“Aduh, kepalaku!” Mika bangun dan memegangi kepalanya yang terasa nyeri. “Ini ... di mana?” tanyanya entah pada siapa.
Mika bangun dan segera sadar ia berada di sebuah tempat yang asing. Tiga orang yang lain juga terbaring tidak jauh dari tempatnya. Semilir yang berembus menghambur rambut hitamnya yang terurai. Aroma laut yang sedikit amis masuk ke rongga hidung. Langit yang biru, alam terbuka.
Mika memutar lehernya, mengalihkan pandangannya. Mencari sesuatu yang entah apa. Mungkin penjelasan, mungkin juga sesuatu yang familier. Di belakang punggungnya hanya ada laut seluas mata memandang. Sementara di depannya terlihat hamparan pasir dan rimbunnya pepohonan.
“Sudah bangun?”
Isamu Zelina melangkah mendekat diikuti oleh Rania Meisy. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang lebih dulu sadar. Pasir yang menempel di sepatu mereka menandakan keduanya telah berkeliling untuk melihat-lihat sekitar.
“Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan ka
Sebelum pergi mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, Mika mengambil selendangnya dalam koper. Selain selendang, ia juga mengambil lipstik yang rencananya akan digunakan untuk menulis.“Stop, stop!” Rania tiba-tiba memekik histeris, membuat yang lain terkejut. “Lipstik mahal jangan digunakan untuk itu! Gunakan punyaku saja.” Rania mengeluarkan lipstik batang miliknya yang sudah tidak berbentuk dan hampir habis.“Ya ampun! Dia yang melakukan kenapa aku yang malu.” Jovita mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat tingkah Rania yang terlalu udik.Rania tidak peduli. Ia tetap menyodorkan lipstik miliknya. Kali ini sedikit memaksa. Menggunakan lipstik mahal bukan pada tempatnya berarti menyia-nyiakan esensi dari bahan-bahan terbaik yang sudah dengan susah payah dikomposisikan. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya.Mika mengibaskan tangannya, “Barangku, terserah ingin kuapakan!” tegasnya.
“Permisi!” Isamu mengetuk pintu. Vila merupakan bangunan tingkat dua. Bagian halaman cukup luas dengan pagar rendah. Pagar hanya dikunci seadanya sehingga bisa dijangkau dan dibuka dengan mudah. Halamannya yang luas dipenuhi dengan dedaunan kering yang berjatuhan. Tidak terlihat ada lumut meski beberapa hari lalu hujan masih sering turun. Dinding bagian samping dan setengah bagian belakang merupakan dinding kaca namun tertutup gorden dari dalam. Rania sudah mencari celah untuk bisa mengintip tapi semua bagian tertutup rapat oleh gorden. Di bagian belakang bangunan ada kerukan yang mungkin rencananya akan dijadikan kolam renang namun kini hanya ditumbuhi ilalang liar. Rumput tumbuh lebih tinggi dan lebat. Belalang dan berbagai macam serangga melompat bergantian. “Permisi, apa ada orang?!” teriak Isamu lagi. Isamu dan Mika berdiri di depan pintu, Rania berkeliling bangunan, sementara Jovita, Adien, dan Tami berdiri sedikit lebih jauh dari
Adien sedang memasak untuk makan malam di dapur ketika Rania dan Tami turun bersamaan. Keduanya telah kembali segar setelah cukup istirahat dan mandi.“Masak apa?” Tami duduk di bagian depan meja dapur. Rania melakukan hal yang sama.“Moodku belum kembali jadi aku hanya masak masakan sederhana. Yang penting bisa menghilangkan rasa lapar.” Adien mematikan salah satu kompor dan memindahkan panci yang berisi sayur. “Aku enggak tahu selera kalian, tapi aku masak dalam jumlah yang cukup jika ada yang mau bergabung.”“Itu cukup.” Tami mendekat ke arah Adien. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menawarkan diri.Adien melihat sekelilingnya sebelum menjawab, “Tolong angkat ikannya!” katanya setelah melihat kompor yang lain.“Kalau aku enggak pernah memilih-milih makanan. Apa yang ada, itu yang dimakan,” Rania ikut menimpali.“Aku bisa makan apa pun asal ada samb
Setelah makan malam selesai dan bersih-bersih tuntas, Adien membuat teh dan memotong beberapa buah untuk dinikmati bersama. Mereka berkumpul di ruang depan. “Masih belum ada sinyal juga?” Jovita mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Staf acaranya masih belum ada yang datang juga?” Tami mondar-mandir di depan pintu yang terbuka. Kembali merasa cemas. Hening. Masing-masing orang sibuk sendiri-sendiri. Ada yang memainkan ponselnya; terus-menerus memeriksa jaringan, keluar-masuk galeri foto, bermain game offline, dan apa pun yang masih bisa ponsel lakukan. Ada juga yang sibuk berpikir dan sibuk meratapi nasib. “Hidup benar-benar lucu.” Isamu memecah keheningan. “Siapa yang akan menyangka kalau di masa depan kita akan terjebak di tempat asing, bersama orang-orang enggak dikenal, dan orang yang dibenci.” Benar. Hidup benar-benar lucu. Takdir sangat pandai mempermainkan nasib seseorang. “Benar!”
