Aku masih sangat lemas, dokter bilang efek diet tidak sehat, meski ketika aku bercerita bahwa aku eneg dan selalu mual saat melihat wajah seseorang, si dokter hanya tertawa. Justru merekomendasikan psikolog atau bahkan psikiater RS ini agar aku membuat janji konsultasi. Karena kalau sampai begitu berarti masalah mual muntahku bukan karena diet tapi karena kelainan mental. Disini yang menurutku terindikasi gila itu Jojo kenapa jadi malah aku?
Pada akhirnya aku memang berhasil menurunkan berat badan hingga 2 kilo. Tapi kalau tau diet kali ini menyiksa aku tak akan lagi sanggup, sungguh cantik itu memang butuh pengorbanan. Jangan bilang cantik itu diturunkan dari gen. Cantik itu karena perjuangan dan yang paling penting, modal.
Phia dan Shofi sudah datang, mereka berdua duduk kaku seperti murid yang sedang ke-gap bolos sekolah oleh guru BK yang paling killer, disini Jonathan yang jadi guru BK-nya.
Raut yang ditunjukkan Phia dan Shofi adalah raut tak berdaya, aku tau di dalam hati mereka sedang mengagumi wajah tampan natural Jojo tapi juga memaki sikap dingin dan menghakimi pria itu.
"Nona berdua, mengapa mengijinkan Cuwa tidak menjaga kesehatannya?"
Keningku berkerut heran dengan sikap Jojo akhir-akhir ini. Enggan melewatkan untuk menyaksikan mata Jojo hanya sedikit saja memincing, bahkan nyaris tak terlihat sangking singkatnya ekspresi itu yang ditujukan pada Phia dan Shofi. Berpikir sangat, apakah Jojo juga mendengar pikiran Phia dan Shofi?
Aku mengendik sebagai jawaban? Eh, koq aku bisa baca pikiran mereka? Jangan-jangan begini prosesnya Jojo bisa baca pikiranku, tapi kan Jojo tidak seperti mereka berdua yang setiap hari berinteraksi denganku selama beberapa tahun ini. Lalu apa dong rahasia si Jojo?
"Maaf Pak Jonathan, saya pikir Cuwa bercanda ketika bilang perlu diet" ketika mulut Jonathan hendak mengeluarkan sebuah kalimat jawaban untuk Phia yang pastinya tak akan menyenangkan di dengar, aku menyelanya.
"Jojo, itu salah kamu yang bikin aku diet. Kamu yang bilang aku gendut, kenapa jadi salah mereka sih, Jo." Ketika suaraku mendayu-dayu mirip musik keroncong yang bikin ngantuk, tapi ekspresi menghina dari wajah dua wanita itu sungguh membuatku ingin mencakar mereka. Memangnya salah ya, kalau aku bertutur manja pada suamiku, yah meskipun sebentar lagi akan jadi mantan.
Jojo diam, wajah datarnya tak menyiratkan apapun. Atau mungkin sangking rata mimiknya aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan. Dia masih memandang penuh peringatan pada dua orangku itu. Aku berinisiatif menyelamatkan mereka sebelum wajah Jojo berubah makin jelek dan membuat Phia Shofi melambaikan tangan ke arah kamera.
"Jo, apakah kamu tidak butuh ke kantor? Atau segera pulang ke rumah papa mama? Pergi saja tak apa. Ada mereka disini, kamu jangan lagi khawatir. Nanti aku juga akan menelpon papa dan meminta maaf pada beliau karena aku tidak bisa mengantar mereka"
Jojo berdehem, membawa tubuhnya menghadap diriku sepenuhnya. Salah satu tangannya dia masukkan ke saku celana. Wajahnya memang datar, tapi tatapannya berbicara bahasa kalbu, bahasa yang paling sulit dipahami bahkan oleh manusia paling peka sepertiku. Aku tak tahu apa yang membuatnya berlama-lama menatap wajahku, membuatku untuk berjuang menahan nafas sekaligus pikiranku untuk tetap kosong sebelum dia mengucap pergi.
"Aku pergi. Jaga dirimu selama aku tidak ada, Swara Amaya"
Setelah kemudian pria yang masih suamiku secara hukum itu menutup pintu dari luar, kami bertiga menghela nafas lega, tanpa sadar merilekskan otot-otot yang tiba-tiba menegang karena tatapan tidak bersahabat Jojo.
"Predator telah pergi, kita selamat" Shofi mengusap dadanya dramatis. Dia juga menurunkan bahunya dengan menghembuskan nafas berlebihan.
"Lebay!" Ejekku dengan lidah melet menghina, tentu saja setelah aku sendiri diam-diam juga merasa lega. Ada rasa sedikit terganggu dengan kalimatnya yang ambigu, bukannya selama ini dia tidak pernah ada. Atau maksudnya setelah ini dia akan selalu ada untukku?
"Dih, kayak kamu enggak" sahut Shofi sambil mengibaskan rambut sebahunya yang ikal alami. Lalu beranjak membuka buah tangan yang dia bawa tadi.
"Kalau melihatnya menatapmu begitu, aku hampir percaya kalau yang berinisiatif mencium memang dia dulu waktu di mall itu" Phia menjepit dagunya sendiri dengan dua jarinya. Kebiasaannya kalau sedang menganalisis sesuatu.
"Emang" jawabku dengan memutar bola mata. Lalu tak lupa mengisyaratkan Shofi untuk membagi coklat kesukaan kami bertiga.
"Tapi,"
Aku menghentikan gerakan mengambil bulatan coklat premium yang menggiurkan yang akhirnya disodorkan Shofi, waspada dengan kata keraguan dari mulut Phia.
"Tapi apa Phi?" Aku bertanya, instingku tidak enak saat melihat tatapan khas Phia yang serba tahu, selain manager berbakat dia juga informan terbaikku.
"Lihat ponselmu, ku kirim kejutan spesialnya"
Dan seketika, rahangku nyaris jatuh saat layar ponselku menampilkan Jonathan menggandeng Irene Audi dalam balutan pakaian resmi. Aku terharu merasa semesta membantuku melempar tuduhan kepada Jonathan agar memberiku surat cerai. Namun aku jadi ragu Shofi dan Phia memahami ku dengan baik melihat ekspresi iba mereka padaku.
"Kapan ini, Phi?" Tidak ada irama kaget dalam suaraku, aku sudah terbiasa dapat kiriman seperti ini, bahkan dari nomor asing sekalipun.
"Semalam" sahut Phia pelan. Posturnya yang terlihat judes di luar kini tampak mengkhawatirkan aku. Apalagi wajah murung Shofi saat menatapku. Mereka masih mengira aku menyukai Jonathan dan jadi terluka, meski bersikeras ingin cerai.
"Sejak dulu mereka memang terlihat serasi, kenapa aku lebih rela Jojo bersama Iren daripada bersama Renita" aku bergumam.
Iren Audi, mantan putih abu-abu Jojo. Berkarakter anggun, anak pejabat, pekerjaan mapan sebagai seorang psikolog. Bukankah Iren ini seorang psikolog yang sering hilir mudik di televisi karena menangani korban kejahatan. Aku jadi sangsi pada hubungan mereka, koq aku makin curiga Jojo memang mengalami sakit mental.
****
Diam-diam aku banyak meneliti artikel mengenai membaca atau mendengar pikiran. Tapi kenapa yang masuk akal mengarah pada halusinasi pendengaran sebagai indikasi demensia atau skizofrenia.
Atau Jojo memang pernah belajar psikologi mengenai membaca pikiran orang lain. Meneliti ekspresi lewat perubahan gestur tubuh, kernyitan wajah, alis dan gerak bola mata. Tapi koq aku lebih suka kalau Jojo terkategorikan pada opsi pertama yakni halusinasi, demensia, atau yang lebih parah kerusakan otak sehingga dia mengidap skizofrenia atau gangguan jiwa alias gila.
"Apa yang sedang kamu baca?"
