Share

7. Penagih Utang

Author: Rumaika Sally
last update Last Updated: 2023-02-09 20:27:14

Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu.

Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil.

'3 panggilan tak terjawab dari Aryo.'

Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah.

Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah.

Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat.

"Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..."

"Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami.

Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu dengan langkah kaki cepat-cepat.

Ruangan itu tidak seperti ruangan rawat Risa yang harus serba steril dan hening. Ruangan rawat Marsa ini seperti lazimnya ruang rawat bayi di rumah sakit. Hanya saja ini lebih luas, lengkap alatnya, dan dijaga suster 24 jam.

Entah berapa juta tagihan yang harus dibayar Mario untuk ini. Tapi jelas ia tak peduli. Uang bisa dicari, kesehatan bayinya yang lebih penting.

"Sus, saya bawa donor ASI. Namanya Lisa. Dia tantenya Marsa. Adik kandung istri saya." Mario langsung memperkenalkan Lisa pada suster yang menjaga Marsa.

Sang suster langsung menoleh ke belakang. Marsa yang menangis di gendongannya tampak memerah wajahnya. Oh, begitu mungil dan lemah. Hati Lisa langsung luluh.

"Saya suster Ami. Mmm, mungkin Bu Lisa bisa ikut saya untuk dicek. Atau Ibu belum lama ini melakukan tes menyeluruh dan ada laporan hasilnya? Jadi lebih mempercepat proses seleksi donor, Bu. Karena kami sangat selektif mengenai kondisi kesehatan pendonor." Suster Ami yang tampak kewalahan karena Marsa yang diinfus terus menangis itu memberi instruksi.

"Oh. Ada, Sus. Sekitar beberapa minggu yang lalu waktu saya mau melahirkan, saya dicek menyeluruh. Kebetulan saya bawa hasilnya. Ada di mobil," ucap Lisa sambil menatap ke arah Mario.

"Aku ambilin. Kamu di sini aja. Di tas yang mana?" Mario langsung sigap bergerak.

"Di tas kuning. Ada di jok depan. Tadi aku tinggal semua. Di dalam tasnya ada handphone sama dompetku, Mas. Bawa ke sini semua." Lisa memberi tahu.

Mario mengangguk lalu ia melesat pergi menuju tempat parkir mobilnya.

Tinggallah Suster Ami, Lisa, dan juga si bayi Marsa yang sedang menangis saja di ruangan ini.

Lisa yang baru kehilangan bayinya itu kini melihat Marsa dengan mata berkaca-kaca. Tak disangka kakak kandungnya yang sudah lama memutus akses komunikasi dengannya itu kini punya seorang bayi juga.

Dan bayi ini terlihat sakit dan juga lemah. Lisa merasa sangat terenyuh dan iba.

Tiba-tiba saja tangan Lisa sudah terulur ke depan. Ia ingin menggendong anak itu, yang kini masih menangis meraung-meraung entah kenapa. Namanya saja juga bayi.

"Biar saya gendong dan saya tenangkan, Sus. Boleh saya coba?" ucap Lisa ke arah Suster Ami tapi matanya tetap menatap lurus ke arah Marsa.

Suster Ami dengan sedikit ragu memberikan Marsa ke gendongan Lisa. Dan ajaibnya bayi itu langsung diam tangisnya. Lisa memeluknya sambil menangis.

Tangan mungil Marsa dibebat oleh selang infus. Ah, kasihan. Seharusnya tidak begini. Seharusnya bayi ini tumbuh dengan sehat.

Suster Ami merasa takjub juga. Sudah berjam-jam ia menenangkan Marsa yang menangis, tapi dengan sentuhan Lisa dalam sedetik saja bayi itu langsung tenang.

Suster Ami menjelaskan ulang tanpa ditanya soal bagaimana kondisi Marsa, kenapa dia bisa selemah ini, dan kenapa kondisinya tak stabil dan terus menurun, juga kenapa ia butuh donor. Lisa mendengarkan baik-baik sambil mengganggu angguk.

