Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
Setelah undangan itu diterima segalanya berbeda. Semuanya berubah ... "Hei, kamu lihat Tami?" Wanita yang bertanya adalah Mika. Seperti biasa penampilannya selalu rapi, anggun, punggung tegak, kepala terangkat, dan heels yang membalut kakinya. "Tami?" Rania, orang yang ditanya justru balik bertanya. Ia sedang memastikan tidak salah dengar, kemudian menggeleng. "Tadi dia bilang mau bareng ke dermaga." Rania celingukan ke sana ke mari, mencari orang yang jelas-jelas tidak ada. "Mungkin masih di belakang," duga Rania. Mereka berjalan melewati belukar dan akar pepohonan yang mencuat di permukaan. Mereka harus berhati-hati meletakkan pijakan jika tidak ingin jatuh dan melukai diri sendiri. Mika berjalan paling depan. Heels yang dikenakan sama sekali tidak menyulitkan langkahnya. Rania mempercepat langkah, menyejajari langkah Mika. “Tami kenapa?” tanyanya penasaran. "Hari ini tingkahnya sedikit aneh." "Aneh? Contohnya?" Mika menatap Rania dengan sebal, kemudian berlalu tanpa member
Sebuah undangan dengan kertas tebal berwarna hitam tergeletak di atas meja. Bagian sudut-sudut sampul depan terdapat ukiran berwarna emas, membuatnya terlihat mewah. Tulisan dalam undangan menggunakan tinta berwarna fanta dengan font yang memberi kesan ceria dan indah. Sangat bertolak belakang dengan latarnya yang meski mewah namun terlihat kelam.Tulisan ‘undangan’ pada sampul menggunakan tinta berwarna emas dicetak tebal dan besar. Menjadi satu kata yang bertakhta angkuh di sana. Kata kedua adalah ‘kehormatan’ dicetak di bawah kata ‘undangan’ dengan ukuran lebih kecil dengan warna yang sama.Kata ‘kehormatan’ akan membuat siapa pun yang menerima undangan merasa terhormat, hebat, penuh percaya diri. Ketika undangan dibuka, tulisan yang lebih ceria dan indah membuat siapa pun yang membacanya akan beranggapan hal yang menyenangkan akan terjadi. Mereka tidak akan terintimidasi denga
Jovita Fabella sedang menonton video pertama yang membuat wajahnya dikenal dan menjadi viral. Ia selalu tersenyum puas saat mengenang, merasa menang. Ia tidak salah dalam memilih langkah. Seandainya hari itu ia tidak melakukannya, maka tidak akan ada Jovita Fabella yang dikenal orang hari ini.“Ini menyenangkan.”Yang dilakukannya memang hanya pamer harta yang tidak seberapa, menyombong, sedikit memaki, kemudian merekam, dan menyebarkannya di media sosial. Hal-hal yang tidak disukai dan dibenci memang lebih mudah menarik perhatian dan menjadi pembicaraan. Jovita sukses pada serangan pertama.Video mengenai dirinya ditonton ribuan orang. Kolom komentarnya dipenuhi hujatan, kalimat ketidaksukaan, beberapa orang bahkan mau berepot-repot menuliskan nasihatnya.‘Ya ampun, Kak istigfar. Harta enggak dibawa mati.’‘Astaga, norak!’‘Orang kaya yang lebai biasanya enggak benar-benar kaya.’