Hifa duduk mengamati layar komputer dengan seksama. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memilih wahana tempatnya akan mengabdi sebagai dokter internship selama setahun ke depan. Apalagi setelah dia merogoh sekian ratus ribu rupiah untuk menyewa warnet yang disebut-sebut internetnya paling kencang di Kota Medan ini. Detik demi detik dipantau tanpa jeda. Jari telunjuknya juga siap sedia menekan tombol ‘pilih’ saat deretan daftar rumah sakit muncul di portal internship itu.
“Fa, sudah jam 7.59,” bisik Dewey yang duduk di sampingnya. Dia juga menunggu hal yang sama.
Ketegangan memuncak. Hifa menarik napasnya panjang. Matanya makin tak lekang dari monitor komputer di depannya itu. Satu detik saja dia terlambat, maka taruhannya terjebak di wahana yang tidak mereka harapkan selama 365 hari. Hifa sudah berdoa sepanjang malam agar dia bisa mendapat wahana di dekat kampung halamannya di Jogja.
Tiga… dua… satu… klik!
Deretan daftar rumah sakit tampil di layar monitor. Dengan tergesa-gesa, Hifa langsung menekan tombol kiri di mouse-nya. Dia memejamkan mata takut hal-hal mengerikan muncul di hadapannya.
ERROR 418
“Tidak! Bagaimana bisa?”
Hifa memuat ulang halaman yang berisi daftar wahana di depannya. Dia hampir menangis saat mendengar Dewey sudah berhasil memilih wahana favorit yang berada tak jauh dari rumahnya dengan besaran insentif yang cukup menggiurkan.
Kumohon, berikan aku keajaiban! Hifa memohon dalam hati. Berulang kali dia memuat ulang halaman tadi dan tulisan ERROR 148 itu tak lekas hilang. Dengan kesal, Hifa mengetik tombol F5 berulang lagi hingga papan keyboard di depannya nyaris jebol.
Layar tadi berputar. Tulisan ERROR 148 menghilang digantikan layar baru bertuliskan…
ANDA SUDAH MELAKUKAN PEMILIHAN WAHANA
Tapi…
Hifa mendelik lebih dekat ke monitor. Pupil matanya kian menyempit. Kerutan di keningnya berlekuk lebih tegas.
Pilihan Wahana : RSUD BATUI
Lokasi : Sulawesi Tengah
“TIDAK!” Hifa memekik tercengang.
Dewey yang sibuk mencetak surat pernyataan tadi pun menengok heran.
Hifa mematung tanpa reaksi. Dia sama sekali tidak berharap kalau wahana pilihannya di tempat antah berantah seperti ini. Dia bahkan tidak tahu bagaimana pilihannya bisa mengarah ke kota yang bahkan tidak diketahuinya itu.
“Fa, Batui itu apa?” tanya Dewey yang ikut terpelongok melihat wahana pilihan Hifa.
Hifa masih bertengger tanpa suara. Jiwanya mengelak kenyataan yang baru saja terjadi di depannya. Dengan enggan Hifa mencetak surat pernyataan kesediaan menjadi dokter internship di wahana pilihannya itu. Pikiran untuk mengundurkan diri terlintas di benaknya, tapi konsekuensi yang harus dia jalani adalah dia harus menunggu satu tahun untuk kembali memilih wahana. Dia tidak mungkin satu tahun menganggur tanpa tujuan yang jelas hanya demi menghindari rumah sakit tidak dikenal itu menjadi wahana internshipnya.
Dewey menepuk bahunya menyemangati. Mereka tidak bernasib berada di tempat bertugas yang sama. Entah dengan cara apa Hifa harus menghadapi kesialan yang menimpanya barusan?
Ketika orang-orang berpikir bahwa menuntut ilmu adalah suatu kegiatan duduk menatap dan mendengar gagasan sang penyedia ilmu itu, mungkin di sini pula segala persepsi disatukan melalui anggapan-anggapan polos tentang ilmu itu sendiri. Demi menyongsong sebuah kehidupan dan melangkah ke depan menuju zona yang lebih tinggi, terkadang seseorang harus melalui ujian-ujian panjang. Dan di titik itulah masa depan akan menjemputmu. Meskipun semuanya tetap akan melalui perjuangan-perjuangan berat.Hifa berdiri di muka gedung Rumah Sakit Umum Batui tanpa gairah. Dengan enggan dia menyeret tubuhnya masuk ke gerbang depan yang masih tampak rindang. Setelah semalaman dia bermuram durja karena harus berada di daerah terpencil selama setahun, Hifa akhirnya memutuskan untuk menerima nasibnya.Dia berhasil menuju ke Rumah Sakit tersebut berbekal peta dari toko kelontong di sebelah kos-kosannya. Walau tempat ini belum terpetakan di aplikasi penunjuk arah manapun, Hifa bisa mencapainya da
“Ada dua ibu bersalin di IGD,” ujar dr. Gatta. “Sebaiknya kalian dampingi pasien yang sudah bukaan 4 itu.”Hifa pun berlari ke arah ibu hamil tersebut. Dengan cepat melakukan pemeriksaan singkat. Kemudian mendorongnya masuk ke ruang VK[1]. Ada dua bidan yang bertugas saat itu. Mereka membantu ibu tadi mempersiapkan peralatan partus[2].“Fan, cepat sini,” panggil Hifa kesal.“Kenapa?” tanya Ifan.Hifa memperlihatkan tangan bayi sudah muncul dari vulva. Semua tampak panik. Bidan muda di samping mereka diam tak mampu berkata-kata.Ifan menatap datar. Seolah tidak terjadi apa-apa, dia mengambil sarung tangan obgyn dan segera mengambil tempat di dekat ibu yang tengah bersalin tersebut.“Ibu Rina, ibu tenang dulu. Sekarang ibu jangan mengejan dulu. Tarik napas dalam, kumpulkan napasnya, lalu ketika sudah terasa nyeri sekali baru sama-sama ibu mengejan,” ucap Ifan seperti sudah se
Hari selanjutnya giliran Hifa berjaga di poliklinik. Kebanyakan pasien yang datang adalah untuk mengambil obat, melakukan kontrol rutin, atau hanya untuk konsultasi beberapa penyakit. Karena mereka sudah memiliki surat ijin praktik, mereka turun langsung ke poli. Meja dokter dan tempat tidur pasien sudah tersedia di sana. Semestinya ini tidak akan sedramatis yang sudah mereka lalui di ruang rawat inap atau di IGD kemarin.Hifa membuka lagi buku catatannya, mencoba menghapal beberapa dosis obat dan cara pemakaiannya. Bagaimanapun otaknya tidak seencer Ifan yang bisa langsung mengingat apapun ketika melihat buku kedokteran itu.Mereka berada di ruangan yang berbeda. Koridor rumah sakit sudah dipadati pasien bahkan sebelum poliklinik ini di buka. Sebagian dari mereka adalah lansia yang diantar keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hanya satu ibu-ibu berusia empat puluhan tahun datang duduk menyendiri di sudut koridor. Dia menunggu antrian.“Halo, Hifa ya?
Pagi ini Hifa berangkat dengan sepeda baru yang dia beli di toko sepeda tak jauh dari rumah sakit. Dia bisa bangun agak siang dengan keberadaan benda ini. Silla dan Kai menyusulnya di belakang. Mereka bersama-sama naik sepeda ke rumah sakit. Sementara Nindi selalu diantar sepupunya ke rumah sakit. Dia tidak tinggal di kos-kosan seperti Silla dan Kai. Hifa masih belum tahu tentang Ifan. Dia selalu datang terlambat ke rumah sakit. Seperti kebiasaannya saat di kampus dulu. Mereka akan kembali berotasi ke bangsal hari ini. Hifa akan mengambil jagaan di bangsal anak dan maternitas, sementara Ifan yang mengambil di bangsal dewasa. Nindi dan dr. Stella akan berjaga malam hari ini. Aktivitas dan kesibukan mereka kian bertambah hari demi hari selama di sini. Bahkan hingga satu jam setelah pertukaranshiftIfan tak kunjung datang. Hal ini membuat Hifa harus berjaga di tiga bangsal sekaligus. Kegusarannya makin menjadi-jadi saat Ifan muncul tanpa mengatakan a
Di hari ketiga, Ifan kembali mengulang keterlambatannya. Namun kali ini Hifa tidak lagi memarahinya atau menegurnya di depan bangsal. Ifan mengamati sekeliling bangsal dan tidak menemukan keberadaan Hifa. Dia hendak melanjutkan kegiatan visit ke pasien di bangsal dewasa tersebut. Kecurigaannya terbesit ketika mendapati Hifa ternyata sudah menyelesaikan nyaris semua tugas visit yang semestinya dilakukan oleh Ifan. Bahkan Hifa sudah mengisi hasil pemeriksaan serta melaporkan kepada dokter penanggung jawab untuk konsultasi yang diperlukan. Ifan duduk mengamati setiap status pasien yang sudah terisi sempurna. Dia tidak perlu lagi melakukan visit harian. Akhirnya Hifa pun muncul dari koridor gedung sebelah. Dia melangkah tanpa melihat penampakan Ifan. Ifan yang melihat dokter perempuan itu segera mengejarnya. “Hifa! Tunggu!” Kali ini, Hifa dengan penuh kemenangan tidak menggubris panggilan Ifan. “Kamu sudah menyelesaikan visit pasien?” tanya
Setelah kasus yang terjadi itu, hubungan Hifa dengan Ifan makin menegang. Berhari-hari mereka nyaris tak berbicara. Hanya sekedar mengamprahkan instruksi atau pemberian terapi kepada pasien. Sisanya hanya dingin. Anehnya, Ifan tidak lagi terlambat seperti kemarin-kemarin. Dia rutin datang pagi untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Seusai melakukan kunjungan pasien, Ifan seperti hilang ditelan bumi.Minggu ini mereka kembali berpindah siklus di IGD. Seperti biasa, segala permalahan medis bermuara di tempat itu. Dari pasien yang hanya mau ditensi rutin hingga pasien yang datang dalam keadaan kaku mayat.“Hifa,” panggil Kai yang tengah membereskan barang-barangnya. Mereka akan bertukar jaga lagi. “Kak Gatta cariin kamu di ruang tindakan.”Dengan cepat Hifa bergegas ke tempat tersebut. Seorang gadis kecil duduk tenang memainkan ponselnya dengan Gatta yang tengah menjahit betisnya. Luka robek tadi terlihat tidak lagi mengganggu si anak tersebut.
Minggu ini jadwal Hifa bersama Ifan di poliklinik. Mereka bisa mendapat liburan selama tiga hari setelah selama tiga minggu ini berkeliling bangsal dan IGD. Jadwal di poliklinik cenderung lebih ringan. Mereka hanya perlu melakukan pemeriksaan di poli umum untuk selanjutnya diarahkan ke poli spesialis. Kadang kala spesialis menitip pasien untuk ditangani seperti pada sebelum-sebelumnya.Hifa duduk menghitung berkas status yang dia dan Ifan sudah tangani. Mereka selalu melampaui batas maksimum dokter yang lain. Hifa menggeleng-geleng menggerutu.“Ifan, kamu pake jimat apa sih? Kok pasienmu selalu rame?” tandas Hifa.Ifan mengeluarkan bekal yang dibawanya entah dari mana dan mulai menyantapnya di hadapan Hifa. Dia mengiris potongan tahu yang tersaji di depannya dengan ukuran persegi. Lalu menancapkannya dengan garpu. Walau makanan tadi sudah dingin, bumbu kecap yang ditabur dengan wijen panggang itu terlihat menggiurkan.“Kamu tahu gak kala
Hifa tiba lebih awal dari biasanya. Di meja perawat sudah ada kerumunan perawat bisik-bisik menggosipkan sesuatu. Perawat-perawat ini selalu bisa mendapatkan kabar terbaru di mana pun mereka berada. Hifa ingat dengan istilah, dinding rumah sakit ini pun bisa mendengar bisikan paling halus. Dengan cepat Hifa menghampiri pusat keributan tadi.“Ada apa?” tanya Hifa heran.“Dr. Kai dipukul keluarga pasien.”“Kok bisa?”“Iya, dokter gak denger ya? Katanya karena obat yang dikasih dr. Kai buat pasien itu jadi sesak napas.”Hifa sudah bisa membayangkan kejadian yang telah terjadi. Hal ini pasti membuat Kai terpukul. Hifa belum sempat berbincang dengan Kai sejak beberapa hari ini.“Jadi sekarang pasiennya gimana?” tanya Hifa.“Untung dr. Ifan cepat datang. Kalau gak, mungkin ibu itu udah….” Perawat tadi menarik garis bayangan di depan lehernya dengan ekspresi seram