“Maaf, akhir-akhir ini aku tidak bisa meminum air putih. Perutku langsung mual kalau meminumnya,” ujar Laysa tertulis dalam bukunya.
Gavin mencoba mengerti itu, tapi tetap saja dia kesal. Kenapa wanita hamil selalu saja merepotkannya setiap saat? Terlebih keinginan-keinginan Laysa juga terkadang sangat aneh dan terus mendadak.“Apa kau sudah makan? Kenapa makananmu masih utuh?” tanya Laysa ketika melihat seporsi makanan milik Gavin masih belum tersentuh.“Selera makanku sudah hilang, dan itu karenamu.”“Aku benar-benar minta maaf. Apa kau tidak mau memaafkanku?” tanya Laysa lagi. Tertulis jelas dan sangat besar kalimat permintaan maaf yang ditujukan kepada Gavin.Membuat Gavin terbungkam seribu bahasa. Selama seumur hidupnya, tidak pernah ada wanita yang meminta maaf padanya sesering ini dalam keadaan apa pun, bahkan ketika tidak melakukan kesalahan. Laura dalam ingatannya sekalipun tidak pernah mengatakan kalimat itu.Laysa masih termenung seorang diri di kamar inapnya. Semenjak dia berkomunikasi dengan Gavin, lelaki itu sekarang pergi entah ke mana. Apa dia sudah salah menuliskan kalimat? Laysa hanya mengutarakan apa yang terlihat di depan matanya. Yaitu adalah kerapuhan Gavin yang tidak semua orang bisa melihatnya.Laysa sudah menemui banyak karakter orang di dunia ini, ada banyak di antara mereka yang terlihat jelas menunjukkan sifat aslinya. Namun, Gavin? Dia adalah manusia unik di dunia ini. Pandai bersembunyi di balik sikap dan sifatnya yang keras, pandai mendominasi agar orang lain tidak melihat kekurangannya.Mungkin memang benar, jika manusia akan saling mengerti pada saat mereka memiliki luka tersendiri. Atau Laysa terlalu sensitif tentang semua yang berhubungan dengan Gavin. Walau lelaki itu sangat kasar, Gavin ternyata tidak seperti yang lain, dia masih bisa memberikan apa yang diinginkan Laysa meskipun dengan ocehan menyakitkan.Klik!Menda
Sementara itu di tempat lain. Gavin tengah disibukkan oleh pekerjaan, dia sedang berusaha mengalihkan perhatian dari Laysa, karena wanita itu sudah seperti racun dalam hati hingga pikirannya. Sikap Laysa pagi tadi terus terngiang dalam pikiran Gavin, sehingga cukup mengganggu ketenangannya. Dia tidak ingin hatinya tersentuh oleh cinta, sama sekali tidak ingin. Berkali-kali dia meyakinkan diri bahwa cinta hanya akan membawanya dalam sebuah kehancuran. Tidak ada kelebihan apa pun jika dia memiliki cinta.“Apa Anda tidak akan pulang, Tuan? Ini sudah hampir larut malam.” Derry bertanya kepada tuannya yang seharian ini bekerja terlalu keras. Dia mengikuti Gavin mulai dari mengecek pembangunan hotel baru, hingga ke hotel lainnya yang tengah menghadapi sedikit masalah. Sekarang, lelaki itu tengah mengerjakan berkas pekerjaannya dan memilih tinggal di hotel daripada pulang, atau kembali ke rumah sakit.“Malam ini aku menginap di sini, Derry. Pulang saja jik
Gavin mulai mendapat perawatan dokter setelah insiden tidak terduga itu terjadi, luka di pelipisnya tersebut rupanya cukup dalam hingga harus mendapat dua jahitan. Akibat kejadian tersebut, kehebohan terjadi di hampir seluruh staf rumah sakit itu. Tidak ada dari mereka mengetahui siapa perawat yang datang ke kamar inap milik istri dari seorang terpandang seperti Gavin. Gavin bahkan sampai marah besar dan ingin menuntut rumah sakit tersebut jika mereka tidak bisa memberikan keterangan siapa pelakunya. Sementara itu, Derry juga diperintahkan untuk menyewa orang agar berjaga di sekitar rumah sakit karena rencananya Laysa akan dibawa pulang. Gavin tidak mempercayai satu pun dari orang-orang dalam rumah sakit ini. “Apa mobilnya sudah siap?” tanya Gavin kepada Derry usai luka pada pelipisnya selesai diobati. “Sudah, Tuan.” “Baguslah, sekarang juga kita akan pulang. Tidak ada gunanya bertahan di rumah sakit ini,” ujar Gavin sekaligus beranjak, seorang dokter jaga di hadapannya kelihatan s
“Apa kau tahu aku bisa saja berbuat kasar padamu?”Laysa mengangguk pelan, tapi tetap tidak melepaskan dekapannya di tubuh kokoh Gavin.“Kenapa kau melakukan ini, Lays? Kalau kau tidak senang atas tingkahku, bersikaplah sewajarnya saja. Kita bisa bersikap selayaknya tidak saling mengenal satu sama lain. Kau tahu aku hanya memanfaatkanmu dalam pernikahan ini, untuk itu jangan gunakan perasaan ketika bersamaku.”Laysa baru melepaskan pelukannya, ketika dia menuliskan deretan kalimat di buku kecilnya.“Ya, kau benar.” Tulis Laysa di kalimat pertama. “Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Semenjak hamil, aku selalu menyukai ketika berada di dekatmu. Mungkin terdengar aneh mengingat hubungan kita tidak pernah baik, hanya saja beginilah adanya. Jika anak ini lahir nanti, dia pasti sangat menyayangimu.”Seketika seakan ada gelenyar aneh yang menyusup dalam hati Gavin. Apa ini? Apa dia semakin tersentuh?Selama kehidupan Gavin, tidak pernah sekalipun dia berpikir akan memiliki anak yang diingink
