Pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis—tanpa cinta, tanpa harapan. Rin menikah dengan Reihan, pria yang dulu begitu hangat di masa kecil, namun kini dingin dan membenci kehadirannya. Selama tiga tahun, Rin bertahan meski setiap hari diperlakukan seperti orang asing. Ia menutupi luka-lukanya demi keluarga, demi harga diri, dan... demi cinta yang hanya ia sendiri rasakan. Namun ketika Reihan mengajukan cerai karena wanita yang sebenarnya ia cintai kembali, sebuah kecelakaan mengubah segalanya. Rin kehilangan ingatannya. Tapi yang kembali… bukan Rin yang dulu. Ia bangkit sebagai sosok baru: tegas, bebas, dan tak lagi terikat oleh masa lalu. Reihan bingung, terluka, dan untuk pertama kalinya—takut kehilangan Rin. Ketika cinta datang terlambat, apakah sebuah pernikahan tanpa nama bisa berubah menjadi kisah yang layak diperjuangkan?
View MoreSudah satu hari berlalu sejak Rin pergi dan menandatangani surat cerai itu. Tapi buat Reihan, waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Sepi. Hampa. Sejak pagi, tak ada kabar dari Rin. Pesan yang ia kirim belum juga dibalas. Hanya centang dua. Tidak dibaca. Tidak dijawab. Reihan duduk di balik kemudi, tapi pikirannya tidak berada di jalan. Ia hanya tahu satu hal: dia ingin melihat Rin. Ingin mendengar penjelasan. Ingin tahu alasan Rin pergi begitu saja. Mobil Reihan berhenti di depan gedung butik yang dulu ia bantu bangun untuk Rin. Awalnya hanya permintaan ringan—Rin bilang dia butuh kesibukan, supaya tidak terus-menerus terkurung di rumah yang dingin itu. Maka Reihan membuatkannya butik. Tempat di mana Rin bisa menumpahkan kreativitas dan sedikit kebahagiaannya. Tapi hari ini, gerbang butik itu terkunci rapat. Lampu padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Reihan turun dari mobil dan berdiri di depan pintu kaca. Di balik pantulan dirinya sendiri, dia bisa melihat ru
Suasana restoran siang itu sebenarnya tenang, dengan alunan musik lembut yang mengalir dari sudut ruangan. Namun, di meja pojok yang dipesan Karina, suasana justru sebaliknya. Reihan tampak tidak tenang. Tatapannya terus-menerus tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di samping piringnya. Ibu jarinya sesekali menyentuh layar, membuka pesan, lalu menutupnya lagi. Begitu terus, seperti sedang menunggu sesuatu. Karina mengaduk sup di depannya, lalu mendesah pelan, menyembunyikan kekesalan yang mulai naik ke permukaan. "Reihan," panggilnya manja, berusaha menarik perhatian. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi kelihatan nggak fokus." Reihan mengangkat kepalanya sejenak, lalu kembali menatap ponsel. Kali ini dia membuka pesan terakhirnya—pesan yang ia kirim untuk Rin pagi tadi. "Kita perlu bicara. Pulang." Tapi sampai sekarang, tak ada balasan. Hanya dua centang. Dingin. Diam. “Rin sudah tanda tangan surat cerai,” ucap Reihan akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Karina membelalakkan ma
Mentari sudah tinggi saat Reihan akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Masih mengenakan piyama, rambutnya acak-acakan, dan mata sedikit sembab karena kelelahan setelah perjalanan dinas dari luar kota. Langkah kakinya malas namun mantap menuju ruang makan, berharap menemukan sedikit ketenangan di pagi yang terlambat ini. Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang masih hangat. Aroma robusta menyentuh indra penciumannya, cukup untuk membangunkan pikirannya yang masih mengawang. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan meminum kopi itu dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia memanggil, “Mbak Sari... Rin mana?” Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah itu sejak awal pernikahan mereka, muncul dari dapur sambil membawa lap tangan. Wajahnya tampak ragu, seolah menyimpan sesuatu yang enggan ia sampaikan. “Ny. Rin… pagi-pagi sekali sudah pergi, Mas,” jawabnya dengan suara pelan. Reihan mengernyit, meletakkan cangkirnya. “Pergi? Ke mana?” Alih-alih menjawab, Mbak Sari menyerahk
Langit telah menggelap, menyisakan bayang-bayang lampu jalan yang sesekali menyorot trotoar yang sepi. Sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan gerbang rumah dua lantai yang tampak tenang dari luar. Rin membuka pintu, mengucapkan terima kasih singkat pada Jacob, lalu melangkah keluar.Angin malam menyambut tubuhnya yang lelah saat ia masuk melewati pagar, membuka pintu rumah yang sudah ia tinggali selama tiga tahun terakhir—rumah yang sepi, sunyi, dan dingin. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan hangat, hanya lorong-lorong kosong dan dinding-dinding yang seperti tak pernah mendengar kata cinta.Begitu masuk, Rin mengganti sepatunya dan berjalan langsung menuju kamar. Rutinitas yang sudah seperti kebiasaan. Ia membersihkan diri, mengganti bajunya dengan piyama longgar, lalu duduk diam di depan meja rias.Tatapannya kosong. Pantulan dirinya di cermin seperti sosok asing—mata sembab, wajah pucat, dan bahu yang tampak lelah. Semua terasa berat. Terlalu berat.Tanpa sengaj
Jarum jam masih menunjuk pukul tujuh kurang ketika mobil Jacob melaju pelan di jalanan kota yang mulai ramai oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Di kursi penumpang, Rin awalnya berniat pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba, ia berubah pikiran.“Jak… bisa anterin aku ke butik aja?” katanya lirih.Jacob menoleh sekilas. “Kamu yakin nggak mau langsung pulang?”Rin menggeleng lemah. “Aku cuma... belum siap pulang. Lagipula, aku ada beberapa hal yang harus diberesin.”Jacob mengangguk dan mengarahkan mobil ke jalan menuju butik. Namun, begitu mobil berhenti di depan butik dan Rin hendak turun, tubuhnya mendadak limbung. Tanpa aba-aba, Rin jatuh pingsan tepat di sisi mobil.“Rin!” Jacob panik. Ia langsung keluar, menangkap tubuh Rin sebelum sepenuhnya menyentuh tanah. Nafasnya tercekat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat Rin kembali ke dalam mobil dan memacu kendaraan menuju rumah sakit terdekat.---Setelah pemeriksaan selesai, Jacob duduk cemas di ruang tunggu. Tak lama, dokter keluar d
Malam sudah larut ketika Rin sampai di rumah. Suasana tenang menyambutnya, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menggema di antara keheningan ruang tamu. Ia membuka pintu dengan perlahan, berharap tak perlu berinteraksi dengan siapa pun malam ini. Tapi harapannya pupus saat matanya menangkap sosok Reihan yang tengah duduk santai di sofa, kaki disilangkan, tangan memegang buku, dan secangkir kopi yang sudah tinggal separuh.Tatapan mereka bertemu sejenak. Rin buru-buru memalingkan wajah dan melangkah cepat menuju tangga.“Dari mana saja kamu?” tanya Reihan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.Rin diam. Kakinya tetap melangkah, meski dalam hati ia tahu pertanyaan itu tak akan berhenti di situ.“Rin!” suara Reihan meninggi. “Sudah malam begini baru pulang. Jangan diam saja!”Langkah Rin terhenti. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku dari rumah Nenek Atika.”Reihan menutup bukunya dan berdiri, menghampiri Rin dengan langkah berat. Di tangannya kini t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments