Home / Fantasi / Invasi Beast / Orientasi Tim Khusus

Share

Orientasi Tim Khusus

Author: Orang Ngetik
last update Last Updated: 2025-10-05 06:16:03

Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift.

Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan.

Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan.

“Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil.

“Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka.

“Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton.

Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.

“Selamat datang di tim khusus!”

Ruangan itu luas, biasanya digunakan untuk apel harian dan briefing. Disudut ruangan terdapat sofa dan meja kecil, mirip seperti ruang tamu pada umumnya. Disitu juga terdapat tiga orang yang sedang bersantai.

“Albert!” panggil Pak Roger.

Seorang pria yang tengah bersantai bangkit dan menghampiri.

“Iya, Pak?” jawabnya. Ia melirik ke arah Riyan dan Anton. “Oh, ini yang katanya anak baru itu, ya?”

“Benar. Kenalin, ini Albert. Dia teknisi andalan kita. Urusan alat canggih, komputerisasi, semuanya lewat dia.”

“Halo,” sapa Albert ramah.

“Halo,” balas Riyan dan Anton.

“Bert, saya masih ada urusan. Tolong kenalin mereka ke yang lain ya. Sama bawa keliling sekalian,” kata Jenderal Roger.

“Siap, Pak.”

“Saya tinggal dulu.” Sang Jenderal pun meninggalkan ruangan.

Kini tinggal Albert bersama dua anak baru itu.

“Jadi, yang mana Riyan, yang mana Anton?”

“Saya Riyan. Ini Anton,” jawab Riyan. Anton melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Oke, gua kenalin ke yang lain, ya?” Albert mengajak mereka berjalan ke arah meja tempat dua orang sedang duduk santai.

“Oy, friend! Akhirnya kita punya temen baru!” serunya.

Kedua orang itu tersenyum menyambut.

“Wah, anak baru nih,” kata yang satu.

“Iya nih. Mana dua orang lagi? Rejeki nomplok,” tambah temannya.

“Nah, Riyan, Anton, ini Rizal sama Wawan. Mereka baik kok, walaupun kadang kelakuannya... ya gitu deh. Terutama Wawan.” ujar Albert sambil menunjuk Wawan.

“Maksud? Buat orang dewasa mah orang kayak gua normal kali,” bela Wawan.

“Kalian baru lulus SMA, ya?” tanya Rizal.

“Iya, Kak,” jawab Riyan.

“Kak? Santai aja. Di sini cukup panggil nama, kecuali sama Jenderal,” balas Rizal.

“Waduh, kami belum biasa kak... eh, Rizal kan?” kata Anton kikuk.

“Gapapa, nanti juga biasa.”

“Oke, kita lanjut ya. Yang di sini ngobrolnya nanti lagi, bisa panjang soalnya.” sahut Albert

Albert mengajak Riyan dan Anton ke lantai 5, karena dilantai 4 ruang utamanya cuma ruang Komando saja. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Forge room yang merupakan area gym.

Disana terlihat seorang pria berotot sedang mengangkat beban.

“Satu... satu... satu... ayo terus!” canda Albert.

“Apaan sih, Bert? Gua bisa ngitung sendiri!” balasnya, lalu berhenti setelah menyelesaikan set-nya.

“Anak baru ya?” katanya sambil mengelap keringat. “Wee, kenalin, gua Duta.” Ia mengulurkan tangan untuk tos.

Riyan dan Anton menyambut tos itu sambil memperkenalkan diri.

“Duta ini spesialis fisik. Kerjanya angkat beban mulu,” ujar Albert.

“Tapi yang sering ngadepin beast juga gua,” potong Duta.

“Yaa... badannya juga cocok,” balas Albert.

“Gapapa, sekarang udah ada yang baru. Bisa gantian, kan?” kata Duta sambil melirik Riyan dan Anton. Mereka hanya tersenyum malu-malu.

“Oh iya, Luna di mana?” tanya Albert.

“Biasanya sih di arsenal. Belum ke sana, kan? Coba aja cek ke sana,” jawab Duta sambil kembali mengangkat barbelnya.

“Yaudah. Gua cabut dulu, Dut,” ucap Albert, lalu memimpin yang lain pergi.

Mereka masuk ke ruangan disebelah yang penuh alat-alat teknologi canggih. Di sana, seorang wanita anggun sedang membidik sasaran menggunakan senapan berteknologi tinggi. Ia tampak fokus, tak terganggu oleh kedatangan mereka.

“Nah, ini Luna,” kata Albert. “Luna, ini Riyan dan Anton.”

Luna mem-pause aktivitasnya, lalu menatap Riyan dan Anton dari ujung kepala sampai kaki. Keduanya tampak canggung.

“Mereka anak baru?” tanyanya tanpa ekspresi.

“Kamu gak baca chat-nya Pak Roger tadi?” tanya Albert.

“Enggak,” jawab Luna singkat. Ia kembali membidik. “Yaudah, kelilingin aja mereka,” katanya sambil menembak lagi.

“Yuk, kita lanjut,” ucap Albert sambil berjalan meninggalkan ruangan. “Yaa... begitulah Luna. Judes. Padahal alatnya baru aku benerin minggu lalu,” keluh Albert.

“Dia emang selalu gitu ya?” tanya Anton.

“Iya, makanya gua kasih julukan Ratu Es.”

“Pas di lapangan juga?”

Albert mengangguk. “Dia pasti dengerin instruksi aja. Gak pernah komentar lebih.”

Sementara itu, Riyan memikirkan ucapan Pak Roger tadi.

‘Jadi Luna yang dimaksud Pak Roger? Hmm... dia beneran gak suka kita, ya? Atau emang kayak gitu aja?’

Setelah berkenalan dengan semua anggota tim inti, Albert mengajak mereka mengelilingi seluruh gedung. Mereka dikenalkan ke locker room dan ruang komando di lantai 4. Di lantai 5 ada Forge room, Arena Orion, dan Arsenal untuk melatih kemampuan anggota.

Kemudian ruang Polaris—tempat observasi dan perbaikan alat-alat canggih yang menempati seluruh lantai 3. Lantai 2 yang berisi kantor atasan dan poliklinik. Yang terakhir lantai dasar yang terdapat sambungan poliklinik, dan yang paling luas adalah Leviathan zone—tempat latihan melawan beast secara virtual dan langsung.

Setelah mengelilingi gedung tim khusus, mereka kembali ke ruang komando. Albert mengajak mereka beristirahat sambil menunggu kembalinya Pak Roger. Mereka kembali ngobrol bersama Rizal dan Wawan, yang masih santai di sana.

Beberapa saat kemudian, Pak Roger datang.

“Udah, Bert?”

“Udah, Pak.”

Pak Roger lalu menatap Riyan dan Anton. “Gimana? Kalian bakal betah di sini, kan?”

“Betah, Pak,” jawab Riyan mantap.

“Selama aman sih, betah-betah aja, Pak,” celetuk Anton.

“Hahaha... itu tergantung skill kalian dong,” balas Pak Roger sambil tertawa. “Oke, jadi kalian wajib datang ke sini tiap hari kerja. Yang penting absen. Untuk bulan pertama, jadwal latihan kalian bakal saya susun. Oh, dan buat yang rumahnya jauh, di sini juga ada kamar.”

“Gak apa-apa, Pak. Rumah kami gak terlalu jauh kok. Ya kan, Ton?” sahut Riyan. Anton mengangguk membenarkan.

“Harusnya penjelasan kayak gini tugasnya Albert, sih,” sindir Pak Roger.

Albert yang sedang minum tersedak.

“Uhuk... ya Bapak gak nyuruh juga.”

“Lah, aku kan bosmu. Masa harus disuruh dulu?” balas Pak Roger santai.

Lalu ia menatap dua anak baru itu.

“Kalian pulangnya mau kapan? Sekarang? Atau nanti sore bareng yang lain?”

“Eh, udah boleh pulang, Pak?” tanya Anton antusias.

“Boleh dong. Kan baru perkenalan."

“Kita gak apa-apa pulang duluan, Pak?” tanya Riyan.

“Gak papa. Yang penting besok datang.”

“Wah, makasih banyak ya, Pak!” ujar Anton. Ia mengisyaratkan Riyan untuk segera pulang. Riyan mengangguk setuju.

