Home / Fantasi / Invasi Beast / Forge Room dan Arsenal.

Share

Forge Room dan Arsenal.

Author: Orang Ngetik
last update Last Updated: 2025-10-07 08:31:58

Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya.

"Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang.

"Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai.

"Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan.

Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.”

TOK TOK TOK!

"Masuk."

Albert masuk bersama Riyan dan Anton.

"Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh.

"Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?"

Riyan dan Anton mengangguk mantap.

"Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan. Habis itu, ke Arsenal. Kamu juga ikut, Bert."

"Hhhh... iya deh..."

Mereka tiba di Forge Room, tempat latihan fisik bergaya gym modern. Duta, Rizal, dan Wawan terlihat sedang berolahraga, tapi Pak Roger tak menggubris mereka.

"Baik, sekarang kalian pemanasan dulu. Bebas mau ngapain," ujar Pak Roger sembari mulai peregangan. Albert ikut menirukan.

Riyan dan Anton saling pandang, bingung.

"Ee... kita mau ngapain, Ton?" tanya Riyan sambil melihat alat-alat di sekitarnya.

"Gatau juga..."

Riyan melirik ke arah barisan treadmill yang kosong.

"Kita pakai itu aja, yuk," ajaknya.

"Ayok lah, gua bingung juga nih."

Mereka mulai jogging. Selama kurang-lebih setengah jam, keduanya berlari hingga berkeringat.

Beberapa saat kemudian...

"Oke, cukup kalian," kata Pak Roger menghentikan mereka.

Riyan dan Anton turun dari treadmill, napas mereka ngos-ngosan.

"Nah, capek kan? Istirahat dulu lima menit, abis itu ke Arsenal."

"Enggak kok, Pak. Kita gak capek," ucap Riyan, meski jelas masih terengah.

"Iya Pak, kita udah siap," tambah Anton.

"Oke, kalau gitu ayo."

Mereka memasuki ruang sebelah. Luna terlihat sedang latihan menembak, fokus penuh pada sasarannya dan tak memperhatikan kedatangan mereka.

Pak Roger membawa mereka ke ring pertarungan.

"Kalian akan saya nilai dari gerakan bertarung. Satu lawan satu, oke? Naik ke atas ring," instruksinya.

Riyan dan Anton naik dan bersiap. Tapi dua menit berlalu tanpa gerakan, keduanya hanya saling pandang.

"Ee... Pak? Ini beneran harus satu lawan satu?" tanya Riyan.

"Hahaha... kenapa? Gak bisa lawan temen sendiri ya? Dari tadi cuma plonga-plongo," jawab Pak Roger sambil tertawa.

"Hehe, maaf, Pak," ucap Anton sambil menggaruk tengkuknya.

"Yaudah, salah satu turun. Saya akan suruh Albert atur robot latihan sebagai lawan."

Albert menyiapkan robot, lalu menekan tombol Start. Robot itu langsung memasang kuda-kuda.

"Peraturannya simpel: siapa yang jatuh duluan atau keluar dari lingkaran kuning, dia kalah. Siapa yang mau duluan?"

Anton menepuk bahu Riyan.

"Gua percaya sama elu," katanya sambil tersenyum, lalu turun dari ring.

"Kok gitu..."

"Siap?" seru Pak Roger.

"Satu... Dua... Mulai!"

Robot melesat. Riyan tetap diam saja tidak melakukan apapun. Robot itu melayangkan pukulannya. Riyan menghindar dan memegang tangan robot. Dengan cepat, ia memutar tubuh lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membanting robot ke matras.

BRAKK!

Layar di mata robot menyala dengan simbol ‘X’. Robot itu kalah.

Prok, prok, prok!

Suara tepuk tangan menggema.

"Wow, hebat juga kamu, Riyan. Saya aja gak kepikiran cara itu," puji Pak Roger.

"Hehe, terima kasih, Pak," balas Riyan sambil tersenyum malu.

"Sekarang gantian Anton."

Anton naik ke ring dan bersiap. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Peraturannya masih sama. Siap?"

"Siap."

"Satu... Dua... Mulai!"

Pertarungan dimulai. Anton langsung menyerang, berbanding terbalik dengan gaya Riyan yang lebih mengutamakan strategi. Pukulan dan tendangan terus dilancarkan. Beberapa mengenai, sebagian ditangkis.

Robot membalas. Pukulan telak mendarat di perut Anton, lalu sebuah uppercut membuatnya terhuyung.