Gavin dan Laysa pun sekarang tengah berada dalam pesawat menuju California, AS. Mereka berencana akan mengambil liburan ke beberapa tempat di sana. Terlebih selama ini, baik Gavin atau Laysa sendiri tidak pernah berlibur seperti ini.Waktu Gavin dihabiskan oleh pekerjaan, sedangkan Laysa sama sekali tidak pernah terbayangkan bisa berlibur begini. Kehidupannya dulu terbilang sangat sulit, uang pun dia tidak selalu punya.Namun, setelah menikah dengan seorang Gavin. Seluruh kebutuhannya terpenuhi, pakaian, alas kaki, tempat tinggal yang nyaman, dan makanan apa pun yang diinginkannya ada. Ini adalah harapan dan mimpi seluruh wanita di dunia ini, walau nyatanya pernikahan Laysa dan Gavin berdasarkan kontrak perjanjian. “Hai, Gav. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,’’ ujar seseorang ketika melintas di kursi penumpang yang diduduki Gavin.Gavin menoleh, ternyata itu adalah saudara kembarnya sendiri.“Apa yang kau lakukan di sini?”
Gavin sudah menunggu dalam mobil, lama sekali dia terjebak di sana saat dia dan Laysa berencana akan pergi ke sebuah tempat impian bagi seluruh orang di dunia ini, yaitu Disneyland. Gavin sudah terpaksa dan dipaksa menuruti keinginan Laysa dalam hal ini, sejak semalam wanita itu terus menerornya dengan kalimat panjang dalam sebuah buku, belum lagi tingkah manjanya yang memelas.Sekarang dia sudah menunggu dan sudah dibuat kesal, sebab Laysa tidak kunjung selesai dengan persiapannya sendiri. Entah apa yang sedang dilakukan wanita itu dalam sana. Gavin juga sempat menghubungi nomor ponsel Laysa, tetapi tidak diangkat.“Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan di dalam sana? Kebiasaannya sangat merepotkanku,” gumam Gavin. Dia pun memerintahkan salah seorang pengawal pribadinya untuk menyusul Laysa dalam sana. Gavin sengaja menyewa orang agar memastikan tidak ada yang berani mendekati mereka, terlebih Laysa sendiri. Sudah cukup kejadian kemarin membuatnya
Sampai di lokasi, kedua mata Laysa seakan rugi untuk berkedip sekalipun. Pemandangan dari tempat wisata yang dikunjunginya ternyata jauh lebih indah dan sangat di luar bayangannya sebagai orang awam.Terakhir kali dia datang ke tempat ini adalah ketika kedua orang tuanya masih hidup, mereka berdua mengajaknya bermain mengelilingi seluruh tempat ini dan menikmati hari indah itu dengan tanpa beban sedikit pun.Sekarang dia datang kembali ke sini, Laysa merasa ingatan itu semakin kuat.Kedua matanya basah seketika melihat keramaian ini, melihat kincir angin raksasa yang berdiri kokoh dengan segudang permainan lain yang pernah dicobanya dulu. Dia tidak bisa menahan ini, rindu kepada kedua orang tuanya semakin dalam. Ingin kembali ke masa lalu di mana indah hidupnya bersama mereka.California adalah rumahnya, tempat untuknya pulang. California adalah tempat kedua jasad orang tuanya disemayamkan, juga tempat momen mengerikan itu terjadi. Tempat
Makanan yang dipesannya tiba, Gavin melihat istrinya pun baru datang setelah pergi ke toilet beberapa waktu lalu. Hanya saja, ada yang berbeda dari sisi pandangan Gavin mengenai raut wajah cantik itu. Laysa tidak lagi banyak tersenyum seperti sebelumnya, terlebih ada bekas kemerahan tampak jelas di pipi wanita itu.Gavin sontak terkejut, penasaran apa yang terjadi pada Laysa tanpa sepengetahuannya. “Ada apa dengan wajahmu itu? Apa ada yang mencelakaimu di toilet tadi? Katakan siapa orangnya!” ujar Gavin sekaligus bertanya kepada Laysa.Tanda kemerahan itu sangat mengganggu Gavin, tapi Laysa menggelengkan kepala pelan.“Jangan membohongiku, Lays. Katakan sejujurnya, atau aku yang akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi di sana.” Gavin kembali menegaskan pertanyaannya, Laysa baru menuliskan jawaban di buku kecilnya itu.“Tidak ada yang menjahatiku, tadi aku terjatuh di toilet dan terantuk wastafel. Sungguh,” jawab Laysa.“Apa itu benar?” Laysa mengangguk pelan.“Kalau begitu akan ku