Mereka berdua berpamitan kepada yang lain, lalu meninggalkan markas, turun, dan pulang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Invasi Beast   Dia Tak Berniat Melukai.

    Riyan melesat. Rintangan pertama: tangga V. Anak tangganya miring dan renggang. Riyan melompat ke kiri dan kanan sambil berpegangan erat. Sedikit kesulitan, tapi ia berhasil melewatinya. Berikutnya: lorong laser. Riyan meluncur masuk, lalu merayap cepat saat cahaya laser muncul mengejarnya. Sempat hampir tertangkap, tapi ia tiarap tepat waktu. Laser lewat di atasnya tanpa menyentuh. Ia lanjut merayap, menghindari satu laser lagi sebelum berhasil keluar. Rintangan ketiga: lintasan sensor tangan. Sensor akan mengayun dan menangkap siapa pun yang tersentuh. Riyan berlari sambil menghindar, gesit ke kiri dan kanan. Namun, di tengah lintasan, sebuah tangan memanjang dan menyentuhnya—kabel muncul dan membelit tubuhnya. "Akh, sial..." Setelah 30 detik, kabel lepas. Riyan berpikir cepat. Kali ini, ia mengesot saat tangan menyambar, lalu bangkit, lalu mengesot lagi. Strategi itu berhasil sampai ia lolos

  • Invasi Beast   Pertarungan dengan Ratu Es

    "Luna?!" seru Riyan, kaget. Luna berdiri di depan mereka tanpa ekspresi, seolah sedang melawan dua boneka latihan. Tekanan auranya meningkat. Ia menguatkan dorongan, membuat Riyan terhempas ke belakang dan terguling. "Kenapa, Luna?" tanya Riyan sambil bangkit, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tanpa menjawab, Luna langsung melesat. Pertarungan kembali terjadi. Suara dentingan senjata terdengar bertubi-tubi saat pedang mereka saling bertabrakan. Luna mengayunkan pedangnya ke kepala Riyan—ayunan cepat dan tepat. Riyan menahannya sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena tekanan. Dari sisi lain, Anton menyerang Luna dari samping. Luna menyadari, lalu melompat mundur, menjauhi keduanya. Sekarang situasinya jelas: seperti game fighting mode tim. Senior satu melawan dua junior. Luna akhirnya bicara. Suara Luna yang pertama kali mereka dengar. "Harus barengan, ya? Gak berani

  • Invasi Beast   Forge Room dan Arsenal.

    Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya. "Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang. "Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai. "Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan. Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.” TOK TOK TOK! "Masuk." Albert masuk bersama Riyan dan Anton. "Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh. "Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?" Riyan dan Anton mengangguk mantap. "Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan

  • Invasi Beast   Hari Pertama di Tim Khusus

    "Aku pulang!" Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan

  • Invasi Beast   Orientasi Tim Khusus

    Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift. Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan. Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan. “Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil. “Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka. “Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton. Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.

  • Invasi Beast   Masuk Tim Khusus

    "A-ada monster lagi?" ucap salah satu peserta di arena. "ROAAARR!!!" Harimau berkepala hiu itu mengaum lantang. Suaranya menggema di seluruh arena. Semua peserta panik dan kebingungan. "Hehe, beast tes kami tambah satu lagi, atas kemauan saya sendiri. Yaa... saya sih maunya nggak ada yang bisa bunuh beast dulu. Kan ini tes pertama. Jadi saya kasih beast level 2 untuk tambahan. Kalau bisa dibunuh, syukur. Kalau kalian yang dibunuh..." Beast itu langsung berlari ke arah peserta bersamaan dengan kalimat terakhir sang Jenderal. "Ya syukur. Semangat!" tambahnya santai. *Sebagai tambahan informasi, level beast di sini menunjukkan seberapa berbahaya beast tersebut. Semakin kecil angkanya, maka semakin berbahaya. Ada lima tingkatan, dengan level 1 sebagai yang paling berbahaya. Penjelasan lengkap tiap tipe akan disampaikan di kesempatan lain. Para peserta langsung terpencar, mencoba membingungkan beast itu. Tapi beas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status