Robot berlari, siap memberi pukulan akhir.

Tapi Anton sudah bersiap. Ia bertumpu pada matras dan melayangkan tendangan ke arah kepala robot.

BRAKK!

Robot terpental. Layar matanya memunculkan simbol ‘X’. Anton menang.

"Bagus, Anton. Saya suka gaya bertarung kamu," kata Pak Roger sambil bertepuk tangan.

"Terima kasih, Pak," ucap Anton sambil terengah.

Ia turun dari ring. Riyan memberi tos padanya.

"Oke, latihan fisik hari ini cukup. Sambil istirahat, kalian bisa lihat-lihat senjata di sana," ujar Pak Roger sambil menunjuk area penyimpanan senjata.

"Saya balik ke kantor dulu. Bert, temani mereka ya."

"Siap, Pak."

Pak Roger meninggalkan ruangan, sementara Albert mendekat untuk menemani mereka berdua menjelajah Arsenal.

"Hhhh... kebiasaan. Padahal tadi udah enak-enak santai," keluh Albert lesu sambil mengusap tengkuk.

"Hahaha… sabar ya, Bert," sahut Riyan sambil menepuk bahunya.

"Nah, yang mana nih tempat nyimpen senjatanya?" tanya Anton, tak sabar.

"Sini, ikutin gua."

Mereka bertiga berjalan menuju salah satu sisi Arsenal—tempat penyimpanan berbagai jenis senjata api dan bahan peledak. Rak-rak baja tertata rapi, masing-masing berisi pistol, senapan, granat, dan perangkat tempur lainnya.

"Di sini semua senjata yang bisa bikin bunyi 'BOOOMMM' disimpan," jelas Albert sambil menunjuk ke arah deretan senapan dan granat.

Riyan dan Anton melongo kagum, mata mereka berkeliling penuh rasa ingin tahu.

"Itu juga ada arena tembak," tambah Albert sambil menunjuk ke arah Luna yang masih fokus membidik target. "Bisa dipake buat uji coba granat juga. Tapi mending jangan sih... boros manekin."

"Kalo pistol-pistol ini, kelebihan dan kekurangannya apa aja?" tanya Riyan sambil menunjuk salah satu.

Albert mengambil sebuah pistol dari rak yang ditunjuk Riyan.

"Yang ini ringan, cocok buat jarak dekat sampai menengah. Cepet nembaknya, tapi akurasinya anjlok kalau udah jarak jauh."

Ia lalu menunjuk senapan yang digunakan Luna.

"Nah, yang dipake Luna itu jagoan di akurasi, daya tembak, dan senyap banget suaranya. Tapi ya... pelurunya cuma satu, jadi tiap tembak harus reload manual."

Riyan dan Anton mengangguk, mulai mengerti karakteristiknya.

"Kalian boleh coba juga sih... asal siap dimaki Ratu Es," bisik Albert sambil setengah menutupi mulutnya.

"Ee… hehe, lanjut aja ya," ucap Anton sambil nyengir canggung.

Mereka pindah ke area senjata jarak dekat.

"Nah, ini tempat penyimpanan senjata melee," kata Albert.

Rak-rak di sini memamerkan berbagai macam senjata: dari belati mungil, pedang bermacam bentuk, knuckle, hingga perisai kecil. Setiap senjata dipajang dalam wadah khusus dengan label dan kode masing-masing.

"Gua saranin, kalian pilih senjata yang sesuai dulu. Nanti kita latihan."

Riyan dan Anton mulai memilih, meski terlihat kebingungan. Karena mereka tak punya pengalaman dengan senjata-senjata ini.

Riyan mengambil sebuah pedang yang familiar.

"Ini sama kayak yang dipake pas tes, ya?" tanyanya sambil menyalakan bilah bercahaya biru. Pedang itu mengeluarkan dengungan khas.

"Yap, itu light saber. Kelebihannya: ringkas, gampang dibawa, dan lumayan kuat," jawab Albert. "Tapi... kalau diganggu frekuensi getaran tertentu, kadang suka ngeblank."

Anton tertarik pada pedang aneh dengan bilah kecil dan gagang besar. Saat ia tanpa sengaja menekan tombol di gagang, pedangnya tiba-tiba memanjang otomatis membentuk bilah penuh.

"Wow..." ucap Anton takjub.