"Mhmm," aku enggan berpindah dari bacaan menarik ini, meski suara maskulin Jojo mengusik. Aku juga tau dia sedang menungguku menjawab.
"Apa yang membuatmu begitu tertarik pada ponselmu?" Tanya dia lagi, kali ini aku melihat dirinya menaikkan tatapan dariku ke jalananan.
Ketika aku menoleh padanya, yang pertama tertangkap idraku adalah garis di ujung matanya membentuk huruf y yang tumbang. Lalu kulit wajahnya tak sehalus pria-pria pekerja seni yang sering perawatan di salon. Jonathan murni hanya seorang pria yang merasa cukup hanya dengan sabun wajah dan after shave.
Untung gen-nya tampan. Ups, aku menutup mulutku, menepis jauh-jauh pujian untuknya yang tak seharusnya.
Hampir lupa kalau objek yang ku pikirkan sedang ada di sampingku, mengendalikan kendaraan menuju apartemen, aku sudah cukup istirahat dua hari saja di RS. Terlintas jawaban pertanyaan darinya berupa seucap kalimat dalam kepalaku, mencari tahu kamu bohong atau justru gila.
Aku berkedip, membawa kembali anganku berpijak ke dunia nyata, dimana bukan hanya ada aku sendiri, tapi ada Jojo juga. Aku mengingatkan diri bahwa tak baik terus berbicara dengan diri sendiri, bagaimana kalau benar Jojo bisa membaca pikiran. Aku tidak bisa mencegah pipiku memerah, mengingat aku mendoakannya mengidap skizofrenia.
"Tidak ada"
"Bukan mencari tahu soal membaca pikiran dan mengira aku gila?" Ah, tepat ke sasaran. Merasa malu karena ketahuan, aku menutup wajah dengan kedua tangan.
Duh mati kutu gue! Jangan berpikir, jangan berpikir, jangan berpikir macam-macam lagi Wa, suamimu memang jelmaan Ki Joko bodho, dasar bodho, bodho!
Berikutnya aku mendengar tawa Jojo memenuhi ruang kecil yang tengah berjalan ini. Aku terperangah, melepas kedua tanganku demi bisa memandangnya yang tertawa.
Jojo tertawa? Aku tidak sedang bermimpi kan?
Memperlihatkan giginya setelah menahan tawanya sejenak.
Aku, membuatnya tertawa???!
Terpaku bodoh, dengan mulut tak sempat menganga tapi juga tak bisa mengatup, mataku berkedip-kedip seperti ada debu yang memenuhinya. Tak sadar sampai kepalaku meneleng miring hanya demi mempercayai apa yang ku lihat.
Apakah dunia berhenti berputar?
Semakin lama tawanya menghilang, berganti dengan senyum menawan yang bagiku sangat langka. Perhatiannya juga tak lagi kepadaku, tapi ke jalanan yang kami lewati.
Ketika tersadar aku bergidik, menatapnya ngeri.
dia memang gila. Oh, jangan berpikir Cuwa! Jodoh macam apa yang dikirimkan Tuhan padamu,
Aku meliriknya kembali, iya pria macam dia?
ternyata hanya orang gila.
Ku pukul kepalaku ringan sebagai hukuman karena meracau di dalam kepala. Jadi ayo alihkan pikiranmu Cuwa.
Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik
Oh senangnya aku senang sekaliKalau begini aku jadi sibukBerusaha mengejar-ngejar dia Matahari menyinari semua perasaan cintaTapi mengapa hanya aku yang dimarahi......(Ost. Sinchan)Aku terus bernyanyi sambil menutup mata, menghindari mendengar suara kekehan Jojo yang sesekali terdengar.
Ya tuhan, jauhkan aku dari syetan yang terkutuk macam Jojo, kenapa pula dia bisa mendengar atau membaca pikiran?Memangnya dia malaikat? Jelas bukan, dia sekolah bisnis di Eropa, bukan sekolah sihir di Hogwarts. Adakah yang bisa menjelaskan ini secara ilmiah atau setidaknya secara rasional.
