangga V. Anak tangganya miring dan renggang. Riyan melompat ke kiri dan kanan sambil berpegangan erat. Sedikit kesulitan, tapi ia berhasil melewatinya. Berikutnya: lorong laser. Riyan meluncur masuk, lalu merayap cepat saat cahaya laser muncul mengejarnya. Sempat hampir tertangkap, tapi ia tiarap tepat waktu. Laser lewat di atasnya tanpa menyentuh. Ia lanjut merayap, menghindari satu laser lagi sebelum berhasil keluar. Rintangan ketiga: lintasan sensor tangan. Sensor akan mengayun dan menangkap siapa pun yang tersentuh. Riyan berlari sambil menghindar, gesit ke kiri dan kanan. Namun, di tengah lintasan, sebuah tangan memanjang dan menyentuhnya—kabel muncul dan membelit tubuhnya. "Akh, sial..." Setelah 30 detik, kabel lepas. Riyan berpikir cepat. Kali ini, ia mengesot saat tangan menyambar, lalu bangkit, lalu mengesot lagi. Strategi itu berhasil sampai ia lolos
"Luna?!" seru Riyan, kaget. Luna berdiri di depan mereka tanpa ekspresi, seolah sedang melawan dua boneka latihan. Tekanan auranya meningkat. Ia menguatkan dorongan, membuat Riyan terhempas ke belakang dan terguling. "Kenapa, Luna?" tanya Riyan sambil bangkit, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tanpa menjawab, Luna langsung melesat. Pertarungan kembali terjadi. Suara dentingan senjata terdengar bertubi-tubi saat pedang mereka saling bertabrakan. Luna mengayunkan pedangnya ke kepala Riyan—ayunan cepat dan tepat. Riyan menahannya sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena tekanan. Dari sisi lain, Anton menyerang Luna dari samping. Luna menyadari, lalu melompat mundur, menjauhi keduanya. Sekarang situasinya jelas: seperti game fighting mode tim. Senior satu melawan dua junior. Luna akhirnya bicara. Suara Luna yang pertama kali mereka dengar. "Harus barengan, ya? Gak berani
Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya. "Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang. "Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai. "Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan. Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.” TOK TOK TOK! "Masuk." Albert masuk bersama Riyan dan Anton. "Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh. "Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?" Riyan dan Anton mengangguk mantap. "Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan
"Aku pulang!" Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan
Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift. Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan. Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan. “Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil. “Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka. “Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton. Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.
"A-ada monster lagi?" ucap salah satu peserta di arena. "ROAAARR!!!" Harimau berkepala hiu itu mengaum lantang. Suaranya menggema di seluruh arena. Semua peserta panik dan kebingungan. "Hehe, beast tes kami tambah satu lagi, atas kemauan saya sendiri. Yaa... saya sih maunya nggak ada yang bisa bunuh beast dulu. Kan ini tes pertama. Jadi saya kasih beast level 2 untuk tambahan. Kalau bisa dibunuh, syukur. Kalau kalian yang dibunuh..." Beast itu langsung berlari ke arah peserta bersamaan dengan kalimat terakhir sang Jenderal. "Ya syukur. Semangat!" tambahnya santai. *Sebagai tambahan informasi, level beast di sini menunjukkan seberapa berbahaya beast tersebut. Semakin kecil angkanya, maka semakin berbahaya. Ada lima tingkatan, dengan level 1 sebagai yang paling berbahaya. Penjelasan lengkap tiap tipe akan disampaikan di kesempatan lain. Para peserta langsung terpencar, mencoba membingungkan beast itu. Tapi beas







