"Lisa, kakak Kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat."
Mendengar kabar itu, Lisa benar-benar terkejut. Maniknya kini mulai buram karena dipenuhi dengan air mata.
"Mbak Risa kenapa, Mas?" Pipi wanita berambut panjang itu kini mulai basah, air mata yang sebelumnya tertahan di matanya tak bisa terbendung lagi.
Lisa sadar jika hubungan antara dirinya dengan sang kakak kandung memang tidak baik, bahkan Lisa pernah menaruh dendam kepada Risa sejak dirinya diusir pergi dari rumah. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Risa masih memiliki hubungan darah dengannya, tak mungkin Lisa tak merasakan sedikitpun kesedihan ketika mengetahui kabar ini.
Mario menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada istrinya. "Kecelakan, Lis. Sekitar seminggu yang lalu. Risa ke luar kota bersama atasannya untuk urusan kerja. Saat itu, cuaca sangat buruk, hujan turun dengan lebat, bahkan terjadi badai. Aku sudah bilang agar dia menginap saja dulu di hotel, tapi dia tetap nekat pulang. Mobil yang dikendarai atasannya itu kehilangan kendali karena jalan yang licin, jadi kecelakaan tak bisa terhindari."
Kabar kecelakaan yang diceritakan secara detail oleh Mario membuat tangisan Lisa semakin menjadi-jadi.
Mario yang melihat Lisa yang bercucuran air mata merasa tidak tega. Itulah alasannya sejak tadi ia memiliki keraguan untuk menceritakan hal ini kepada Lisa. Wanita itu baru saja kehilangan bayi, dan rasanya pasti sangat berat jika dia juga harus mendengarkan kabar kakak kandungnya yang koma. Namun bagaimanapun itu, Lisa adik kandung dari Risa. Ia berhak tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Maka dari itu Mario berubah pikiran dan menceritakannya.
"Menangislah sesuka hatimu, Lisa. Aku akan menunggu. Sesudah itu, kita doakan saja yang terbaik untuk Risa." Mario berkata pelan.
Sejujurnya, menyaksikan Lisa yang terlihat sangat rapuh saat ini, Mario sangat ingin memeluk wanita di hadapannya dengan erat. Namun, mengetahui Lisa yang sudah memiliki hubungan dengan pria lain membuat dirinya menahan keinginannya.
Mario juga tidak menyangka juga Lisa sesedih ini mendengar kakaknya koma. Ia pikir, Lisa membenci kakaknya karena dulu ia diusir dari rumah.
Lisa yang Mario kenal dulu memang gadis berhati lembut. Sifatnya seperti berkebalikan dengan kakaknya. Risa tegas, bahkan cenderung galak. Ia perempuan yang mandiri, berani, dan gesit.
Sedangkan Lisa adalah perempuan yang lebih kalem, lemah lembut, halus. Bahkan mau dimarahi Risa sebagaimanapun ia hanya diam dan tidak pernah berani melawan. Lisa juga cengeng. Terbukti sekarang ia sedang menangis tersedu-sedu.
"Saya mau jenguk dulu, Mas. Boleh?" Lisa menatap dengan tatapan memohon.
"Tentu boleh," jawab Mario lalu ia mematikan mesin mobilnya.
Keduanya lalu turun dari mobil dan berjalan dengan membisu menuju ruang rawat Risa.
***Di depan ruang rawat, seorang lelaki tampak berwajah sedih menatap Risa yang terbujur tak berdaya dengan berbagai alat medis di tubuhnya.
Dari balik kaca itu ia menempelkan tangannya, seolah ingin sekali ia membelai rambut kusut Risa yang telah koma berhari-hari.
Daniel, pria yang bersama dengan Risa ketika dirinya mengalami kecelakaan itu menarik nafas panjang. Tangannya masih meraba kaca bening yang membatasi ia dengan Risa di ruangan menyeramkan itu.
"Daniel? Kamu sudah mendingan? Apakah sudah keluar dari rumah sakit?" Suara Mario terdengar menyapa.
Daniel terkejut setengah mati. Ia terlalu terhanyut pada lamunannya sehingga tidak menyadari kalau tahu-tahu sudah ada Mario di belakangnya.
"Oh, y--ya, Mario. Saya sudah keluar dari Rumah Sakit sejak kemarin sore. Suster juga bilang kamu datang menjenguk saat saya tidur. Terima kasih. Dan ya, mmm... seharusnya saya menghubungi kamu untuk minta maaf. Saya benar-benar ... ." Rupanya Daniel kehilangan kata-kata. Sungguh situasi itu begitu canggung untuknya.
Mario hanya tersenyum lalu ia tampak melirik Lisa yang berdiri di sampingnya dengan bingung karena tidak tahu Daniel ini siapa.
Menyadari ekspresi Lisa yang semakin terlihat canggung, Mario pun mengenalkan pria di hadapannya kepada wanita itu. "Lisa, perkenalkan, ini Daniel. Dia atasan kakak kamu yang bersama dengan Risa ketika mengalami kecelakaan."
Lisa pun menjabat tangan Daniel, dan hanya bisa mengangguk.
Mario lalu memutuskan untuk mengantar Lisa dulu. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Daniel di lain kali, karena dia jelas tak tega jika harus menghambat Lisa untuk menjenguk kakak kandungnya.
"Sebentar, sebentar. Saya antar Lisa dulu, ya. Dia adiknya Risa. Biar dia dibantu suster untuk menjenguk masuk karena harus satu orang saja dan pakai baju khusus agar steril," ucap Mario mengantar Lisa ke meja perawat yang sedang berjaga.
Daniel mengangguk. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Ternyata nyalinya di hadapan Mario tidak sebesar kemarin saat dia berkoar-koar pada Risa kalau ingin membongkar rahasia yang disembunyikan keduanya.
Daniel lalu duduk di sebuah kursi tak jauh dari tempat ia berdiri tadi. Selang tak berapa lama, Mario menyusulnya. Lisa sudah bersama suster dan sedang bersiap untuk masuk ke dalam ruangan pasien.
"Maaf sekali lagi, Mario. Sungguh, kejadian ini berada di luar kendaliku. Aku tidak menyangka tiba-tiba hujan akan datang begitu lebat." ucap Daniel singkat. Ia benar-benar tidak bisa banyak bicara di situasi begini. Lidahnya seperti kelu tiba-tiba.
"Ya, saya mengerti, Daniel. Namanya juga kecelakaan. Polisi yang menyelidiki kasus bilang kalau kecepatan mobil kamu aman. Cuma memang kebetulan jalanan yang kamu lewati sedang diperbaiki, dan kondisi cuaca benar-benar buruk,"
"Tapi, Mario--"
Belum sempat pria di hadapannya berbicara, Mario sudah langsung memotongnya. "Sudahlah. Saya mengerti kamu pasti juga sedih dengan keadaan begini. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Namanya juga sudah takdir," ucap Mario dengan berbesar hati.
Daniel makin menunduk saja mendengar ucapan Mario yang setulus ini. Sungguh suami Risa memang pengertian, baik, setia, penyayang. Daniel tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mario kalau ia berkata jujur soal Marsa.
"Mario, apakah kamu lugu, atau memang bodoh? Apakah kamu tidak tahu bahwa istrimu itu menyimpan rahasia besar darimu?"
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah