Share

ERROR

Author: Evin Hard
last update Huling Na-update: 2021-08-30 19:19:18

Hifa duduk mengamati layar komputer dengan seksama. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memilih wahana tempatnya akan mengabdi sebagai dokter internship selama setahun ke depan. Apalagi setelah dia merogoh sekian ratus ribu rupiah untuk menyewa warnet yang disebut-sebut internetnya paling kencang di Kota Medan ini. Detik demi detik dipantau tanpa jeda. Jari telunjuknya juga siap sedia menekan tombol ‘pilih’ saat deretan daftar rumah sakit muncul di portal internship itu.

“Fa, sudah jam 7.59,” bisik Dewey yang duduk di sampingnya. Dia juga menunggu hal yang sama.

Ketegangan memuncak. Hifa menarik napasnya panjang. Matanya makin tak lekang dari monitor komputer di depannya itu. Satu detik saja dia terlambat, maka taruhannya terjebak di wahana yang tidak mereka harapkan selama 365 hari. Hifa sudah berdoa sepanjang malam agar dia bisa mendapat wahana di dekat kampung halamannya di Jogja.

Tiga… dua… satu… klik!

Deretan daftar rumah sakit tampil di layar monitor. Dengan tergesa-gesa, Hifa langsung menekan tombol kiri di mouse-nya. Dia memejamkan mata takut hal-hal mengerikan muncul di hadapannya.

ERROR 418

“Tidak! Bagaimana bisa?”

Hifa memuat ulang halaman yang berisi daftar wahana di depannya. Dia hampir menangis saat mendengar Dewey sudah berhasil memilih wahana favorit yang berada tak jauh dari rumahnya dengan besaran insentif yang cukup menggiurkan.

Kumohon, berikan aku keajaiban! Hifa memohon dalam hati. Berulang kali dia memuat ulang halaman tadi dan tulisan ERROR 148 itu tak lekas hilang. Dengan kesal, Hifa mengetik tombol F5 berulang lagi hingga papan keyboard  di depannya nyaris jebol.

Layar tadi berputar. Tulisan ERROR 148 menghilang digantikan layar baru bertuliskan…

ANDA SUDAH MELAKUKAN PEMILIHAN WAHANA

 Tapi…

Hifa mendelik lebih dekat ke monitor. Pupil matanya kian menyempit. Kerutan di keningnya berlekuk lebih tegas.

Pilihan Wahana : RSUD BATUI

Lokasi : Sulawesi Tengah

“TIDAK!” Hifa memekik tercengang.

Dewey yang sibuk mencetak surat pernyataan tadi pun menengok heran.

Hifa mematung tanpa reaksi. Dia sama sekali tidak berharap kalau wahana pilihannya di tempat antah berantah seperti ini. Dia bahkan tidak tahu bagaimana pilihannya bisa mengarah ke kota yang bahkan tidak diketahuinya itu.

“Fa, Batui itu apa?” tanya Dewey yang ikut terpelongok melihat wahana pilihan Hifa.

Hifa masih bertengger tanpa suara. Jiwanya mengelak kenyataan yang baru saja terjadi di depannya. Dengan enggan Hifa mencetak surat pernyataan kesediaan menjadi dokter internship di wahana pilihannya itu. Pikiran untuk mengundurkan diri terlintas di benaknya, tapi konsekuensi yang harus dia jalani adalah dia harus menunggu satu tahun untuk kembali memilih wahana. Dia tidak mungkin satu tahun menganggur tanpa tujuan yang jelas hanya demi menghindari rumah sakit tidak dikenal itu menjadi wahana internshipnya.

Dewey menepuk bahunya menyemangati. Mereka tidak bernasib berada di tempat bertugas yang sama. Entah dengan cara apa Hifa harus menghadapi kesialan yang menimpanya barusan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Iship Memoar   Akankah berakhir?

    Semua sudah berakhir indah pada waktunya. Hifa kembali bertemu dengan Ifan. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini hingga akhir. Sebagian cerita merupakan kisah nyata dengan nama pemeran yang disamarkan. Semua cerita merupakan tulisan asli/original penulis. Bila ada kesamaan tempat, waktu, cerita, plot, dan lainnya itu murni karena kebetulan belaka. Kisah ini masih memiliki sejuta langkah, tapi akahkah langkahnya harus berakhir di sini? Akhir kata, saya juga ingin ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam penulisan buku ini. Teman-teman yang mungkin namanya belum bisa kusebutkan, yang telah setia merevisi cerita ini dan dengan sabar mengoreksi tulisan ini. Tetap semangat dan jangan menyerah.

  • Iship Memoar   Epilog

    Malam itu Hifa kembali menjalani rutinitas jaganya di salah satu rumah sakit swasta di pinggir Kota Jakarta. Rumah sakit tempatnya bekerja tak jauh dari apartemennya. Bukan rumah sakit yang besar. Hanya rumah sakit tipe C yang berada di kawasan industri dan pabrik. Sehingga rata-rata pasien yang berobat merupakan pekerja di lingkungan rumah sakit juga. “Dok, ada pasien dengan vulnus ictum,” ujar seorang perawat IGD bertubuh mungil tersebut. Hifa yang tengah melewati tidur ayamnya di kursi jaga harus bangkit untuk memeriksa pasien tersebut. Dia melihat ada laki-laki yang tengah tengkurap di atas brangkar dengan telapak kaki yang berlumuran darah. Paku kecil masih tertancap di area tumitnya. Walau dalam, luka tersebut tidak mengeluarkan banyak darah. “Pak, kita bawa ke ruang tindakan ya,” ucap Hifa tanpa banyak bertanya. Dia sudah mendapatkan catatan riwayat pasien itu dari perawat. “Kak, siapin minor set ya. Saya mau informed consent

  • Iship Memoar   Perpisahan

    Langit mendung dengan awan yang kelabu menyelubungi bingkai jendela tak bertirai itu. Hifa memeluk tubuhnya dalam kekalutan. Tubuhnya yang bersimbah darah duduk dalam kegelisahan dan ketakutan. Dia tak kuasa menyingkirkan erangan histeris tadi. Belum ada yang bisa menyampaikan padanya kondisi terkini Ifan. Sahabat karibnya itu masih terbaring tanpa kekuatan di dalam sana. Jika memang ini adalah akhir dari ceritanya dengan Ifan, maka Hifa tidak akan pernah memaafkan dirinya lagi.Orang tua Ifan datang beberapa jam setelah mendapat kabar tentang bentrokan yang terjadi di Pasar Simpang. Hifa masih bergeming di koridor kamar bedah dengan risau.Hifa bisa melihat mama angkat Ifan yang terlihat begitu modis berjalan tanpa melihat keberadaan Hifa. Dia berjalan bersama seorang perempuan muda yang tak kalah cantiknya dengan artis K-pop. Tubuhnya langsing semampai dengan kulit yang bersinar bagai para dewi di kahyangan. Saat lewat di depan Hifa, mamanya sempat melirik heran ke a

  • Iship Memoar   Kerusuhan

    “Fan, aku mau ke pasar cari sayur. Stok makanan kita udah menipis.” Hifa membuka lemari es yang isinya tinggal kentang saja.Ifan masih duduk membaca buku kecil di depannya segera mengiyakan permintaan tadi. “Oke, kamu bikin dulu daftarnya. Ntar aku sama Kai aja yang beli.”“Aku aja. Kai kan jaga di KIA hari ini.”Ifan mengangguk. “Oke, lima menit lagi.”Hifa melirik ke bacaan yang tengah dilihat Ifan dengan serius itu. Ifan selalu membawa berbagai jenis buku bersamanya ke manapun. Judulnya pun beraneka ragam.“Baca apaan?”“Trubus,” jawab Ifan asal. Dia segera memasukkan buku tadi ke dalam tasnya sebelum Hifa sempat melihat buku tadi.“Sejak kapan kamu jadi suka tanaman?”“Kamu udah siap? Ayo, katanya mau beli sayur.”Pertanyaan Hifa teralihkan. Dia segera membawa keranjang sayurnya dan naik ke mobil Ifan dengan penuh semanga

  • Iship Memoar   Monosodium Glutamat

    Seusai prosesi penguburan, Ifan dan Hifa kembali melanjutkan aktivitasnya di puskesmas. Kenangan menyakitkan yang telah terjadi pada Ifan akan bersama-sama terkubur di tempat ini. Ifan harus memulai hidupnya lagi. Tanpa terasa waktu mereka di pulau ini tinggal tiga minggu lagi.Senja itu, kelima peserta internship tengah duduk berdampingan di bawah pohon cemara yang rindang. Udara hangat berembus menerpa wajah mereka dengan pelan. Pantai putih dengan horizon laut mewarnai pemandangan yang terhampar di depan mereka. Kai duduk dengan tumpukan makanan instan di dekatnya. Kebiasaannya sejak dulu adalah menjadi pemasok makanan instan kapan pun di mana pun.Silla membantunya merebus mi instan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Hifa dan Ifan duduk agak menjauh dari ketiga temannya yang lain. Hingga saat ini baik Kai, Silla, ataupun Nindi belum ada yang tahu masalah Ifan.“Fan, setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hifa.“Aku masih har

  • Iship Memoar   Mengusung kematian

    Seminggu setelah pertemuan terakhir Hifa dengan Ibu Elena berlalu begitu cepat. Hifa berulang kali ingin membujuk Ifan ke tempat tersebut, tapi dia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya. Di satu sisi Hifa juga agak takut ke tempat itu lagi. Dua pria yang ditemuinya di persimpangan jalan itu terlihat begitu mengancam. Dia tidak bisa ke sana seorang diri. Tapi siapa yang bisa dia ajak? Sementara Hifa sadar kondisi Ibu Elena pasti lebih parah lagi sekarang. Terlebih Ibu Elena sudah menolak terapi dan tindakan yang dianjurkan dokter.“Fan, kamu yakin gak mau bertemu dengan mamamu?” tanya Hifa saat mereka tengah duduk bersantai di belakang puskesmas.Ifan memejamkan matanya dalam keheningan. Dia seperti tengah menekuri keputusan terbaik yang bisa dia ambil terhadap ibunya itu.“Fa, waktu kamu pertama kenal denganku, menurutmu aku orang yang gimana?”“Hmm… kamu tu usil, keras kepala, sedikit berdarah dingin, da

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status