"Susah Bu mencari donor ASI. Apalagi untuk jangka panjang. Marsa butuh donor sampai setidaknya 6 bulan, hingga dia siap menerima makanan lain selain susu. Sampai pencernaannya siap," ucap Suster Ami.

"Semoga laporan tes kesehatan saya masih berlaku dan dianggap layak untuk menjadi donor ya, Sus. Air susu saya masih mengalir deras hingga sekarang. Bayi saya tidak minum lagi," ucap Lisa lirih sambil menimang-nimang Marsa yang kini sudah memejamkan mata dan bernapas dengan teratur.

Suster Ami langsung menoleh dengan bingung ke arah Lisa.

"Memang kenapa Bu bayinya? Kok nggak mau minum ASI? Aneh sekali." Suster Ami menyahut.

"Bayi saya meninggal kemarin." Lisa menjawab lirih.

"M--maaf, Bu. Saya tidak tahu." Suster Ami jadi tak enak hati.

***

Mario bernafas lega saat akhirnya dokter menyatakan Lisa layak menjadi donor. Hasil tesnya masih di bulan yang sama, jadi masih berlaku.

Lisa kini sudah di dalam bersama Suster Ami dan Marsa. Ia menunggu di luar karena untuk menjaga privasi Lisa.

Tak sia-sia ia berlari bagai orang kesetanan ke tempat parkir untuk mengambil dokumen hasil tes Lisa.

Nafas Mario masih tak beraturan karena habis berlari-lari tadi. Tas Lisa yang kini tinggal berisi handphone dan dompet itu masih ia pegang di tangannya.

Drttt drttt!

Saat sedang duduk di ruang tunggu, tiba-tiba getaran ponsel terasa oleh Mario. Mario meraba kantong kemejanya dan mengambil ponselnya yang ternyata tidak ada notifikasi apapun.

Mario mencari dari sumber suara hingga akhirnya ia menyadari kalau yang berbunyi adalah ponsel milik Lisa.

Diambilnya  benda pipih itu dari dalam tas Lisa. Ada sebuah panggilan dari kontak bernama Aryo.

"Aryo? Siapa Aryo? Suami Lisa?" Mario membatin dengan panik saat dilihatnya dari celah kaca itu Lisa masih sibuk bersama suster. Tak mungkin ia masuk begitu saja ke dalam.

Rasanya terlalu lancang untuk mengangkat panggilan dari ponsel yang bukan miliknya. Maka dari itu Mario memutuskan untuk mendiamkannya saja hingga panggilan itu terputus sendiri.

Diamatinya ponsel Lisa yang layarnya sudah retak-retak dan tampak sedikit rusak itu. Apa Lisa tidak punya uang hingga ponselnya serusak ini tapi ia tidak membeli yang baru? Mario membatin.

Tring!

Mario tiba-tiba dikejutkan oleh suara notifikasi ponsel Lisa lagi. Ada sebuah pesan masuk yang isinya tidak bisa ia baca dengan penuh, tapi ada cuplikan beberapa potong kata di layar yang menyala namun terkunci itu.

[[  "Kemana kamu? Kontrakan kamu kosong! Kabur kamu. Saya nggak mau tahu, bayar hutang kamu sekarang atau ..."  ]]

Isi pesan itu terputus. Tentu Mario tidak bisa membaca isi pesan selanjutnya karena ia harus membuka kunci ponsel dan itu tidak mungkin ia lakukan.

Mario tercekat. Lisa punya hutang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   86. Jalan Pulang

    Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   85. Pesan dari Nomor Tak Dikenal

    Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   84. Kemunculan Bisma

    Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   83. Janji Bisma

    Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   82. Bisma New Idol

    Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata

  • Iparku Menjadi Ibu Susu Anakku   81. Meyrika dan Daniel

    Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status