Hentikan pikiranmu Cuwa, ayo nyanyi lagi.
Aku ingin begini aku ingin begitu
Ingin ini ingin itu banyak sekaliSemua semua dapat dikabulkanDapat dikabulkan dengan kantong ajaibAku ingin terbang bebas di angkasaHai, baling-baling bambuLalala aku sayang sekaliDoraemon...(Ost. Doraemon)
"Cuwa" jangan hiraukan dia Wa.
"Cuwa"
Mendaki gunung lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samuderaBersama teman berpetualang.....(Ost. Ninja Hatori)
"Cuwa,"
Jonathan mengusap rambutku, menyadarkan aku bahwa dia telah berdiri di luar mobil di samping tempatku duduk. "Ayo turun" ujarnya lembut, melepas safety belt yang melingkari tubuhku lalu meraih tanganku untuk membantu menuruni mobil. Aroma Cemara itu menghilang berganti aroma mint yang segar. Apa dia sudah mengganti parfumnya?Aku linglung, tanpa sadar membawa tanganku yang lain untuk meraba ubun-ubun, dimana jejak hangat dari tangan Jojo tertinggal. Dia mengusap rambutku? demi cacing kremi yang tak mungkin berubah jadi cacing hati, cacing hatiku yang adalah Jojo. Gila, dia kenapa?
"Maaf, kita mampir disini sebentar saja. Aku terlanjur berjanji bertemu seseorang" katanya sambil melangkah tenang di depanku, sementara aku hanya akan terlihat diseret karena dengan setengah kesadaran mengikuti di belakangnya dengan mata masih mengarah tak percaya pada tangan kami yang bertaut.
Phia dan Shofi saling lempar pandang, terakhir mereka memandangku dengan tatapan mereka yang seolah bilang "Suamimu kenapa? Kesambet? Sejak kapan dia perhatian sama kamu, Wa? Kamu pelet di dukun mana dia."
Dibuang sayang.Terngiang telpon dari Tante girang, aku tersenyum antara miris dan sedih. Bukannya aku takut padanya, tapi jelas menghadapinya perlu menyusun strategi, mengingat ini Mitsuko. Jauh-jauh dari Jepang jelas dia tak mau pulang kampung dengan tangan hampa.Gini amat punya suami bajingan, susahnya menghempaskan masa lalu, tak semudah membuang remahan roti pada taplak meja. Ahh, aku menghela nafas lelah, rumah mungil pinggir pantai dan seorang anak yang memanggil mama, hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Aku ingin mewujudkan itu. Kalau gini abaikan perih, suruh Jojo rajin anu, biar cepet jadi anak. Jadi janda anak satu, kayaknya masih oke, sesuai slogan janda makin di depan.Jadi setelah ku ceritakan semua pada Phia, akhirnya dia datang. Hebatnya tanpa ku minta, dia membawa Mbah Menyan pula, dan itu membuatku puas. Phia emang selangkah lebih maju.Cinta mengalahkan logika emang bener ya? Tidak, bukannya cintaku pada Jo
Inikah yang kalian tunggu? Extrapartpart Cuwa yang bikin penasaran...Happy Reading ?Apa yang dipikirkan kakek ketika menjodohkan ku dengan gadis bar-bar tapi kemayu itu?Masih terlalu anak-anak, manja dan childish. Suka merengek setiap kali bicara, dan jelas merepotkan, apalagi dengan dalih ditinggal pergi sang ayah untuk selama-lamanya. Dia memanfaatkan kakek dan ayahku.Aku menggeleng tak paham dengan pemikiran ku sendiri. Apa aku harus menjadi baby sitter yang harus mengajarinya bagaimana bicara baik dan benar? Apa aku juga harus mengajarinya untuk berhenti berkedip genit pada semua orang? Apa aku juga harus merangkap jadi fashion designer pribadinya untuk menyortir mana busana pantas dan tidak pantas?Sama halnya dengan papa yang sudah tertipu tampang innocentnya. Yang selalu bilang bahwa dia dibesarkan dengan baik oleh ayahnya, dididik keras oleh ibunya, maka jangan ragu kalau dia akan jadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu. Bukankah dia mani
