Dari kecil, Alenta sudah terbiasa menjadi nomor dua di mata orang tuanya. Namun, siapa sangka dirinya juga harus menjadi istri kedua dari Edward, suami kakaknya sendiri selama wanita itu koma. Lantas, mampukah Alenta bertahan "melayani" Edward dan menjadi ibu untuk keponakannya sementara waktu? Bagaimana reaksi Julia, kakak Alenta, bila mengetahui Edward menikahi adiknya sendiri?
Lihat lebih banyakBug!
"Kenapa kau baru datang, sih? Kau tahu kan kalau aku pasti terlambat datang ke kantor?" Begitu membuka pintu kamar keponakannya, Alenta langsung dilempar dengan handuk yang agak basah oleh kakak perempuannya. Gadis yang beberapa hari lalu baru berusia 23 tahun itu tentu saja terkejut. Namun, segera dipaksakannya senyum. “Maaf, Kak,” ucap Alenta pelan. Handuk yang tadi dilemparkan ke wajahnya, gegas diletakkan di tempat untuk mengeringkan handuk. Setelah itu, Alenta bergegas mendekati tempat tidur yang biasanya digunakan oleh Elea, keponakannya yang baru berusia 1 tahun. "Selamat pagi, Elea?" sapanya lembut seperti biasanya. Balita itu sontak tersenyum manis, menghangatkan hati Alenta. Hanya saja itu tak berlangsung lama karena sang kakak masih menatapnya tajam. "Ck! Kerjamu di rumah hanyalah makan tidur saja, kenapa kau sering sekali terlambat?!" Mendengar itu, Alenta terdiam. Dia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya menunduk karena melihat Elea yang saat itu tengah sibuk dengan mainannya di dalam boks tidurnya. "Aku benar-benar minta maaf karena terlambat hari ini, Kak. Tadi, ibu memintaku untuk membantunya menanam bibit tanaman yang baru Ibu beli,” jawab Alenta jujur, “Aku sudah bilang dengan Ibu kalau nanti aku bisa terlambat untuk datang ke rumah kakak. Tapi, Ibu tidak mau dengar, dan justru mengomel." Namun, Julia justru memutar bola matanya jengah. "Kalau kau butuh waktu untuk membantu Ayah atau Ibu, seharusnya kau juga bisa bangun lebih pagi, kan?" sinisnya. Alenta akhirnya memilih diam. Dia tidak lagi menanggapi apa yang diucapkan oleh Kakak perempuannya itu. Seperti inilah kehidupan yang Alenta jalani selama ini. Sejak kecil, Julia selalu menjadi nomor satu. Kakak Alenta itu cantik dan selalu mendapatkan juara kelas dan beasiswa. Tak hanya itu, dia pun akhirnya menikah dengan Edward, pria yang sangat tampan berkewarganegaraan asing dan memberikan seorang anak perempuan yang benar-benar cantik dan juga manis, seperti Elea. Hal ini jelas berbeda dengan Alenta. Bukan hanya tidak memiliki kecantikan atau kepintaran yang dimiliki oleh kakaknya, Alenta tidak beruntung. Salah satu tangannya memiliki 6 jari. Alenta pun sulit untuk menemukan pekerjaan, sehingga begitu Julia melahirkan, Alenta langsung diminta untuk menjadi babysitter Elea. "Ck! Sudahlah! Malas aku melihatmu lama-lama,” ucap Julia tiba-tiba. “Karena aku sudah memandikan Elea, sekarang kau bersihkan dulu lantai di sebelah tangga!" titahnya, "Tadi, aku menumpahkan jus kiwi karena terburu-buru saat mendengar suara tangis Elea." Alenta mengangguk dengan cepat. Dia pun bergegas mengambil alat untuk mengepel dan melakukan sesuai instruksi Julia. Ia memastikan sisa jus kiwi itu tak bersisa. “Oek! Oek!” Suara tangis Elea tiba-tiba terdengar. Alenta sontak berhenti dari pekerjaannya. Dia pikir Julia pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengenakan make-up, seperti biasa. Sangat berbahaya jika Elea sendiri. Julia pasti juga akan kesal bila mendengar tangis Elea. Jadi, Alenta pun meninggalkan tangga itu sedikit agak basah. Begitu sampai di kamar Elea, Alenta segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya ke dalam gendongan. “Anak manis, jangan menangis, ya!” Alenta sibuk mencoba untuk menenangkan Elea. Hanya saja, Alenta tidak pernah menduga sama sekali jika niat baiknya itu justru akan berakhir celaka. Saat ini, Julia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru–tidak sesuai dengan dugaannya. "Sudah tidak ada lagi waktu untuk menggunakan make-up, aku harus benar-benar segera sampai ke kantor. Nanti, make-up di kantor saja deh!" ujarnya sembari membuka tasnya dan memastikan benar semua barang-barang yang dia butuhkan sudah masuk ke dalam sana. Lantai di dekat tangga yang basah itu juga tak diperhatikan oleh Kakak Alenta itu. Jadi, begitu heels tinggi Julia menapak di lantai yang basah, tubuhnya terpelanting. Sialnya lagi, dia tak bisa meraih pegangan tangga karena heels yang dia gunakan membuat kakinya tak seimbang. "Arrggh!" teriak Julia kesakitan. Namun jelas, teriakannya itu tak bisa menghentikan laju tubuhnya yang mulai menggelinding menuruni anak tangga. Mendengar kakaknya berteriak, Alenta tersentak. Dia bergegas melihat apa yang terjadi dengan meletakkan Elea di boks bayi. "Kak?" panggil Alenta mencari keberadaan kakaknya. Hanya saja, mata Alenta membulat sempurna saat teringat bahwa dia mengepel lantai di dekat tangga dan membiarkan agak basah. Segera, gadis itu berlari cepat untuk melihat ke arah tangga. Benar saja! Kakaknya sudah tergeletak penuh darah di sana….. "Kakak!!!" teriak Alenta panik. Suaranya begitu keras, hingga membuat seisi rumah melihat apa yang terjadi. **** Kini, Alenta duduk di ruang tunggu ruangan di mana kakaknya sedang mendapatkan perawatan saat ini. Tubuhnya benar-benar sangat gemetar. Dia terlalu takut membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi dengan kakaknya. "Alenta!" panggil kedua orang tua Alenta yang baru saja datang. Mereka menghampiri dan menatapnya dengan ekspresi khawatir. "Bagaimana keadaan kakakmu?" Alenta menyeka air matanya sembari menggelengkan kepala. Dia memang tidak tahu bagaimana keadaan kakaknya. Dokter yang memeriksa kakaknya di dalam juga masih belum keluar sejak tadi dia menunggu. Melihat respons Alenta, kedua orang tuanya itu terlihat sangat frustasi. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Bagaimana bisa kakakmu jatuh dari tangga?!" tanya sang ibu menahan marah. Hal ini membuat Alenta tertunduk. Dia hanya bisa terus menangis. Rasanya, benar-benar berat sekali mengakui bahwa dia adalah orang yang bersalah dan membuat kakaknya celaka. Sungguh, dia terlalu takut untuk mendapatkan kebencian yang lebih lagi dari kedua orang tuanya. Tapi, entah mengapa, ikatan batin ibu dan anak begitu kuat. Ibu Alenta dan Julia itu seolah bisa mengerti apa yang terjadi meski tanpa mendapatkan jawaban dari putri keduanya. Tatapan marah dan kecewa terpancar dari wajahnya. Wanita paruh baya itu langsung mencengkram kedua lengan Alenta. "Apa kau yang membuat kakakmu celaka? Cepat katakan sesuatu, jangan diam saja!" cecarnya. “Ibu, maafkan aku–” Plak!“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen