Siapa sangka ternyata Ifan membawa motor besar ke rumah sakit. Dia meminta Hifa naik ke atas jok elegan motor Ducati Diavelnya. Dengan kecepatan penuh, Ifan mengarahkan motor tadi ke atas bukit. Membelah kawasan hutan yang rimbun melalui seutas jalan yang berkelok-kelok. Mereka belum berhenti hingga bukit ketiga.
Dari atas sana, Hifa bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan yang indah. Dia belum pernah menjelajah hingga sejauh ini. Mereka mulai meninggalkan daerah pemukiman warga di belakang. Jalan lintas sejauh ribuan kilometer terhampar di depan mereka. Mesin motor berderu kencang. Semakin mereka naik ke atas, semakin memukau pula pemandangan yang terlihat di bawah sana.
Air mata yang sempat menetes di pipi Hifa mengering oleh tiupan angin di atas bukit. Mereka terus melaju hingga ke jalan yang lebih sempit. Hutan rimba mengelilingi tempat tersebut. Dari tempat mereka berada, Hifa bisa mendengar suara gemericik air di kejauhan. Dia mulai menerka arah yang
Dua hari sejak dr. Bagus mengumumkan kondisi Genu, mukzijat terjadi. Genu perlahan-lahan berespon terhadap nyeri yang diberikan. Jari-jari kecilnya bergerak mencoba melepas alat bantu napas yang masih terpasang di mulutnya. Kabar menggembirakan tersebut langsung terngiang ke telinga Hifa.Meski Hifa harus menjalani istirahatnya di rumah, dia turut senang mendengar berita tadi. Keajaiban kecil apapun amat berarti padanya saat ini. Terlebih jika itu menyangkut anak yang sempat dirawatnya.“Fa, kamu tahu gak GCS[1] si Genu itu udah 10 sekarang. Pas aku periksa anak tadi udah respon. Kata dr. Bagus sih mungkin dua tiga hari lagi rencana lepas ventilator.”“Beneran, Nin?” Hifa bertanya penuh semangat.“Iya, Fa. Kamu besok juga kan udah masuk lagi. Kita aja agak gak nyangka sih bisa sebagus itu responnya. Kurasa sih doa ibunya terjawab.”“Syukurlah. Mudah-mudahan cepet beres deh masalah ini.”“
Tiga hari seusai Hifa menjalani masa istirahatnya, Hifa kembali masuk kerja. Berita baik berangsur memperbaiki masalah yang akhir-akhir ini menimpanya. Ketika Hifa masuk, Genu sudah lepas dari ventilatornya. Walau belum pulih seutuhnya, kemungkinan untuk kembali sembuh semakin nyata.Hari ini Hifa melewati siklus jaganya di bangsal. Masih ada banyak pekerjaan yang mereka lakukan dan semua itu sangat ampuh membuatnya lupa akan kejadian buruk yang menimpanya satu minggu belakangan ini.Entah mengapa lagi-lagi Hifa tidak bisa melihat keberadaan Ifan. Dokter Gatta datang menemuinya pagi itu. Dia diminta menemani Hifa menjumpai keluarga Genu di ruang rapat. Ketegangan menghampiri Hifa.“Gak papa, Fa,” ucap Gatta. “Genu udah pulih kok. Besok udah bisa ke ruang rawat biasa.”Hifa berjalan pelan menuju ke ruang rapat yang dimaksud. Di sana sudah ada keluarga Genu beserta ibunya. Mereka tidak lagi terlihat marah seperti yang kemarin. Mereka
Kesibukan Hifa kian memadat saat mereka melewati siklusnya lagi di IGD. Duet combo Hifa dan Ifan selalu mendatangkan pasien di ruang mana pun mereka berjaga. Malam itu pasien hamil bertubi-tubi datang. Tiga pasien partus masuk dengan ketuban yang sudah pecah di jalan. Satu lagi pasien hamil tua masuk dengan kejang.Hifa bergerak secepatnya ke arah ibu muda yang sudah tak sadar itu. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak didampingi suaminya, melainkan hanya ditemani para tetangga. Hifa segera meminta perawat memasangkan infus dan menyiapkan obat yang dibutuhkan. Kondisi diperburuk dengan ketiadaan orang terdekat di samping ibu tersebut.“MgSO4 4 gram bolus pelan masuk, dok,” ucap perawat yang sibuk memberikan injeksi untuk menangani kejang ibu tadi.Hifa memeriksa tanda vital dengan cepat dan memastikan refleks patella masih berfungsi dengan normal. Setiap detik yang ada amat krusial saat ini. Dia sendiri tidak tahu sudah sejak kapan ibu
Minggu ini Hifa harus mulai membahas soal bersama dr. Gatta. Anggota mereka kini terdiri dari Hifa, Nindi, dua orang perawat, dan dr. Gatta. Siang itu mereka bersama-sama membahas materi di pondok tepi pantai. Tempat yang sangat tepat untuk rebahan sebenarnya, tapi karena mereka dikejar waktu, semua pembahasan harus mereka ulang agar pada saat waktu perlombaan mereka tidak tampak seperti kaum dungu. “Pasien 65 tahun datang dengan sesak napas.” Dr. Gatta mulai membacakan skenario. Tini yang saat itu menjadi perawat triase segera mengambil tempat dan melakukan simulasi kasus. “Pasien diposisikan ke atas tempat tidur, kemudian dipasang oksimeter, tensimeter, dan persiapan oksigen.” “Oke, hasil didapat tensi 170/90 mmHg, denyut jantung 120x/menit, frekuensi napas 40x/menit, saturasi 88%, mau dikasih berapa oksigennya?” Hifa segera menyahut, “Mulai pemberian nasal kanul 4 liter per menit.” Gatta diam lalu memberi respon, “Saturasi naik menjadi 90%.” “Ganti dengan oksigen sungkup 8 lit
Hari perlombaan yang mendebarkan itu pun datang. Sudah berminggu-minggu Hifa habiskan dengan mempelajari berbagai jenis kasus yang diujikan Gatta. Bahkan kapasitas otaknya telah terisi penuh dengan soal dan kasus. Hifa tidak bisa lagi mengingat apapun saat ini. Jika dia melihat pasien lewat di depannya, matanya seolah menembus ke dalam tulang-tulang pasien. Apakah ini efek kalau kebanyakan belajar ya? Hifa bertanya pada dirinya sendiri.Setelah pesta peniupan lilin oleh direktur RS dan kepala dinas setempat, pembukaan lomba pun dimulai. Total ada delapan kelompok yang diikutsertakan dalam lomba tersebut.Tepat jam 10 pagi, semua peserta sudah berkumpul di arena lomba. Sebuah aula besar yang biasanya diperuntukkan untuk seminar-seminar. Satu per satu kelompok diberikan kasus yang harus mereka lakukan di depan para juri. Di dalam sana sudah tersedia bermacam alat peraga dan perangkat kesehatan yang nantinya dibutuhkan oleh peserta. Hifa belum bisa menebak
Tidak terasa waktu mereka di rumah sakit tinggal tersisa satu bulan lagi. Siklus jaga melelahkan yang Hifa jalani bersama Ifan membuatnya perlahan terbiasa dengan gurauan Ifan yang kadang kala membuatnya marah atau membuatnya terhibur.Hari itu Hifa kembali berjaga di bangsal anak. Entah mengapa siang itu kondisi bangsal tidak sesibuk biasanya. Pasien anak pun lagi sepi. Mungkin ini efek liburan, pikir Hifa.“Dok, ada dr. Meri visit,” ujar perawat dengan wajah ketakutan.Hifa tahu dr. Meri adalah dokter spesialis anak terkiller yang pernah dia temukan di tempat ini. Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan dokter paruh baya itu, Hifa dimarah habis-habisan karena salah menghentikan antibiotik pasiennya. Sejak saat itu dr. Meri tidak pernah mau berbicara dengannya.Namun perlakuan dr. Meri kepada Ifan 180 derajat berbeda dari terhadap dirinya. Ifan bisa dikatakan anak kesayangan dr. Meri. Hal ini juga sebenarnya sering dimanfaatkan Hi
Pesta perpisahan mereka canangkan di taman perkemahan Bukit Keles. Jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil. Mereka berlima beserta dokter pendamping akan menjelajahi perbukitan sekitar dan dilanjutkan dengan mengitari pantai sepanjang Banggai.“Hifa, udah siap?” tanya dr. Gatta pagi hari sebelum mereka berangkat ke lokasi tujuan.Hifa memikul tas ranselnya dan segera naik ke mobil Gatta.“Mana yang lain, kak?”“Ini baru mau dijemput. Katanya Ifan bawa mobil sendiri.”“Oh ya? Dia ada mobil?”“Sepertinya.”Hifa tidak tahu apa yang dimiliki Ifan di tempat ini. Dia juga tidak pernah tahu kediamannya. Mungkin seluas istana. Nindi bilang rumahnya di belakang rumah sakit. Tidak ada rumah mewah di belakang rumah sakit. Hanya ada gubuk kecil dengan lorong becek di sana.Nindi dan Silla berlari ke mobil Gatta dengan riang.“Kita jemput Kai?”&ldq
Saat mereka tiba di puncak bukit, Ifan, Kai, dan dr. Meri sudah menancapkan tiang tendanya. Mereka akan mendirikan tiga tenda. Kai, Gatta, dan Ifan akan berada dalam satu tenda. Sementara Hifa, Nindi, dan Silla jadi satu. Sisanya, dr. Stella dan Meri, jadi satu tenda. Hifa bersyukur mereka memiliki tiga tenda. Kalau tidak dia tidak bisa membayangkan harus bersama dengan dr. Meri dalam satu tenda. Terlalu mengerikan. Walau sebetulnya keberadaan dr. Meri bersama mereka sendiri sudah terasa cukup menyeramkan.Petang menjelang begitu cepat. Setelah mereka selesai membuat api unggun dan mendirikan tenda, secara bergantian mereka mandi di sungai.“Jangan lama-lama ya,” ujar Kai sambil mengunyah kentang panggang instan untuk ke sekian kalinya. Masih ada berbagai macam makanan instan lainnya lagi di dalam tas besar yang dibawa Kai.Air sungai itu mengalir langsung dari sumber mata air di atas sana. Saat mengenai langsung kulitnya, Hifa bisa merasakan kesegar