Jojo kejang, matanya terbuka sesaat lalu menutup lagi, begitu beberapa kali hingga perawat yang ku teriaki datang. Perawat sebenarnya hanya menepi tak jauh dari kamar Jojo, kebiasaan yang dia lakukan ketika pihak keluarga menemani."Tolong kirimkan siapapun ke kediaman Jonathan Wirautama, pasien mengalami kejang." Ujarnya di telpon entah pada siapa.Aku membekap mulutku yang hendak berteriak menyebut nama lelakiku itu, tapi aku tak mau kelakuan ini justru membuat suasana makin panik. Perawat senior kepala empat itu menatap khawatir pada Jojo. Meskipun gerakannya tetap tenang tapi aku sempat melihat wanita itu menarik nafas dalam."Lebih baik anda menunggu di luar." Sarannya pada kami, matanya menyiratkan permohonan."Tidak" ucapku berbarengan dengan Renita. Ini pertama kali dialami Jojo. Aku ingat dokter pernah bilang, usahakan jangan sampai oksigen lepas darinya, itu bisa menyebabkan kejang yang artinya otak kekurangan pasokan oksigen. Apa arti
"Sayang, jangan lari-lari.""Mam, itu... Aku takut.""Apa yang kamu takutkan sayang?" Tanyaku padanya pria kecil yang memeluk kakiku. Dia menunjuk pada rombongan penari bertopeng yang baru saja melewati kami.(Pasti udah ada yang salah paham ???)"Erlang jangan ganggu Tante Cuwa, kemari sayang.""Biar saja Ren, mungkin dia kangen aku." Ku tarik Erlang dalam pelukan dengan berjongkok.Renita beruntung, meskipun hidupnya terkekang seperti prediksi ku. Tapi sepertinya dia berhasil menjalani pernikahan perjodohan dengan Fathian. Kini dia tengah hamil, sudah enam bulan usia kandungannya.Untuk informasi saja, mulut si Fathian masih tercemar bon cabe level 50. Tidak ada yang berubah selain statusnya yang menyandang suami dari Renita Sumanji. Dia masih menatapku tajam dan lapar. Abaikan saja kenyataan ini, aku tidak mau Renita tau. Pernah suatu kali dia membisikkan kalimat, siap menjadikanku yang utama jika Jojo meninggal. Dia gila kan?
"Ini bukan telpon penipuan kan Shof?" Ucapku tak yakin dengan kalimat ku sendiri. Aku tidak shock sampai gemetar atau jantungan. Aku juga tidak terperangkap dalam histeria kepedihan karena kabar ini. Aku hanya merasa ringan, terlalu ringan untuk disebut baik-baik saja."Wa, itu tadi Widi, asistennya Pak Jonathan, Wa." Ucap Shofi sungguh-sungguh, ketegangan menghiasi wajahnya yang manis."Penipuan kali Shof..." Tepis ku sekali lagi.Berusaha menghalau kebenaran kabar yang membuatku merasakan percampuran antara kecewa dan marah, tapi sedih disaat yang bersamaan.Aku akan mengerti kepentingan Jojo menemui Mitsuko, tidak mungkin Mitsuko akan melepas Jojo begitu saja dengan tuntutannya. Walau tetap saja, praduga menyakitkan membayang di depan mata. Ponselku kembali berdering nyaring, mengusik rentetan huruf demi huruf yang membentuk suatu ancaman dalam ingatanku.Pergi atau mati. Benar, pesan itu disampaikan lewat mimpiku. Entah ditujukan untuk siapa? Ata