“Rania Meisy, tidak ada yang ingin kamu jelaskan?” Mika mengulang pertanyaannya.Semua mata masih menatap Rania lekat. Beberapa dari mereka menatap menghakimi, sisanya ingin tahu dan menuntut penjelasan. Jika tuduhan Mika benar, seharusnya ada alasan tidak biasa yang melatarbelakangi tindakan Rania.“Apa? Kenapa aku?” Rania yang tidak mengerti maksud Mika balik bertanya.“Saat kamu bertanya di mana kamar Isamu, aku menyebutkan kamar nomor 4. Tapi nomor 4 yang kamu pilih adalah kamar di seberang nomor 2. Itu aneh. Karena siapa pun pasti akan menghitung berurutan dari yang paling depan, tidak menghitung zig-zag seperti yang kamu lakukan,” jelas Mika. “Caramu menghitung seperti kamu tahu urutan nomor kamar yang benar. Yang sesuai dengan papan nomor yang seharusnya menggantung di pintu.”Rania mengerutkan keningnya “Itu bukan alasan,” kilahnya “Aku memang terbiasa menghitung seperti itu karena
Nasi goreng, telur mata sapi, dan sawi rebus dalam wadah terpisah telah disajikan di meja makan. Adien, Rania, dan Isamu yang turun bersamaan, tidak melihat ada siapa pun berada di dapur.“Siapa yang masak?” Adien bertanya setelah membuka penutup meja makan. Aroma nasi goreng yang menguar dapat tercium oleh siapa pun. Uap panasnya yang menggulung di udara menandakan masakan langsung disajikan begitu matang.“Tami.” Mika muncul dari pintu belakang, “Pagi-pagi dia sudah bangun.”“Loh!” Adien menunjuk pintu yang baru saja Mika tutup. “Bukannya kemarin pintunya enggak bisa dibuka?”Adien yakin pintu belakang terkunci karena saat itu ia yang memeriksa. Berkali-kali Adien mencoba bahkan sampai memaksa agar pintu terbuka, sayangnya pintu tetap bergeming.Isamu mengangguk, ikut memperkuat keterangan Adien. Saat itu ia juga telah mencoba dan pintu sama sekali tidak bisa dibuka.“
Sebuah bangunan mewah dengan halaman seluas 500 meter persegi berdiri dengan megah di pusat kota jalan MT Haryono. Kawasan itu memang terkenal elite. Sepuluh konglomerat terkaya di Indonesia tinggal di area itu.Laisa Khalila 23 tahun, tinggi 173 senti. Ia sedang bersantai di halaman depan, di bawah sinar matahari yang hangat. Ia berbaring dengan malas di atas kursi santainya. Matanya terpejam namun kesadaran masih utuh terjaga.Rambut Laisa dipotong terlalu pendek, belah samping. Penampilannya tomboi dan serampangan. Sama sekali tidak ada kesan anggun atau manis sebagai putri konglomerat.“Laisa!” Seorang pria memanggil namanya. Dengan setengah berlari ia mendekat. “Laisa!!” panggilnya lagi dengan suara yang lebih keras. “Laisa, Laisa!!!” panggilannya berulang kali lebih dekat ke telinga Laisa.Razan Witton 25 tahun, tinggi 185 senti. Tubuhnya tegap, berisi tapi tidak gemuk. Rambutnya tersisir rapi belah samping dengan
Mika mengetuk pintu kamar mandi. Suara keran air terdengar dimatikan dan tidak lama kemudian pintu akhirnya dibuka. Wajah Rania yang basah menandakan ia baru selesai membasuhnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Mika.Rania hanya mengangguk. Wajahnya masih terlihat pucat. Semua orang juga sama. Mereka terkejut, syok, tidak menyangka. Adien dan Tami bahkan saling berpelukan dan menangis cukup lama.Semua orang berkumpul di ruang depan lantai bawah. Tidak terdengar percakapan apa pun sejak Rania masuk ke kamar mandi. Hanya sesekali terdengar suara isak tangis. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikirannya, merasa terancam, dan ketakutan.“Bukannya kamu sangat suka menakut-nakuti orang, kenapa sekarang wajahmu terlihat lebih pucat dari Tami?” celetuk Isamu.Adien berhenti terisak. Semua mata melihat ke arah Isamu, kemudian beralih memperhatikan ekspresi Rania.Rania menatap tajam Isamu, kemudian tersenyum sinis. “Seseo