"Itu namanya nano sword. Sebenernya sih enggak pake teknologi nano juga, cuma namanya udah telanjur keren. Pedang itu yang paling kuat yang kita punya sekarang." Albert menghela napas. "Cuma bentuknya... ya gitu deh. Aku udah coba modif, tapi malah nggak berfungsi."

Tiba-tiba…

SHINGGG!

Suara gesekan logam mendadak terdengar dari belakang mereka. Riyan dengan sigap memutar badan dan menangkis serangan tiba-tiba itu. Anton refleks melompat mundur.

"Luna??!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Invasi Beast   Dia Tak Berniat Melukai.

    Riyan melesat. Rintangan pertama: tangga V. Anak tangganya miring dan renggang. Riyan melompat ke kiri dan kanan sambil berpegangan erat. Sedikit kesulitan, tapi ia berhasil melewatinya. Berikutnya: lorong laser. Riyan meluncur masuk, lalu merayap cepat saat cahaya laser muncul mengejarnya. Sempat hampir tertangkap, tapi ia tiarap tepat waktu. Laser lewat di atasnya tanpa menyentuh. Ia lanjut merayap, menghindari satu laser lagi sebelum berhasil keluar. Rintangan ketiga: lintasan sensor tangan. Sensor akan mengayun dan menangkap siapa pun yang tersentuh. Riyan berlari sambil menghindar, gesit ke kiri dan kanan. Namun, di tengah lintasan, sebuah tangan memanjang dan menyentuhnya—kabel muncul dan membelit tubuhnya. "Akh, sial..." Setelah 30 detik, kabel lepas. Riyan berpikir cepat. Kali ini, ia mengesot saat tangan menyambar, lalu bangkit, lalu mengesot lagi. Strategi itu berhasil sampai ia lolos

  • Invasi Beast   Pertarungan dengan Ratu Es

    "Luna?!" seru Riyan, kaget. Luna berdiri di depan mereka tanpa ekspresi, seolah sedang melawan dua boneka latihan. Tekanan auranya meningkat. Ia menguatkan dorongan, membuat Riyan terhempas ke belakang dan terguling. "Kenapa, Luna?" tanya Riyan sambil bangkit, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tanpa menjawab, Luna langsung melesat. Pertarungan kembali terjadi. Suara dentingan senjata terdengar bertubi-tubi saat pedang mereka saling bertabrakan. Luna mengayunkan pedangnya ke kepala Riyan—ayunan cepat dan tepat. Riyan menahannya sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena tekanan. Dari sisi lain, Anton menyerang Luna dari samping. Luna menyadari, lalu melompat mundur, menjauhi keduanya. Sekarang situasinya jelas: seperti game fighting mode tim. Senior satu melawan dua junior. Luna akhirnya bicara. Suara Luna yang pertama kali mereka dengar. "Harus barengan, ya? Gak berani

  • Invasi Beast   Forge Room dan Arsenal.

    Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya. "Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang. "Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai. "Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan. Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.” TOK TOK TOK! "Masuk." Albert masuk bersama Riyan dan Anton. "Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh. "Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?" Riyan dan Anton mengangguk mantap. "Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan

  • Invasi Beast   Hari Pertama di Tim Khusus

    "Aku pulang!" Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan

  • Invasi Beast   Orientasi Tim Khusus

    Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift. Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan. Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan. “Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil. “Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka. “Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton. Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.

  • Invasi Beast   Masuk Tim Khusus

    "A-ada monster lagi?" ucap salah satu peserta di arena. "ROAAARR!!!" Harimau berkepala hiu itu mengaum lantang. Suaranya menggema di seluruh arena. Semua peserta panik dan kebingungan. "Hehe, beast tes kami tambah satu lagi, atas kemauan saya sendiri. Yaa... saya sih maunya nggak ada yang bisa bunuh beast dulu. Kan ini tes pertama. Jadi saya kasih beast level 2 untuk tambahan. Kalau bisa dibunuh, syukur. Kalau kalian yang dibunuh..." Beast itu langsung berlari ke arah peserta bersamaan dengan kalimat terakhir sang Jenderal. "Ya syukur. Semangat!" tambahnya santai. *Sebagai tambahan informasi, level beast di sini menunjukkan seberapa berbahaya beast tersebut. Semakin kecil angkanya, maka semakin berbahaya. Ada lima tingkatan, dengan level 1 sebagai yang paling berbahaya. Penjelasan lengkap tiap tipe akan disampaikan di kesempatan lain. Para peserta langsung terpencar, mencoba membingungkan beast itu. Tapi beas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status