"Swara Amaya, help me please..."Tangisan Mitsuko menyambutku. Serius, dia tau nomor pribadiku? dapat darimana coba? Nggak tahu malu banget, kayak enggak habis mau ngambil nyawaku aja. "Please listen to me... He showed me the pain I betrayed from these eyes. I can't take it anymore" Tolong dengarkan aku, dia memperlihatkan rasa sakitnya ku khianati dari mata ini. Aku tak tahan lagi. Ungkapnya cepat, ada nada ketakutan dan kesedihan yang akut dari suaranya yang bergetar. Aku bingung kenapa dia jadi curhat padaku? Ah kalau begini, haruskah ku buka jasa curhat berbayar. Dia yang dimaksud apa itu mendiang suaminya? "Jonathan must help me, I beg you."Jonathan harus membantuku, aku mohon padamu.Aku membuang nafas, sungguh drama sekali Tante girang ini. Apa dia lupa aku ini apanya Jonathan? Apa dia juga melupakan perlakuannya yang membuatku disatroni hantu t
Sarapan yang sangat terlambat, sudah pukul sebelas saat kami sampai di restoran. Jojo hanya mengenakan kaos oblong santai, sementara aku sendiri menemukan selembar gaun rajut sederhana. Itu adalah satu-satunya yang bisa kami pakai dalam tas traveling yang disiapkan Shofi ketika kami di rumah sakit."Makanlah... Jangan marah lagi." Katanya dengan sangat lembut.Jangan harap akan ada situasi canggung yang akan melingkupi setelah apa yang kami lewati. Sepanjang waktu aku terus memasang wajah merengut padanya, setelah mengangguk setuju memberinya kesempatan denganku.Aku tidak marah, aku hanya sedang kesal padamu. Aku kesal kamu membuatku tak bisa mengelak hanya karena kamu bisa mendengar pikiran terdalamku.Roti dengan isian daging asap serta saos yang tercium lezat dari aromanya, tak mampu menggugah seleraku."Maafkan aku. Jangan kesal lagi kalau begitu, nanti malam orang Mikimoto datang. Pesanlah beberapa, kamu pasti suka."Aku mengerny
"Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia mengecup ujung bibirku hingga wajahnya bersilangan dengan wajahku. Setelah menyimpan diriku dalam bathtub, aku membawa mataku memejam. Tak ada aromaterapi, hanya persediaan sabun ala kadarnya yang memenuhi bilik ini. Memangnya apa yang bisa ku harapkan dari rumah baru yang dapur dan terasnya saja aku tidak tahu letaknya."Ada yang tidak nyaman di tubuhmu?" Tanyanya lagi dengan segala perhatian yang hanya padaku, entah nanti kalau dia sudah bosan.Aku mengangguk untuk menggeleng kemudian, wajah Jojo yang flat jadi mengerut, karena gestur ku mungkin membingungkan. Atau karena dia mendengar pikiranku."Aku ingin tidur..." Sahutku akhirnya."Istirahat di kamar saja, nanti kamu masuk angin, airnya sudah mendingin.""Mhm" mataku memejam lagi, rasanya berat dan lengket, aku butuh menghilangkan pegal-pegal di tubuhku. Pria ini bahkan bertanggung jawab pada rasa kebas yang membuat pusatku hampir mati rasa. Tidak, a
"Maafkan aku, Wa." Katanya penuh penyesalan. Lalu dengan cepat menarik tanganku untuk dia kunci di atas kepala pada tembok tepat sebelah ranjang. Bibirnya melahap bibirku tanpa seni, mencium ku dengan brutal, seolah menegaskan aku ada di bawah kuasanya. Yang paling ku benci, satu tangannya yang lain meraih tali bathrobe di perutku, selanjutnya menstimulasi dada menimbulkan sensasi menggelitik yang asing. Dengan cepat dia menarik pembungkus tubuhku satu-satunya tersebut. Sedikit kasar dia menarik bathrobenya sendiri. Jangankan menghalau semua tindakannya, membantin saja aku tak sempat. Lalu....Aku berjengkit kaget luar biasa setelah dia mendorong ke ranjang. Satu tangannya menarik punggungku agar tak terpelanting. Matanya menatapku dalam, membawa menyelami gairah yang terkungkung antara dia dan aku. Dalam sekejap membawaku bergulung dalam pusaran yang belum pernah ku rasakan. Aku tak bisa lagi menolak medan magnetik yang terpercik darinya, yang kini menula