"Lama," jawab Fariz.
"Yang benar, Pak? Bapak tahu 'kan itu dilarang?" tanya heran Salma. "Kamu bertanya apa menjawab sih, ribet banget jadi perempuan! Gini nih yang membuat saya nggak suka perempuan, bawel!" Fariz mengencangkan suaranya. "Astagfirullahaladzim, tobat Pak! Bapak ini laki-laki, bukan kodratnya laki-laki suka sama laki-laki, Pak! Allahu Akbar." Salma terbengong, tak menyangka dengan semua pengakuan itu. Ia pikir, dengan beberapa kali bertanya, Fariz hanya bercanda. Akan tetapi, jawaban tetap mengarahkan pada gay. Salma mengusap jidatnya dan terus beristighfar dalam hati. "Sudah capek bicaranya?" tanya Fariz. "Bukan capek, tapi sudah nggak tahu lagi harus ngomong apa, seorang CEO perusahaan ternama kok bisa terindikasi gay? Apa Bapak benar-benar tidak membohongi saya?" Salma masih berharap Fariz hanyalah berbohong. Fariz hanya melemparkan senyum samarnya. Ia tetap membiarkan Salma terngiang dalam kebohongan. Mau Salma percaya atau pun tidak, itu sama sekali tidak menjadi masalah baginya. Setelah Salma sampai sekolah, ternyata ia mendapat telepon dari orang tuanya. Karena baru saja ada kejadian dengan laki-laki yang menurutnya sangat aneh itu, ia pun menceritakan kejadian tersebut. Dengan menyebutkan nama perusahaan, mamanya tahu kalau orang yang dimaksud adalah putra dari sahabat sendiri. 'Hhhh, biarin aja Mama nggak percaya, cuma angin lewat juga,' batin Salma setelah telepon. Mamanya tidak percaya dengan kabar tersebut dan langsung menghubungi orang tua Fariz. Tentu kedua orang tua Fariz sangat shock dengan kabar tersebut. Mereka mencoba mencari informasi di kantor Fariz. Yang benar saja, kedua orang tua Fariz mendapat kabar bahwa anaknya memang tidak pernah dekat dengan perempuan di kantornya. Mereka juga mendengar kabar Fariz terindikasi gay dari karyawan. Orang tuanya jadi cepat menyimpulkan bahwa anaknya memang terindikasi gay. Dengan situasi seperti itu, orang tua Fariz mengusulkan kepada orang tua Salma untuk mau menjodohkan mereka. Kedua orang tua Salma pun menyetujuinya. Di sisi lain, orang tua Salma juga menginginkan Salma menikah sebelum kuliah. Maka pernikahan tersebut dijadikan syarat oleh orang tua Salma dalam memenuhi keinginan putrinya untuk kuliah. Mereka langsung menjenguk Salma di pesantren dan membicarakan hal tersebut. *** Saat Salma dijenguk, ia sudah berangan-angan bahwa orang tuanya akan memberi kabar mengenai kuliah jurusan dakwah yang ia inginkan. Karena sebentar lagi, dia sudah lulus dari MA. Keinginannya untuk kuliah jurusan dakwah itu tidak pernah hilang dari dulu. "Mama, Papa, pasti bicarain kampus 'kan?" tanya Salma dengan senyum cerianya. "Hmm, anak mama kan sudah besar, di pesantren udah wisuda dua tahun yang lalu, terus udah mengajar juga, kamu nikah ya setelah wisuda MA?" ucap Mama Risa, mamanya Salma. "Haaaaa?" Salma terbengong tak bisa berkata. "Iya, mama sama papa sudah sepakat untuk menjodohkan kamu, kalau kamu mau kuliah, kamu harus nikah setelah acara wisuda dengan seorang CEO, kalau tidak mau ya sudah, nggak usah kuliah dulu," jelas Papa Rohman, papanya Salma. "Apa? Seorang CEO? Sesuai kriteriaku sih, tapi saatnya belum tepat, siapa namanya?" tanya Salma mencoba tegar. "Ciee … hahaha … putri cantik papa sudah ngakuin kalau suka sama CEO, nanyain namanya juga, belum tepat kan sekarang, kalau kamu sudah lulus, tepat 'kan?" tanya Papa Rohman dengan meledek putrinya. "Apaan sih, Pa? Nggak begitu juga kali konsepnya, aduh …," ucap Salma dengan menghembuskan napas kesalnya. "Memangnya, bagaimana konsepnya?" tanya Papa Rohman."Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus