Share

Bab 6. Status F* Dek Hana

Author: Astika Buana
last update Huling Na-update: 2022-07-27 16:18:46

----------

Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain. 

 

Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung. 

 

Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri.

---

 

Itu status f******k yang ditulis oleh Dek Hana

 

Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin".

 

Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi. 

 

Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami. 

 

Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, kami pun menyokongnya ketika membutuhkan modal. Keuntungannya, murni dipakai untuk keperluan dia pribadi, kami tidak pernah mempertanyakan apalagi meminta bagian. 

 

Memang, Dek Hana mempunyai standart hidup tinggi. Baju, sepatu, bahkan tas pun harus bermerk, dari hasil bisnisnya itu dia membelinya.

 

Saudara siapa yang dimaksud? Memang dia tidak menuliskan nama, tetapi, mengingat masalah diantara kami, jelas-jelas ini tertuju kepada kami. 

 

Kata malak, membuat hati ini teriris. Itu sama saja menuduh kami mengambil paksa apa yang dia punya. Kakakmu ini hanya pinjam, Dek. Itu pun, seribu kali kami berpikir saat akan mengirim pesan w******p.

 

Banyak yang menaruh komentar setelahnya, ada yang bilang aamiin, tetapi ada juga yang mempertanyaan.

 

"Bukankan kamu ikut Mas Farhan, ya. Aku pernah ke rumahmu, mereka baik. Setahuku sekolah dan kuliah ditanggung kakak kamu." Sepertinya komentar ini dari teman sekolah Dek Hana dulu.

 

Aku mengarahkan jariku pada balasan dari Dek Hana. "Wajarlah, mereka memberiku makan. Pembantu saja dikasih makan dan gaji. Anggap saja uang sekolah upahku karena mengerjakan pekerjaan rumah."

 

"Kamu dijadikan pembantu?" Komentar dari akun lainnya. 

 

"Iya. Aku harus mencuci, seterika baju, dan bantu masak. Itu kan pekerjaan pembantu."

 

Ini dari orang lain lagi. "Memang siapa malak kamu? Ih, tidak tahu malu. Bisanya jadi benalu."

 

"Biasalah, orang yang merasa berjasa," balas Dek Hana.

 

Jemariku berhenti membuka komentar lebih lanjut,  ini hanya menambah luka saja. Semakin dibicarakan tidak akan menjadi baik, karena semua bersikukuh dengan kebenaran yang sudah diyakini. Kebenaran tidak bisa dipaksakan, aku hanya bisa iklas dan mendoakan semua menjadi baik. 

 

Huuuft!

Aku menarik napas dalam-dalam, mengurai sesak di dada, kemudian menyusut sisa air mata di pipi. Meneteskan air mata membuatku lega, seakan resah ikut hilang saat aku menghapusnya. 

 

Kutegakkan badanku dan merentangkan tangan, menambah ruang udara dan energi untuk mengusir pikiran negatif Aku tetapkan untuk menghilangkan dan tidak ingin mencari tahu, fokus dengan apa yang aku lakukan.  

 

Aku harus segera keluar kamar, terlalu lama nanti Santi merasa aku marah besar. Bisa saja dia tidak enak hati, merasa sikap Dek Hana merupakan tanggung jawabnya juga.

 

Kulongokkan kepala ke dalam kamar Lisa, tidak ada adik iparku itu di sana. Selimut terlipat rapi, bahkan spreipun tidak kusut. Kemana dia?

 

"Santi? Kamu kenapa setrika?" teriakku mendapati dia di kamar belakang. Dengan tumpukan baju yang sudah rapi di setrika. Dia menoleh dengan cepat, mungkin terkejut karena teriakanku. 

 

Tanpa menghentikan kegiatannya dia berujar, "Tidak apa-apa, Mbak. Kalau menganggur, aku malah pegel."

 

"Biar Mbak saja yang kerjakan. Kamu duduk di depan saja atau---."

 

"Mbak Fika, tenang saja. Aku bukan Mbak Hana yang menyebut setrika baju itu pekerjaan pembantu. Ini pekerjaan rumah yang dikerjaan anggota keluarga."

 

"Udah, itu terakhir, ya. Mbak mau bicara dengan kamu. Tentang bisnis," perintahku sambil menunjukkan senyum, menyampaikan tanda kalau aku tidak marah kepadanya.

 

Dia menatapku sesaat, kemudian membalas senyuman seperti biasa. "Ini sudah selesai kok," ucapnya kemudian mencabut kabel setrika dan merapikan kembali. 

 

"Aku tunggu di depan, ya," ucapku sambil berlalu. Langkah ini menjadi lebih ringan, ada terbersit ide setelah bertemu Santi dan menilik f******k tadi.

 

"Ini, kopinya. Aku tahu, Mbak Fika belum ngopi, kan?" tebak Santi sambil menaruh segelas kopi yang masih mengepul. Menguar aroma yang menenangkan pikiran ini.

 

"Kamu seperti ahli nujun. Sok tahu."

 

"Ya, tahu lah, Mbak. Di meja tidak ada gelas kopi, di belakang juga belum ada gelas kotor."

 

Aku tertawa kecil mendengar penjelasannya, menepuk bangku sampingku untuk dia duduk.  Sama dengan Fariz, pembawaan Santi juga manja kepadaku. Mungkin karena saat menikah dengan Mas Farhan, dia masih kecil.

 

"Kamu pinter, ya," ucapku sambil mengacak rambutnya setelah kami duduk sebangku. Aku beringsut ke arahnya, sehingga kami berhadapan.

 

"Iya, lah. Memang Mbak Hana yang tidak mengerti, padahal sekolahnya tinggi," celetuknya dengan nada kesal yang mematik.

 

"Sudah, lupakan saja. Ini mungkin salah Mbak karena ingin pinjam uang di saat yang tidak tepat," ucapku sambil menepuk bahunya.

 

"Tidak bisa begitu, dong. Harusnya tanpa Mas Farhan atau Mbak Fika ngomong, Mbak Hana mengerti dan membantu tanpa disuruh! Harusnya dia bisa menilai mana yang mendesak atau tidak!" terang adik iparku ini kemudian mengambil jeda untuk bernapas, mengurai rasa kesal. "Kalau aku sudah mampu, pasti tanpa Mbak Fika minta aku sudah maju, tapi ... aku belum bisa."

 

"Jangan diperpanjang lagi, ya. Lebih baik Mbak Hana didoakan supaya keinginannya terkabul dan keluarga kita tetap rukun. Jangan sampai, ini terdengar ibu," ucapku sambil mengangguk, memaksanya mengikuti yang kuucapkan.

 

"Sekali lagi, maap, Mbak Fika."

 

"Sekarang kita tutup masalah ini. Kita fokus dengan apa yang harus kita lakukan. Mbak punya ide untuk bisnis. Kalau kamu mau bergabung, boleh."

 

Mata yang sempat terpercik amarah, sekarang membulat. Mata Santi adik iparku ini membulat dan berbinar, seperti sudah berkata 'iya'.

 

Meletakkan sakit hati, lebih baik daripada memelihara rasa yang hanya merugikan saja. Pasrah dan iklas yang bisa aku lakukan, mencari mana yang benar atau salah, hanya membuat keadaan semakin runyam.

 

'Kebenaran tergantung dari sudut mana dan waktu kapan kita menilai sesuatu. Hanya kebenaran Tuhan yang mutlak.'

***

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status