Share

8. Aryo Menunggu

Author: Rumaika Sally
last update Last Updated: 2023-02-10 22:38:37

Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario.

Adik iparnya itu ternyata punya utang?

Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar.

Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja.

Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa.

Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa.

Tring!

Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip.

Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman.

Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangannya dengan cepat untuk menahan layar itu agar menyala lebih lama. Agar ia bisa mengamati pesan masuk dari seseorang bernama Aryo itu lagi.

[[  "Pembohong! Kalau bukan karena kasihan, aku nggak akan men--"  ]]

Pesan itu terputus lagi. Mario mengeluh dalam hati.

Tring!

Pesan dari Aryo lagi. Mata Mario mengawasi dengan tajam.

[[  "Aku tunggu sampai besok!"  ]]

Mario menahan nafasnya. Ah, sudah itu saja pesannya. Tidak ada petunjuk lain.

Masih sambil memegangi ponsel Lisa yang kondisinya memprihatinkan itu, Mario mencoba untuk menelaah ini semua.

Oke, pertama, Lisa punya utang. Utangnya untuk apa? Lalu berapa? Kenapa ia bisa ditagih dengan teror macam begini oleh pria bernama Aryo itu? Pertanyaan ini sungguh menganggu pikiran Mario.

Berarti kalau Lisa punya utang, kemungkinan dia tidak punya uang?

Mario lalu menatap tas Lisa di tanganinya. Selain dokumen kematian anaknya dan juga ponsel yang sedang ia pegangi itu, ada dompet milik Lisa juga di sana.

Mario tahu, membuka barang pribadi milik orang lain itu tidak sopan dan tindakan yang sungguh lancang. Tapi ia merasa penasaran. Apakah Lisa punya uang?

Ditolehnya lagi dari celah kaca itu. Lisa masih tampak mengobrol dengan suster. Posisinya membelakanginya, jadi Lisa pasti tidak melihat apa yang ia lakukan. Mario merasa aman.

"Oke! Masa bodoh! Biar kulihat dompetnya," ucap Mario lalu ia mengambil dompet Lisa dan membuka isinya.

Selain kartu kartu dan bekas tagihan, hanya ada beberapa lembar uang dalam pecahan kecil yang Lisa punya.

Mario tampak gelisah. Ia tidak boleh membiarkan Lisa susah begini. Mungkinkah tidak ada uang cash di dompet Lisa karena dia belum mengambil uang? Tapi bagaimana kalau ternyata Lisa memang benar-benar sudah tidak punya uang lagi selain uang kecil ini?

Kalau Lisa punya uang, kenapa ia dikejar-kejar penagih utang. Iya, kan? Mario mencoba berdialog dengan dirinya sendiri.

Iya tahu kalau ia menawarkan bantuan atau apapun itu, Lisa pasti akan menolak. Padahal sebagai orang yang sudah mau dengan sukarela mendonorkan ASI untuk Marsa, ia patu diberi imbalan yang banyak dan tak ternilai.

Tanpa pikir panjang Mario segera mengeluarkan dompetnya sendiri dari kantong celananya. Seluruh uang cash yang ia punya dalam pecahan terbesar ia masukkan ke dalam dompet Lisa sampai tidak muat lagi.

Jadinya ia mengambil uang banyak itu karena pengasuh Marsa yang kini sudah ia berhentikan itu minta uang gaji terakhirnya secara cash karena ia tidak punya kartu ATM.

Nanti gampang, lah. Ia bisa mengambil uang lagi untuk membayar pengasuh itu. Yang penting dompet Lisa penuh dulu, begitu pikir Mario.

Sekarang setelah melakukan aksinya yang penuh resiko dan mungkin akan membuat Lisa tersinggung atau marah itu, Mario kembali gelisah. Ia tak peduli bagaimana akhirnya nanti, tapi ia harus bertekad untuk meminta nomor ponsel Lisa yang baru.

Mario juga berniat untuk bersikeras mengantar Lisa pulang agar ia tahu bisa tinggal di mana Lisa sekarang.

Mario masih melamun dan sibuk dengan isi pikirannya sendiri, sehingga ketika pintu di belakangnya dibuka secara tiba-tiba, ia terkaget hingga hampir melompat dari kursi.

"Kenapa, Mas? Maaf aku ngangetin kamu. Tadi buka pintunya terlalu kencang." Lisa yang baru keluar dan tampak merapikan kemeja putih Mario yang ia pakai itu tampak tak enak hati.

"Eh, nggak papa. Nggak papa, kok. Oh, yaudah aku antar kamu pulang, ya." Mario langsung tak memberi jeda bagi Lisa untuk menghindar.

"Aku bisa naik taksi, Mas," ucap Lisa menolak. Padahal uang di dompetnya hanya cukup untuk naik angkot saja.

"Di luar hujan. Please. Jangan tolak bantuanku. Kamu sudah bantu aku dan Marsa." Mario menatap mata Lisa dalam-dalam.

Dan Lisa yang awalnya bersikeras dan bersikap begitu tertutup terhadap Mario itu kini agak luluh juga. Ia mengangguk.

***

Di depan rumah kontrakan yang ditempati Lisa.

Aryo yang tampak kesal dan sedikit mabuk itu hampir saja pergi begitu mendapati kontrakan Lisa kosong. Tapi entah mendapat firasat dari mana, pria meyeramkan itu memutuskan untuk menunggu.

Arya duduk di sofa bekas yang karetnya sudah tampak mencuat dan usang itu sambil melipat tangannya ke dada.

"Lagian mau kabur ke mana sih itu anak. Pasti nanti juga pulang. Tunggu aja," ucap Aryo.

Ya, Aryo mungkin beruntung hari itu. Mobil Mario sedang menuju ke sana beberapa kilometer lagi.

Akankah mereka bertiga bertemu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   86. Jalan Pulang

    Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   85. Pesan dari Nomor Tak Dikenal

    Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   84. Kemunculan Bisma

    Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   83. Janji Bisma

    Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   82. Bisma New Idol

    Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   81. Meyrika dan Daniel

    Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status