"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar.
"Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras.
"Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah.
"Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.
Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soal perbaikan jalan tol.
"Daniel, awas!"
Duar!
Bugh!
Daniel menunduk sedih mengingat momen kecelakaan itu. Perasaan bersalah menyergapnya. Ia hanya punya luka ringan di dahi dan paha karena pecahan kaca. Paling parah hanya patah di bagian lengan. Sekarang gerakan tangan kirinya agak terbatas karena gips, tapi dokter bilang ia bisa pulih nanti.
Sedangkan Risa ...
Ah, dia tidak bangun lagi semenjak malam itu. Ada syaraf yang terjepit dan cedera berat di bagian kepala. Entah penjelasan dokter begitu rumit mengenai gejala medis itu.
***
"Daniel? Daniel? Kamu melamun? Atau masih pusing?" tanya Mario sembari melambaikan tangannya di depan wajah Daniel. Sejak tadi, pria itu sudah mengajak Daniel bicara tapi tidak mendapatkan balasan darinya.
Suara milik Mario berhasil menyadarkan Daniel dari lamunannya. Wajahnya tampak gugup. Ia memegangi kepalanya yang masih diperban sambil meringis. "Oh, maaf. Maaf. Saya tidak fokus. Tadi bilang apa?"
"Oh, saya cuma nanya apa mungkin kamu punya kerabat atau saudara yang sedang menyusui? Marsa butuh donor ASI," ucap Mario dengan wajah sedih.
"Hah? Apa? Bagaimana?" Daniel tampak bingung. Mendengar informasi soal Marsa yang merupakan anak kandungnya sendiri itu membuatnya antusias.
"Iya. Marsa ada alergi susu formula. Ada intoleransi laktosa yang memicu reaksi alergi parah. Anafilaksis atau apa begitu kata dokter. Istilah medisnya rumit. Sedang dicari alternatif lain tapi dia malah diare parah.
Sudah beberapa hari ini berlangsung. Saya cemas. Awalnya dia minum ASI, kan. Tapi semenjak Risa koma, stok ASI yang dia tampung kalau-kalau ditinggal ke kantor habis. Padahal Risa cukup rajin dulu mengumpulkan stok karena ingin cepat kembali ke kantor.
Risa bilang ada projek penting yang harus dia sendiri yang menangani. Benar, kan? Padahal saya sudah bilang untuk cuti full. Tapi kamu tahu sendiri betapa ambisiusnya Risa dengan karirnya. Itulah kenapa kemarin saya izinkan waktu dia bilang mau ke luar kota sehari buat cek proyek." Mario makin murung menjelaskan kondisi bayinya.
Daniel merasakan gelombang panik itu ikut menyerangnya. Marsa sakit? Butuh donor ASI? Tapi semudah itukah mendapatkannya?
Daniel mencoba mengingat siapa kerabatnya atau temannya atau anak buahnya di kantor yang sedang menyusui juga. Ah, tidak ada.
"Kata dokter harus donor ASI?" Daniel bertanya lagi.
Mario mengangguk. Ia tampak sedih. Disandarkannya punggungnya pada sandaran kursi tempat mereka duduk itu.
"Ya, kalau keadaannya tidak membaik. Dia di ruang rawat bayi. Diawasi dan dipantau khusus oleh tim dokter. Mereka bilang ada beberapa kasus serupa tapi dampaknya tidak separah Marsa.
Anak itu diare hebat. Ada bengkak di sekitar bibir dan mengalami susah nafas beberapa kali. Hampir copot jantungku waktu tahu responnya begitu saat pengasuhnya memberi susu non ASI.
Semenjak itu dia di rumah sakit terus. Berat badannya makin menyusut. Tiap ponselku bunyi jantungku mau lepas. Takut ada kabar buruk dari rumah sakit ini atau rumah sakit khusus anak tempat Marsa dirawat." Mario berkata pelan.
Daniel makin merasa bersalah. Tidak mungkin ia mengatakan rahasianya di momen ini. Mario bisa sangat terpukul dan menonjoknya. Atau mungkin sekalian memenjarakannya karena kasus perselingkuhan. Ya walaupun dalam hal ini Risa ikut kena imbas laporan juga.
Tapi namanya orang gelap mata dan marah siapa yang tahu. Selama ini Mario kan tahunya rumah tangganya baik-baik saja. Risa istrinya yang setia berkarir dengan sibuk tapi tetap menjadi istri yang sempurna di matanya.
"Saya carikan. Saya bantu carikan pendonor ASI." Daniel tampak langsung berdiri dari duduknya. Ia tak sanggup bertahan lebih lama lagi di percakapan ini.
Mario adalah pria yang terlalu baik. Dan Daniel merasa tak bisa jujur di hadapan pria itu. Daniel merasa jahat. Sangat jahat. Tapi mau bagaimana? Kesalahan malam itu membuat situasi ini begitu rumit.
Mario tampak tersenyum dan mengangguk ke arah Daniel. Ia kelihatan begitu bersyukur Daniel punya niat baik untuk membantunya.
***
"Maaf, Sus. Jadi kotor dan basah," ucap Lisa sambil menyerahkan kembali jubah khusus pembesuk pasien itu ke arah sang perawat. Wajahnya kelihatan tak enak hati.
Mario yang menjemputnya tak sengaja menguping percakapan itu.
"Oh, nggak papa, Mbak. Nanti juga dibuang, kok. Memang hanya sekali pakai agar steril karena di dalam itu pasien khusus. Oh, ya. Mbak sedang menyusui, ya?" Sang perawat tampak mengajak mengobrol.
Lisa sedang melepas alas kaki khusus di kakinya. Ia tersenyum sambil mengangguk ke arah perawat itu.
"Beruntung sekali air susunya melimpah. Dulu saya sempat jaga di rumah sakit ibu dan anak. Banyak ibu yang terpaksa tidak bisa menyusu bayinya karena ASI-nya tidak mau keluar.
Oh, ya. Mbak lupa bawa breastpad ya? Mau saya mintakan ke teman saya di nurse station? Biar nggak rembes ke baju." Sang perawat rupanya sangat ramah.
Lisa menyerahkan alas kaki khusus itu. "Rembes karena tidak diminum, Sus. Anak saya meninggal kemarin. Sakit dan nyeri rasanya."
Kata-kata itu lirih tapi terdengar oleh Mario di yang sedang duduk menunggu. Lisa tidak tahu kalau pria itu duduk di sana. Jadi ia tidak malu untuk membicarakan masalah macam ini pada sang perawat.
"Astaga. Maaf, Mbak. Ya ampun. Maaf sekali lagi. Baiknya dipompa biar tidak ada pembengkakan. Yang sabar ya, Mbak." Wajah sang suster langsung merasa bersalah.
Dalam keadaan begini Lisa masih bisa tersenyum dan menjawab tidak apa-apa.
Ia pamit pada sang perawat dan terkejut begitu mendapati Mario yang ternyata sudah duduk di depan. Posisinya tadi terhalang partisi ruangan. Ia terlihat salah tingkah karena menyadari pasti Mario mendengar percakapannya dengan perawat itu.
"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin..."
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu